Petugas Tol yang seenak udel
Date: Tue Jan 3, 2006 9:52 am
Aturan main di jalan tol sudah jelas, harus pakai sabuk pengaman, dilarang menyeberang, dilarang berjualan, dilarang nyampah, dilarang menaik turunkan penumpang, dilarang membawa penumpang dalam bak terbuka dan sederet aturan dilarang yang lain.
Namun teramat jelas pula bahwa aturan ini banyak di terabas.
Di arteri ruas tol Jatiwarna yang seharusnya selesai di akhir Desember05, ada sekitar 10 meter jalan yang "selen" alias beda sendiri. Jalan belum beraspal. Saya tidak tahu persis duduk perkara jual belinya antar pengelola tol dengan pemilik tanah. Yang pasti secara bergantian jalan tersebut dimbaureksai para penunggunya yang terdiri anak-anak muda sambil pasang plang berleter "tanah ini belum dibayar" dan sebuah kencreng nampak ditenteng, maksudnya kita diminta membayar tol saat melewati ruas "non tol"teramat pendek itu.
Belakangan tulisan tersebut sudah sirna, namun para penjaga tetap rajin siang dan malam menungguinya.
Bicara jalan tol, terutama pelayanan di gerbang tol. Jadi kepikiran juga, saat di pintu tol, entah membayar atau mengambil karcis tol, sering dijumpai pegawai melayani pelanggan sambil asik mengobrol dengan teman yang ujudnya bisa polisi, satpam, sesama jenis atau berlainan jenis.
Kalau sudah asik bergosip mulai dari Kiki Fatmala si malin kundang, lompat ke teror bom kan buatan Amerika (teori konspirasi uthak athik gathuk), maka tak bisa disangkal kehadiran anda sebagai pelanggan didepan hidungnya tak ubah bak seonggok daging mentah diatas ban berjalan, sementara tugas mereka memberi label bernama karcis tol. Sapaan selamat pagi, Senyum, atau pandangan mata ramah " oh no bukan...bukan itu.." yang kita dapat. Lha wong kita malahan tersangka sebagai "biang recok" keasikan mereka.
Baru saja injakan rem rem saya angkat dan pedal gas mulai ditekan, "mak jegagik" secara tiba-tiba sesosok bayangan melintas didepan saya. Kaget terkaget harus mengerem balik kendaraan untuk memberikan kesempatan "sosok" ternyata para pegawai tol lalu lalang disekitar gerbang seakan ditengah pasar yang damai. Aktivitasnya macam-macam, mulai yang berlarian tukar uang ke gardu temannya, ambil air minum, ambil makan siang, sekedar mau cuci muka, ambil kartu tol, ke WC entah apa lagi. Seakan-akan menyebrang di gerbang tol adalah perbuatan halal-halal saja. Yang bikin susah kadang mereka menyeberang dari balik kamar pembayaran bersamaan dengan konsentrasi pengemudi pecah karena menghitung uang kembalian, menutup kaca mobil atau menyimpan kartu tol. Kalau sudah begini bisanya urut dada.
Dulu aktivitas tukar shift, atau aktivitas lain bisa diketahui dengan cara menutup gardu. Sekarang, kalau bisa dilakukan sambil melayani pelanggan mengapa harus perduli dengan keselamatan kerja. Atau seperti filosofi Batavia van pinggiran, "kalo ada mobil berjalan, pasti ada supirnye, kalau ada supirnye, jelas ade matenya, apalagi cume erem.."
Apa enggak enek ter nyesek, kalau sudah begini.
Aturan main di jalan tol sudah jelas, harus pakai sabuk pengaman, dilarang menyeberang, dilarang berjualan, dilarang nyampah, dilarang menaik turunkan penumpang, dilarang membawa penumpang dalam bak terbuka dan sederet aturan dilarang yang lain.
Namun teramat jelas pula bahwa aturan ini banyak di terabas.
Di arteri ruas tol Jatiwarna yang seharusnya selesai di akhir Desember05, ada sekitar 10 meter jalan yang "selen" alias beda sendiri. Jalan belum beraspal. Saya tidak tahu persis duduk perkara jual belinya antar pengelola tol dengan pemilik tanah. Yang pasti secara bergantian jalan tersebut dimbaureksai para penunggunya yang terdiri anak-anak muda sambil pasang plang berleter "tanah ini belum dibayar" dan sebuah kencreng nampak ditenteng, maksudnya kita diminta membayar tol saat melewati ruas "non tol"teramat pendek itu.
Belakangan tulisan tersebut sudah sirna, namun para penjaga tetap rajin siang dan malam menungguinya.
Bicara jalan tol, terutama pelayanan di gerbang tol. Jadi kepikiran juga, saat di pintu tol, entah membayar atau mengambil karcis tol, sering dijumpai pegawai melayani pelanggan sambil asik mengobrol dengan teman yang ujudnya bisa polisi, satpam, sesama jenis atau berlainan jenis.
Kalau sudah asik bergosip mulai dari Kiki Fatmala si malin kundang, lompat ke teror bom kan buatan Amerika (teori konspirasi uthak athik gathuk), maka tak bisa disangkal kehadiran anda sebagai pelanggan didepan hidungnya tak ubah bak seonggok daging mentah diatas ban berjalan, sementara tugas mereka memberi label bernama karcis tol. Sapaan selamat pagi, Senyum, atau pandangan mata ramah " oh no bukan...bukan itu.." yang kita dapat. Lha wong kita malahan tersangka sebagai "biang recok" keasikan mereka.
Baru saja injakan rem rem saya angkat dan pedal gas mulai ditekan, "mak jegagik" secara tiba-tiba sesosok bayangan melintas didepan saya. Kaget terkaget harus mengerem balik kendaraan untuk memberikan kesempatan "sosok" ternyata para pegawai tol lalu lalang disekitar gerbang seakan ditengah pasar yang damai. Aktivitasnya macam-macam, mulai yang berlarian tukar uang ke gardu temannya, ambil air minum, ambil makan siang, sekedar mau cuci muka, ambil kartu tol, ke WC entah apa lagi. Seakan-akan menyebrang di gerbang tol adalah perbuatan halal-halal saja. Yang bikin susah kadang mereka menyeberang dari balik kamar pembayaran bersamaan dengan konsentrasi pengemudi pecah karena menghitung uang kembalian, menutup kaca mobil atau menyimpan kartu tol. Kalau sudah begini bisanya urut dada.
Dulu aktivitas tukar shift, atau aktivitas lain bisa diketahui dengan cara menutup gardu. Sekarang, kalau bisa dilakukan sambil melayani pelanggan mengapa harus perduli dengan keselamatan kerja. Atau seperti filosofi Batavia van pinggiran, "kalo ada mobil berjalan, pasti ada supirnye, kalau ada supirnye, jelas ade matenya, apalagi cume erem.."
Apa enggak enek ter nyesek, kalau sudah begini.
Comments