SH Mintardja Telah Tiada
http://www.indomedia.com/bernas/9901/21/UTAMA/21uta4.htm
SH Mintardja Telah Tiada
Yogya, Bernas
Penulis cerita bersambung Singgih Hadi Mintardja atau lebih dikenal dengan nama SH Mintardja, Senin (18/1/1999) lalu, meninggal dunia. Almarhum menghembuskan nafas terakhir di hadapan anggota keluarganya, Senin, pukul 11.39 WIB di Rumah Sakit Bethesda, Yogya, dalam usia 66 tahun. Jenazah SH Mintardja dimakamkan Selasa (20/1) pukul 15.00 WIB di pemakaman Kristen Arimatea, Mergangsan, Yogyakarta.
Almarhum dirawat di RS Bethesda sejak Sabtu 26 Desember 1998, karena menderita sakit jantung.
Semasa hidupnya, almarhum lebih banyak dikenal sebagai penulis cerita bersambung serial silat dengan setting kerajaan Mataram zaman Sultan Agung di beberapa surat kabar, seperti Harian Bernas berjudul Mendung di Atas Cakrawala dan Api Di Bukit Menoreh di Kedaulatan Rakyat.
Episode terakhir yang hadir di hadapan pembaca Harian Bernas adalah episode ke 848 Mendung di Atas Cakrawala.
Setamat SMA, SH Mintardja yang lahir di Yogya 26 Januari 1933, bekerja di Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan (1958), terakhir bekerja di Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud DIY (pensiun 1989).
Beberapa cerita roman silat yang digali dari sejarah di kerajaan Jawa telah ditulis SH Mintardja -- yang oleh kerabatnya akrab dipanggil dengan nama Pak Singgih -- sejak tahun 1964.
Berbekal pengetahuan sejarah, ditambah mendalami kitab Babat Tanah Jawi yang beraksara Jawa, lahirlah cerita Nagasasra Sabuk Inten. Kisah berlatar belakang kerajaan Demak itu melahirkan tokoh Mahesa Jenar. Karena cerita Nagasasra sebanyak 28 jilid begitu meledak di pasaran dan amat digandrungi pembaca, banyak orang yang terkecoh dengan cerita roman sejarah itu. Banyak yang mengira Mahesa Jenar benar-benar ada dalam sejarah Demak. Akibatnya, tim sepakbola asal Semarang pun dinamakan Tim Mahesa Jenar. Mungkin dengan nama itu Wong Semarang berkeinginan kiprah tim sepakbola sehebat Mahesa Jenar dengan pukulan "Sasra Birawa"-nya yang menggeledek.
"Padahal saya memperoleh nama itu begitu saja. Rasanya kalau diucapkan sangat indah dan kalau didengar kok enak," ujar Mintardja dalam pengakuannya di buku Apa dan Siapa Orang Yogyakarta, edisi 1995.
Buku Nagasasra belum surut dari pasaran, SH Mintardja membuat kisah Pelangi di Langit Singasari (dimuat di Harian Berita Nasional tahun 1970-an) kemudian dilanjutkan dengan serial Hijaunya Lembah dan Hijaunya Lereng Pegunungan.
Agaknya suami Suhartini yang tinggal di Kampung Daengan, Gedongkiwo, Yogya ini tidak pernah mengenal lelah. Pada tahun 1967 menggelindingkan Api di Bukit Menoreh mengambil kisah berdirinya kerajaan Mataram Islam. Di sana ada tokoh Agung Sedayu, Swandaru, Kyai Gringsing, Sutawijaya, dan paling terakhir adalah Glagah Putih dan Rara Wulan -- saudara sepupu sekaligus murid Agung Sedayu.
Ada sementara penggemar cerita SH Mintardja yang bilang, bila dijajarkan, maka cerita Api di Bukit Menoreh panjangnya melebihi jarak Anyer - Panarukan. Asal tahu saja, kisah itu memang lebih dari 300 jilid (buku) dan hingga akhir hayatnya kisah itu belum selesai. Dan masih ada puluhan serial cerita kecil lainnya yang dibuatnya.
