Nggak "cool" Dad! - mending jadi Aamtenaar
Menanam jiwa wiraswasta kepada anak memang seperti memahat cadas kebal gores. Jujur saja, anakku kalau dengar bapaknya rasan-rasan pingin pindah rel ke jurusan wan-gaji selalu memveto “nggak cool Dad” – Ini ajaibnya, mengingat sejak jabang bayi ceprot-brojol sudah berada di habitat eyang Grogolnya yang berspesies pedagang, sementara gendang telinganya digetarkan kata bak mantra “setoran, borg, rekening, kliring, overdraft, tagihan, bon, kulakan, cek kes, giro, bunga bank” dan segala macam pernik-pernik bisnis oleh eyangnya. Sang eyang, semula pegawai percetakan, langsung ganti karburator plus tune-up untuk membuka usaha bahan bangunan dan berhasil, ia sudah membukukan bukti kepemilikan rumah diatas hitungan lima jari, memiliki puluhan pekerja yang diberi perumahan gratis sampai ada yang menjemput ajal dan memiliki cucu. Ia juga mempekerjakan staf jebolan Kepala Cabang Bank ternama.
Entoch, monster sukses (contoh=citayam) tadi “nggak ngaruh” terhadap kinerja otak mereka. Yang nyantel di benak bekerja sebagai orang gajian apalagi di Ladang Minyak lebih “cool” – turun naik pesawat terbang segala jenis, helikopter, mencar ke ujung benua, tidur di hotel berkelas dan seabrek fasilitas yang mereka pernah rasakan.
Sekali tempo saya minta komentar mereka atas buku Kiyoshaki, “Rich Dad, Poor Dad” – enteng saja mereka komentar, “ah teori. Kalau modalnya 2 juta dollar yues – baru bisa gendam aji pak Robert (Kiyoshaki)”
Judek nggak lo saya melihat semangat wiraswasta mereka ini. Padahal siyyh maksudnya kalau dalam silat, bisa tangan kosong, piawai toya, sebat lempar piauw. Multi talent lah gitu loh. Untungnya aku terlahir kampiun soal cari kambing hitam, maklum bukan pemimpin yang jago kompor, maka bakat sama juga menurun. Sang kambing hitam adalah pendahulu mereka yaitu YangYut-nya adalah pedagang yang eksis batik (berhasil)di pasar besar Bandung, Wates Purworedjo, Yogya. Uniknya, sekalipun sudah seperti toewan tanah di kampungnya namun cita-cita para pendahulu adalah anak-cucuku “kekantor nenteng tas, pakai desi (dasi) en pantalon” alias jadi aambtenaar. Penelitian yang saya lakukan – ini bahasa orang Citayam mengIndonesiakan “menurut pendapat saya” – anak-anak merekam kenyataan bahwa pebisnis sepertinya tidak lepas status siaga satu sehingga setelannya “kemrungsung” lantaran selalu diburu waktu.
Tengok saja, di Jakarta kedereng-dereng nyidam ke Yogya, sampai di airport tiba-tiba teriak seperti ususbuntu “Masaalah – si anu belum ditilpun, antaran bata dan pasir sudah nyampe belum yo…” Kontan “sak-nalika” atmosfir hepi-hepi ganti perseneling ke tensi lantaran harus tilpun sana-sini memberi instruksi seperlunya. Ditambah turunnya option untuk mempercepat liburan lantaran "masih akeh (banyak) urusan di Jakarta." Atau lagi terkekeh melihat “dadungawuk” tangannya piknik ke cewek yang sebetulnya naksir JakaTingkir, eh bel nang-ning-ning-nang-ning-nong berbunyi. Di depan pagar seorang pelanggan berkesah “mbakyu-mbakyu, ketiwasan tenan aku, kami masak kuwih gasnya habis, tolong pinjami aku sebotol, mendak (=daripada) kue bolu pindah jurusan ke kue bantat..”
Terpaksa jam 9 malam, buka kunci gerbang toko yang jauhnya ada sekitar 200 meteran. Sementara orang gajian dimata mereka seperti cenderung santai, tidak punya rasa kuatir, aman, kongres sana seminar disini. Pokoknya akhir bulan, muka sumringah, pulang bawa duit baru masih berbau cat dan mampu mengiris jari saking tajam tepinya. Perjalanan setahun 12 bulan, sudah menjadi 14 bulan. Cool!
Bagi mereka pebisnis kurang cool lantaran tiap hari bergelut dengan “cebanan lecek” – belum lagi koin yang jentrek-jentrek sampai membuat tas ngedoyot keberatan. Sudah itu saat menjelang lebaran harus sudah “opyak” sana-sini sedia kes buat hadiah lebaran pegawainya, dan bersedia toko tutup selama 2 minggu yang pada akhirnya mulur menjadi 3 minggu lebih.
