Taifun
Date: Mon Jan 23, 2006 10:26 am
Australia Utara sekarang sedang dilanda taifun. Sekalipun sudah diketahui kedatangannya, kecepatannya, tak urung banyak kerusakan terjadi. Contohnya daerah saya, cuma kena senggol ekornya mbak Daryl, sudah menghasilkan angin dengan kecepatan 55 knot. Bayangkan anda naik truk bak terbuka, lalu berdiri sambil pakai topi, dasi, kacamata dan minta pak Pir tancap pedal panteng diangka 95 kilometer per jam. Itulah rasanya diterpa angin 55 knot. Belum lagi kedatangan hujan deras menerpa muka sakitnya “aja takon dosa” seperti ditampiling bala Dai Nipong sepeleton. Rasanya memang kenot-kenotan. Lha ini bicara 95 km/jam di jalan Tol. Bagaimana kalau anginnya sekalian mengaduk-aduk laut. Hasilnya ya Tsunami kelas kecil.
Keadaan makin semrawut jika yang diterpa adalah benda-benda di laut karena masih ada cobaan lain berupa “naik turun” alias gelombang setinggi 10 meter. Akibatnya sebuah kapal supply segitu besar kadang sebentar hanya nampak ujung tiang bendera, lalu tak lama kemudian nampak lambungnya. Saya ingat beberapa tahun lalu kami sempat diberi “kehormatan” menaiki kapal supply di tengah amukan Laut Cina Selatan. Gordin penutup jendela kadang menutup kekiri kadang kekanan saking miringnya kapal. Lalu saat akan makan sup hangat, seperti ada taifun dalam piring karena cairan sup tumpah kekiri dan kekanan. Gelas-gelas saling bergeser dimeja. Lama-lama karena berjam-jam dikerjai oleh gelombang, giliran perut yang diaduk-aduk. Biasanya kami mencoba menutupi rasa mabuk tersebut, sebab penyakit menular dalam situasi seperti begini tersebut adalah kalau satu teman mabuk, yang lain akan ikutan. Itu juga lasannya dalam pelatihan penyelamatan di laut, begitu masuk canopi, yang dikerjakan pertama kali adalah minum antimo.
Naik ke Rig berujut Kapal Pengeboran lebih dramatis lagi, besi-besi bergesekan, apalagi ada ratusan pipa bor yang bersandar di menara saling bertumbukan sehingga menimbulkan bunyi denting yang cenderung gemuruh, akhirnya ya menakutkan juga.
Gelombang campuran antara alun dan gelombang mencapai 31 kaki setara 10 meter-an bagi pekerjaan kami terutama yang di rig pengeboran lepas pantai, sudah mengharuskan rig lempar anduk putih ke arena, dan operasi ganti perseneling ke WOW alias Wait On Weather. Bisa sehari bisa seminggu tergantung mbak Dary dan cyclon lainnya masih ngambek atau tidak. Di negeri kita siklon beginian kalau ada walau kecil sering dinamai “pasukan nyai Roro Kidul lewat..” – ya entah kenapa selalu perempuan yang disalahkan dan ditakuti.
Tapi ada yang “ndableg” terutama warga Amerika yang merasa bahwa pengalaman di Laut Utara lebih mengerikan. Orang-orang dengan gaya supremasi ini kadang memaksakan kehendaknya, “drilling must go on.” Siklon begini sih cemen kata mereka.
Biasanya kebijakan pemerintah Australia hanya singkat “say No to unsafe condition” – eh ternyata Australian berani juga lawan Amerika.
Sejatinya teknologi bisa mengatasi problema “tsunami” kecil, apalagi sekarang ada robot penyelam yang mampu “melihat” 200 meter dibawah laut. Lha ini di dasar laut sana malah seperti “tableau” pesta salju. Berbeda di permukaan laut yang bergejolak, dibawah sana arus begitu tenang, lalu algae, ubur ubur, hiu, kakap merah dan ikan lain saling bercengkrama saking banyaknya seperti jatuhnya salju. Hanya saja pemandangan di TV kerapkali diganti dengan pertandingan Tennis di Melbourne apalagi kalau Hewitt menang, lho suara ha..huuu..ha..hu kok persis suporter Thomas Cup kita yang sekarang statusnya seperti merindukan pungguk dan bulan. Sekaligus.
