Lapar Menulis dari Hongkong

2/27/2006

"Idle hands are the devil's workshop?"

Para pembantu rumah tangga kita, kalau mereka paham bahasa Inggris, paham pula arti peribahasa kino buatan mahzab anti idle hand. Tangan yang nganggur bakal menghasilkan pikiran jahat. Jadi kalau mbak-mbak kita "kelihatan " nganggur, sibuklah para juragan kasih order halus atau tebal mbokyao bersih-bersih kaca, pangkas kebun, atau gebek pantat kuwali. Sementara para juragan asik menyulam, bordir (dulu). Penganut mahzab begini bakal sewot kalau melihat para pembantu membaca novel, atau mulai corat-coret mengarang. Pembantu ber "esemes" saja sudah membuat para nyonya mengerutkan keningnya. Yang kalau diterjemahkan "belagu ente" - yang sadis lagi kalau nyeletuk hidup saja masih "bis to bis.."

Maka saya ter-herman ibn gumun ketika membaca seorang mbak dari Indonesia yang notabene tidak dikondisikan untuk banyak membaca apalagi menulis, mampu menghasilkan tulisan atau cerpen yang menggigit. Sebut saja Syifa Aulia. Mata juragannya yang Cina Hongkong bak alap-alap-trondol ketika mengekori tingkah lakunya sehari-hari. Jangan coba ketahuan membaca apalagi menulis, itu dianggap perbuatan mencuri waktu, dan berbuntut "terminate" - suatu bahasa populer dikalangan mbak pekerja "Wah piye aku diterminate" di kita sini istilahnya lebih panjang "Purna bhaksi dini" atau "di oonslag dengan sedikit terhormat..".

Namun orang Kendal ini memang punya "sifat-kandel". Ia keukeuh dengan semangat 45 untuk menulis dengan bergerilya. Kalau ide sudah menumpuk, buru-buru ia permisi ke WC. Kalau orang lain plorot celana ia buka dompet keluarkan kertas kecil, menulis beberapa baris gagasan. Selesai.

Saat liburan akhir pekan tiba, ia pergi ke bilik "ceting" begitu mereka bilang untuk warnet, dan mulai mengetikkan isi pikirannya ke layar monitor. Ketika pekerja asal Indonesia umumnya terjebak pola konsumerisme, beli baju, kosmetik, kacamata, dan gonta ganti handphone. Atau malahan beli jimat pengasihan agar tak diterminate, maka ia beli komputer jinjing - sebuah langkah teramat maju kedepan untuk seorang mbak tamatan SD. Sekarang ia bebas menulis dan ceting tanpa harus pergi ke Warnet.

Lain lagi dengan mbak Mei Sumardi. Pembantu spesialis mengasuh orang jompo ini sering dikemplang juragannya. "Kepala saya seakan mau hancur.." bukan lantaran ditabok - tapi ide kelewat penuh di otak sementara penyaluran tersumbat. Saat nenek asuhannya tertidur pulas ia curi-curi menulis. Sebaris demi sebaris, akhirnya jadilah cerpen. Waktu libur akhir pekan ia mengunjungi mesjid Tsim Sha Tsui, disana suasananya tenang dan ia menyalin isi kepalanya di warnet lalu disalin ke disket dan dititipkan ke temannya. Alasannya, juragannya diam-diam sering menggeledah tas tangannya. Gerilyawati ini tidak sia-sia. Cerpennya menjadi pemenang nomor satu dalam lomba cerpen di Hongkong.

Yang rada beruntung adalah mbak "Rini". Perempuan Cirebon 35-an ini penuh percaya diri ketika membacakan baris demi baris cerpen karya sendiri berjudul "Penari Naga Kecil" di sebuah toko buku Toga Mas di kawasan Yogyakarta. Tanpa rikuh, didepan budayawan Tohari sang Ronggeng dukuh Paruh. Rini yang nama lengkapnya Ratini, bekerja mulai tengah hari sampai tengah malam. Di saat liburnya yaitu pagi hari, ia menyempatkan diri ber "ceting" - sambil perlahan menulis cerpen. Ada 23 cerpen dihasilkannya.

Kalau sudah bisa membangkitkan lapar menulis. Dimana saja, kapan saja, ada gerilya olah-oret.

Comments

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

774-Tongseng Serambi (masjid) Sunda Kelapa