“Tapi penghasilan pegawai segitu tidak cukup!,” sergahku.
“Ah, papa sering bilang manusia memang tidak pernah ada cukupnya,” Oh hiyya, bener, bener, aku sering sok bijaksana ber sufi ria, sekarang tahu rasa kepijak sana sini. Atau memang sudah jalur mereka jadi Ambtenaaar ketimbang “dadi-bakul” entahlah..
mimbar SAPUTRO
Dili, 1 Desember 2005
Entoch, monster sukses (contoh=citayam) tadi “nggak ngaruh” terhadap kinerja otak mereka. Yang nyantel di benak bekerja sebagai orang gajian apalagi di Ladang Minyak lebih “cool” – turun naik pesawat terbang segala jenis, helikopter, mencar ke ujung benua, tidur di hotel berkelas dan seabrek fasilitas yang mereka pernah rasakan.
Sekali tempo saya minta komentar mereka atas buku Kiyoshaki, “Rich Dad, Poor Dad” – enteng saja mereka komentar, “ah teori. Kalau modalnya 2 juta dollar yues – baru bisa gendam aji pak Robert (Kiyoshaki)”
Judek nggak lo saya melihat semangat wiraswasta mereka ini. Padahal siyyh maksudnya kalau dalam silat, bisa tangan kosong, piawai toya, sebat lempar piauw. Multi talent lah gitu loh. Untungnya aku terlahir kampiun soal cari kambing hitam, maklum bukan pemimpin yang jago kompor, maka bakat sama juga menurun. Sang kambing hitam adalah pendahulu mereka yaitu YangYut-nya adalah pedagang yang eksis batik (berhasil)di pasar besar Bandung, Wates Purworedjo, Yogya. Uniknya, sekalipun sudah seperti toewan tanah di kampungnya namun cita-cita para pendahulu adalah anak-cucuku “kekantor nenteng tas, pakai desi (dasi) en pantalon” alias jadi aambtenaar. Penelitian yang saya lakukan – ini bahasa orang Citayam mengIndonesiakan “menurut pendapat saya” – anak-anak merekam kenyataan bahwa pebisnis sepertinya tidak lepas status siaga satu sehingga setelannya “kemrungsung” lantaran selalu diburu waktu.
Tengok saja, di Jakarta kedereng-dereng nyidam ke Yogya, sampai di airport tiba-tiba teriak seperti ususbuntu “Masaalah – si anu belum ditilpun, antaran bata dan pasir sudah nyampe belum yo…” Kontan “sak-nalika” atmosfir hepi-hepi ganti perseneling ke tensi lantaran harus tilpun sana-sini memberi instruksi seperlunya. Ditambah turunnya option untuk mempercepat liburan lantaran "masih akeh (banyak) urusan di Jakarta." Atau lagi terkekeh melihat “dadungawuk” tangannya piknik ke cewek yang sebetulnya naksir JakaTingkir, eh bel nang-ning-ning-nang-ning-nong berbunyi. Di depan pagar seorang pelanggan berkesah “mbakyu-mbakyu, ketiwasan tenan aku, kami masak kuwih gasnya habis, tolong pinjami aku sebotol, mendak (=daripada) kue bolu pindah jurusan ke kue bantat..”
Terpaksa jam 9 malam, buka kunci gerbang toko yang jauhnya ada sekitar 200 meteran. Sementara orang gajian dimata mereka seperti cenderung santai, tidak punya rasa kuatir, aman, kongres sana seminar disini. Pokoknya akhir bulan, muka sumringah, pulang bawa duit baru masih berbau cat dan mampu mengiris jari saking tajam tepinya. Perjalanan setahun 12 bulan, sudah menjadi 14 bulan. Cool!
Bagi mereka pebisnis kurang cool lantaran tiap hari bergelut dengan “cebanan lecek” – belum lagi koin yang jentrek-jentrek sampai membuat tas ngedoyot keberatan. Sudah itu saat menjelang lebaran harus sudah “opyak” sana-sini sedia kes buat hadiah lebaran pegawainya, dan bersedia toko tutup selama 2 minggu yang pada akhirnya mulur menjadi 3 minggu lebih.
“Tapi penghasilan pegawai segitu tidak cukup!,” sergahku.
“Ah, papa sering bilang manusia memang tidak pernah ada cukupnya,” Oh hiyya, bener, bener, aku sering sok bijaksana ber sufi ria, sekarang tahu rasa kepijak sana sini. Atau memang sudah jalur mereka jadi Ambtenaaar ketimbang “dadi-bakul” entahlah..
mimbar SAPUTRO
Dili, 1 Desember 2005
Comments