Persoalannya adalah jiwa manusia terutama pekerja rig sekitar lubang bor alias ring satu alias “moon pool”, bisa-bisa sewaktu-waktu terlempar ke laut. Apalagi lantai besi semangkin licin akibat terpaan ombak dan hujan.
Jika ada orang terlempar. Waktu yang diperlukan untuk menurunkan sekoci sampai mencapai korban bisa-bisa lebih dari sejam karena cuaca buruk, sekocipun bisa terpontal pontal denan ketinggian gelombang segitu. Dan ini berakibat fatal bagi korban yang terlempar ke laut, selain mengalami hipotermia (kedinginan amat sangat) juga dibanting-banting gelombang setinggi 10 meter.
Bagi yang pernah menyaksikan tinggi tsunami, jelas maut taruhannya. Belum lagi dengan kecepatan angin 90 km perjam tidak dijamin korban masih berada sekitar tempat kecelakaan. Pasti sudah hanyut. Apalagi kalau hiu ikutan menyangka kaki dan tangan yang bergerak-gerak adalah kura-kura lezat.
Satu dari negeri ini yang perlu diacungi jempol, kalau sudah menyangkut nyawa karyawan, maka semua urusan dinomor duakan. Padahal saya tidak pernah baca motto muluk-muluk ditulisi segede gajah “Keselamatan Karyawan adalah paling kami utamakan” atau karyawan adalah aset kami utama sehingga tidak ada waktu untuk tergesa-gesa kalau menyangkut soal keselamatan. Semua motto, slogan dalam spanduk sama sekali tidak saya jumpai.
Cukup satu kalimat “Think safety first” namun implementasinya serius.
Tetapi yang membuat warga panik adalah banjir dibeberapa daerah yang akhirnya arena budidaya cuk alias jentik-jentik. Seperti juga Singapore dan kota besar lainnya, sulit menjumpai nyamuk disini. Kalau lalat banyak terutama saat musim mangga atau buah lainnya. Namun sejak taifun, nyamuk juga mulai menyerang manusia.
Saya bergurau dengan teman-teman, kalau hanya foto jentik-jentik nyamuk saya bisa tiap hari dari Jakarta mengirimkannya.
Australia Utara sekarang sedang dilanda taifun. Sekalipun sudah diketahui kedatangannya, kecepatannya, tak urung banyak kerusakan terjadi. Contohnya daerah saya, cuma kena senggol ekornya mbak Daryl, sudah menghasilkan angin dengan kecepatan 55 knot. Bayangkan anda naik truk bak terbuka, lalu berdiri sambil pakai topi, dasi, kacamata dan minta pak Pir tancap pedal panteng diangka 95 kilometer per jam. Itulah rasanya diterpa angin 55 knot. Belum lagi kedatangan hujan deras menerpa muka sakitnya “aja takon dosa” seperti ditampiling bala Dai Nipong sepeleton. Rasanya memang kenot-kenotan. Lha ini bicara 95 km/jam di jalan Tol. Bagaimana kalau anginnya sekalian mengaduk-aduk laut. Hasilnya ya Tsunami kelas kecil.
Keadaan makin semrawut jika yang diterpa adalah benda-benda di laut karena masih ada cobaan lain berupa “naik turun” alias gelombang setinggi 10 meter. Akibatnya sebuah kapal supply segitu besar kadang sebentar hanya nampak ujung tiang bendera, lalu tak lama kemudian nampak lambungnya. Saya ingat beberapa tahun lalu kami sempat diberi “kehormatan” menaiki kapal supply di tengah amukan Laut Cina Selatan. Gordin penutup jendela kadang menutup kekiri kadang kekanan saking miringnya kapal. Lalu saat akan makan sup hangat, seperti ada taifun dalam piring karena cairan sup tumpah kekiri dan kekanan. Gelas-gelas saling bergeser dimeja. Lama-lama karena berjam-jam dikerjai oleh gelombang, giliran perut yang diaduk-aduk. Biasanya kami mencoba menutupi rasa mabuk tersebut, sebab penyakit menular dalam situasi seperti begini tersebut adalah kalau satu teman mabuk, yang lain akan ikutan. Itu juga lasannya dalam pelatihan penyelamatan di laut, begitu masuk canopi, yang dikerjakan pertama kali adalah minum antimo.