Di sisi lain, Mintardja pun berusaha menulis kisah petualangan pendekar pembela kebenaran yang lebih pop. Kisah itu tidak terlalu keraton sentris, namun berusaha digali dari kisah kehidupan sehari-hari dengan setting masa lalu, ya apalagi kalau tidak jauh dari kerajaan-kerajaan di Tanah Jawa. Kisah seperti Bunga di Atas Batu Karang yang mengisahkan masuknya pengaruh Kumpeni Belanda ke Bumi Mataram; kemudian serial Mas Demang yang "hanya" mengisahkan anak seorang demang. Dan terakhir adalah tokoh Witaraga dalam kisah Mendung di Atas Cakrawala, mantan prajurit Jipang yang kalah perang yang berusaha menemukan jatidirinya kembali dengan mengabdi pada kebenaran dan welas asih.
Perkenalkan budaya
Ada yang khas dari seluruh kisah yang ditampilkan SH Mintardja. Ia berusaha menyelipkan pesan-pesan moral di dalamnya. Bahkan di dalamnya juga diperkenalkan beberapa kebudayaan Jawa yang mungkin saat ini mulai punah. Sebagai contoh adalah ungkapan rasa syukur menjelang panen padi di desa-desa. Upacara "wiwit" yang berarti "mulai" (panen), berupa pesta kecil di tengah sawah, beberapa kali dengan jelas ditampilkan dalam beberapa ceritanya.
Adat kebiasaan "mitoni" atau "sepasaran" dalam menyambut kelahiran bayi di masyarakat Jawa pun dengan pas digambarkannya.
Banjir darah tidak selalu dijadikan penyelesaian akhir untuk menentukan bahwa yang benarlah yang menang. Ada penyelesaian akhir yang lebih pas. Bertobat, tanpa harus ada yang terbunuh.
Bahkan ayah 8 anak, empat putra dan empat putri serta kakek 12 cucu ini, sejalan dengan usia dan perkembangan zaman, kematangan menulisnya pun semakin tercermin di dalam kisahnya.
Jika pada kisah Nagasasara Sabuk Inten dan Pelangi di Langit Singsari masih menggunakan bahasa "tuan" untuk menyebut anda ataupun engkau, maka pada Api di Bukit Menoreh dan kisah lainnya, kata "tuan" itu sudah raib dari kamus kosa katanya.
Entah terpengaruh oleh film atau karena melihat anaknya berlatih silat, untuk menggambarkan serunya sebuah pertarungan tidak lagi digambarkan dengan angin yang menderu-deru dan desingan senjata; namun lebih masuk akal. Gambaran teknik bela diri murni digunakan di karya-karyanya yang terkhir. Bila akhir dari sebuah pertempuran memang harus dengan tenaga dalam, ya itu tadi, pembaca lagi-lagi dibawa berkhayal melihat benturan ilmu maha dahyat yang bobotnya melebihi granat. Ya, namanya saja cerita.
Ternyata, selain mengarang cerita silat atas kehendaknya sendiri, SH Mintardja juga tidak menolak cerita pesanan, misalnya, untuk pementasan ketoprak. Beberapa cerita sempalan seperti Kasaput ing Pedhut, Ampak-ampak Kaligawe, Gebranang ing Gegayuhan merupakan cerita serial ketoprak sayembara yang disiarkan TVRI Yogyakarta.
Kini SH Mintardja telah tiada. Mungkin banyak penggemar karya-karyanya yang ikut sedih dan kecewa karena kisah-kisahnya masih menggantung di tengah jalan. "Tapi semua memang kehendak Yang Maha Agung. Kita tidak dapat menolaknya," begitu sepenggal pesan moral SH Mintardja yang sering dia tulis dalam berbagai karyanya.