Naik ke Rig berujut Kapal Pengeboran lebih dramatis lagi, besi-besi bergesekan, apalagi ada ratusan pipa bor yang bersandar di menara saling bertumbukan sehingga menimbulkan bunyi denting yang cenderung gemuruh, akhirnya ya menakutkan juga.
Gelombang campuran antara alun dan gelombang mencapai 31 kaki setara 10 meter-an bagi pekerjaan kami terutama yang di rig pengeboran lepas pantai, sudah mengharuskan rig lempar anduk putih ke arena, dan operasi ganti perseneling ke WOW alias Wait On Weather. Bisa sehari bisa seminggu tergantung mbak Dary dan cyclon lainnya masih ngambek atau tidak. Di negeri kita siklon beginian kalau ada walau kecil sering dinamai “pasukan nyai Roro Kidul lewat..” – ya entah kenapa selalu perempuan yang disalahkan dan ditakuti.
Tapi ada yang “ndableg” terutama warga Amerika yang merasa bahwa pengalaman di Laut Utara lebih mengerikan. Orang-orang dengan gaya supremasi ini kadang memaksakan kehendaknya, “drilling must go on.” Siklon begini sih cemen kata mereka.
Biasanya kebijakan pemerintah Australia hanya singkat “say No to unsafe condition” – eh ternyata Australian berani juga lawan Amerika.
Sejatinya teknologi bisa mengatasi problema “tsunami” kecil, apalagi sekarang ada robot penyelam yang mampu “melihat” 200 meter dibawah laut. Lha ini di dasar laut sana malah seperti “tableau” pesta salju. Berbeda di permukaan laut yang bergejolak, dibawah sana arus begitu tenang, lalu algae, ubur ubur, hiu, kakap merah dan ikan lain saling bercengkrama saking banyaknya seperti jatuhnya salju. Hanya saja pemandangan di TV kerapkali diganti dengan pertandingan Tennis di Melbourne apalagi kalau Hewitt menang, lho suara ha..huuu..ha..hu kok persis suporter Thomas Cup kita yang sekarang statusnya seperti merindukan pungguk dan bulan. Sekaligus.
Persoalannya adalah jiwa manusia terutama pekerja rig sekitar lubang bor alias ring satu alias “moon pool”, bisa-bisa sewaktu-waktu terlempar ke laut. Apalagi lantai besi semangkin licin akibat terpaan ombak dan hujan.
Jika ada orang terlempar. Waktu yang diperlukan untuk menurunkan sekoci sampai mencapai korban bisa-bisa lebih dari sejam karena cuaca buruk, sekocipun bisa terpontal pontal denan ketinggian gelombang segitu. Dan ini berakibat fatal bagi korban yang terlempar ke laut, selain mengalami hipotermia (kedinginan amat sangat) juga dibanting-banting gelombang setinggi 10 meter.
Bagi yang pernah menyaksikan tinggi tsunami, jelas maut taruhannya. Belum lagi dengan kecepatan angin 90 km perjam tidak dijamin korban masih berada sekitar tempat kecelakaan. Pasti sudah hanyut. Apalagi kalau hiu ikutan menyangka kaki dan tangan yang bergerak-gerak adalah kura-kura lezat.
Satu dari negeri ini yang perlu diacungi jempol, kalau sudah menyangkut nyawa karyawan, maka semua urusan dinomor duakan. Padahal saya tidak pernah baca motto muluk-muluk ditulisi segede gajah “Keselamatan Karyawan adalah paling kami utamakan” atau karyawan adalah aset kami utama sehingga tidak ada waktu untuk tergesa-gesa kalau menyangkut soal keselamatan. Semua motto, slogan dalam spanduk sama sekali tidak saya jumpai.
Cukup satu kalimat “Think safety first” namun implementasinya serius.
Tetapi yang membuat warga panik adalah banjir dibeberapa daerah yang akhirnya arena budidaya cuk alias jentik-jentik. Seperti juga Singapore dan kota besar lainnya, sulit menjumpai nyamuk disini. Kalau lalat banyak terutama saat musim mangga atau buah lainnya. Namun sejak taifun, nyamuk juga mulai menyerang manusia.
Saya bergurau dengan teman-teman, kalau hanya foto jentik-jentik nyamuk saya bisa tiap hari dari Jakarta mengirimkannya.
Comments