Selamat jalan Pak Singgih. (ee/djo)
SH Mintardja Telah Tiada
Yogya, Bernas
Penulis cerita bersambung Singgih Hadi Mintardja atau lebih dikenal dengan nama SH Mintardja, Senin (18/1/1999) lalu, meninggal dunia. Almarhum menghembuskan nafas terakhir di hadapan anggota keluarganya, Senin, pukul 11.39 WIB di Rumah Sakit Bethesda, Yogya, dalam usia 66 tahun. Jenazah SH Mintardja dimakamkan Selasa (20/1) pukul 15.00 WIB di pemakaman Kristen Arimatea, Mergangsan, Yogyakarta.
Almarhum dirawat di RS Bethesda sejak Sabtu 26 Desember 1998, karena menderita sakit jantung.
Semasa hidupnya, almarhum lebih banyak dikenal sebagai penulis cerita bersambung serial silat dengan setting kerajaan Mataram zaman Sultan Agung di beberapa surat kabar, seperti Harian Bernas berjudul Mendung di Atas Cakrawala dan Api Di Bukit Menoreh di Kedaulatan Rakyat.
Episode terakhir yang hadir di hadapan pembaca Harian Bernas adalah episode ke 848 Mendung di Atas Cakrawala.
Setamat SMA, SH Mintardja yang lahir di Yogya 26 Januari 1933, bekerja di Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan (1958), terakhir bekerja di Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud DIY (pensiun 1989).
Beberapa cerita roman silat yang digali dari sejarah di kerajaan Jawa telah ditulis SH Mintardja -- yang oleh kerabatnya akrab dipanggil dengan nama Pak Singgih -- sejak tahun 1964.
Berbekal pengetahuan sejarah, ditambah mendalami kitab Babat Tanah Jawi yang beraksara Jawa, lahirlah cerita Nagasasra Sabuk Inten. Kisah berlatar belakang kerajaan Demak itu melahirkan tokoh Mahesa Jenar. Karena cerita Nagasasra sebanyak 28 jilid begitu meledak di pasaran dan amat digandrungi pembaca, banyak orang yang terkecoh dengan cerita roman sejarah itu. Banyak yang mengira Mahesa Jenar benar-benar ada dalam sejarah Demak. Akibatnya, tim sepakbola asal Semarang pun dinamakan Tim Mahesa Jenar. Mungkin dengan nama itu Wong Semarang berkeinginan kiprah tim sepakbola sehebat Mahesa Jenar dengan pukulan "Sasra Birawa"-nya yang menggeledek.
"Padahal saya memperoleh nama itu begitu saja. Rasanya kalau diucapkan sangat indah dan kalau didengar kok enak," ujar Mintardja dalam pengakuannya di buku Apa dan Siapa Orang Yogyakarta, edisi 1995.
Buku Nagasasra belum surut dari pasaran, SH Mintardja membuat kisah Pelangi di Langit Singasari (dimuat di Harian Berita Nasional tahun 1970-an) kemudian dilanjutkan dengan serial Hijaunya Lembah dan Hijaunya Lereng Pegunungan.
Agaknya suami Suhartini yang tinggal di Kampung Daengan, Gedongkiwo, Yogya ini tidak pernah mengenal lelah. Pada tahun 1967 menggelindingkan Api di Bukit Menoreh mengambil kisah berdirinya kerajaan Mataram Islam. Di sana ada tokoh Agung Sedayu, Swandaru, Kyai Gringsing, Sutawijaya, dan paling terakhir adalah Glagah Putih dan Rara Wulan -- saudara sepupu sekaligus murid Agung Sedayu.
Ada sementara penggemar cerita SH Mintardja yang bilang, bila dijajarkan, maka cerita Api di Bukit Menoreh panjangnya melebihi jarak Anyer - Panarukan. Asal tahu saja, kisah itu memang lebih dari 300 jilid (buku) dan hingga akhir hayatnya kisah itu belum selesai. Dan masih ada puluhan serial cerita kecil lainnya yang dibuatnya.
Di sisi lain, Mintardja pun berusaha menulis kisah petualangan pendekar pembela kebenaran yang lebih pop. Kisah itu tidak terlalu keraton sentris, namun berusaha digali dari kisah kehidupan sehari-hari dengan setting masa lalu, ya apalagi kalau tidak jauh dari kerajaan-kerajaan di Tanah Jawa. Kisah seperti Bunga di Atas Batu Karang yang mengisahkan masuknya pengaruh Kumpeni Belanda ke Bumi Mataram; kemudian serial Mas Demang yang "hanya" mengisahkan anak seorang demang. Dan terakhir adalah tokoh Witaraga dalam kisah Mendung di Atas Cakrawala, mantan prajurit Jipang yang kalah perang yang berusaha menemukan jatidirinya kembali dengan mengabdi pada kebenaran dan welas asih.
Perkenalkan budaya
Ada yang khas dari seluruh kisah yang ditampilkan SH Mintardja. Ia berusaha menyelipkan pesan-pesan moral di dalamnya. Bahkan di dalamnya juga diperkenalkan beberapa kebudayaan Jawa yang mungkin saat ini mulai punah. Sebagai contoh adalah ungkapan rasa syukur menjelang panen padi di desa-desa. Upacara "wiwit" yang berarti "mulai" (panen), berupa pesta kecil di tengah sawah, beberapa kali dengan jelas ditampilkan dalam beberapa ceritanya.
Adat kebiasaan "mitoni" atau "sepasaran" dalam menyambut kelahiran bayi di masyarakat Jawa pun dengan pas digambarkannya.
Banjir darah tidak selalu dijadikan penyelesaian akhir untuk menentukan bahwa yang benarlah yang menang. Ada penyelesaian akhir yang lebih pas. Bertobat, tanpa harus ada yang terbunuh.
Bahkan ayah 8 anak, empat putra dan empat putri serta kakek 12 cucu ini, sejalan dengan usia dan perkembangan zaman, kematangan menulisnya pun semakin tercermin di dalam kisahnya.
Jika pada kisah Nagasasara Sabuk Inten dan Pelangi di Langit Singsari masih menggunakan bahasa "tuan" untuk menyebut anda ataupun engkau, maka pada Api di Bukit Menoreh dan kisah lainnya, kata "tuan" itu sudah raib dari kamus kosa katanya.
Entah terpengaruh oleh film atau karena melihat anaknya berlatih silat, untuk menggambarkan serunya sebuah pertarungan tidak lagi digambarkan dengan angin yang menderu-deru dan desingan senjata; namun lebih masuk akal. Gambaran teknik bela diri murni digunakan di karya-karyanya yang terkhir. Bila akhir dari sebuah pertempuran memang harus dengan tenaga dalam, ya itu tadi, pembaca lagi-lagi dibawa berkhayal melihat benturan ilmu maha dahyat yang bobotnya melebihi granat. Ya, namanya saja cerita.
Ternyata, selain mengarang cerita silat atas kehendaknya sendiri, SH Mintardja juga tidak menolak cerita pesanan, misalnya, untuk pementasan ketoprak. Beberapa cerita sempalan seperti Kasaput ing Pedhut, Ampak-ampak Kaligawe, Gebranang ing Gegayuhan merupakan cerita serial ketoprak sayembara yang disiarkan TVRI Yogyakarta.
Kini SH Mintardja telah tiada. Mungkin banyak penggemar karya-karyanya yang ikut sedih dan kecewa karena kisah-kisahnya masih menggantung di tengah jalan. "Tapi semua memang kehendak Yang Maha Agung. Kita tidak dapat menolaknya," begitu sepenggal pesan moral SH Mintardja yang sering dia tulis dalam berbagai karyanya.
Selamat jalan Pak Singgih. (ee/djo)
Comments