Terasi
2/17/2006
Entah mengapa kantin di Australia kalau menanak nasi selalu terasa mentah sampai-sampai saya jarang sekali makan nasi disana. Tetapi ketika bakso tanpa formalin dibalut nasi lalu digoreng, saya amat menyukainya. Jadi ketika di Antara Pondok Gede dan Bekasi saya dimasakkan tempe, sayur kacang panjang, goreng ikan asin, caisim, bayam, kangkung. Wah ini baru Nyam Nyam Bangget.
Namun keadaan suka menjadi drama ketika dari hari kehari masakannya kok ajek gitu, kata wong kito "jadi-maleg" - alias enek terenek. Harap visualisasikan Fuadi yang ketua Artis sedang "ngejadul" pakai bahasa wong kito..
Ada apa ini. Dimana keahlian para juru masakku?
Daripada "Ya-Ubeng" tidak ketemu jawabannya mending saya melakukan investigasi ringan di TKP.
Ternyata penyebab semua ini berpangkal pada pemasok Logistik harian kami. Levelnya belum sampai setingkat KSAN yang seloroh atasnya membuat seorang anggota DPR menuai Ketupat Bengkulu racikan front "Panca Marga".
Namanya sebut saja "Mak Irah" kalau ditanya usia, dia jawab "kagak tahu, saya mah sehat bae..." - Ini bedanya kalau yang buta hurup orang Cina, paling tidak mereka masih bisa menyebut tahun kuda, tahun kelinci sehingga paling tidak bisa diurut per dua belasan tahun.
Saya taksir belum 50-an namun porem wajahnya boros lantaran deraan hidup yang dilakoninya. Suaminya sudah berpulang beberapa tahun berselang. "Muntah darah diteluh sampai mati," katanya ketika ditanya mengapa dia berdagang. Sekalipun jabatan tak resmi suaminya cuma kerja kernet tukang batu, ibarat kata, jabatan yang bukan dicecar oleh pesaingnya. Mak Irah keukeuh lawan suaminya tidak "fair play". Namun itulah rakyat pedesaan. Sakit adalah teluh dengki, jadi tidak perlu diobati ke dokter, cukup orang pintar, sisanya pasrah. Perkara siapa yang meneluh, selalu misteri. Atau cukup disebut "ada ajah.." Biar Yang Kuasa akan membalaskannya.
Janda yang hanya melek hurup Arab ini ikut anak lelakinya. Kok ya menantu sakit dan meninggal dunia, meninggalkan dua bocah. Akhirnya nenek inilah yang mengurus dua anak piatu.
Seperti belum usai cobaan, anak yang kedua (lelaki) meninggal dunia, meninggalkan dua bocah yatim. Berarti total 4 mulut mungil harus diurusinya. Pasalnya Nenek Irah tidak tega melihat menantu perempuannya menjadi tukang cuci sana sini dengan penghasilan tambal butuh, sementara pekerjaan anak lelakinya tidak tetap.
"Kalau saya cerita panjang dik", katanya sambil matanya berlinang. Sementara kerutan diwajah tuanya bagaikan pahatan sungai-sungai mini akibat kulit terbakar matahari.
Tidak tega melihat kekurangan ekonomi keluarga, nenek Irah cancut taliwanda. Ia minta mantunya belanja sayur di pasar Kecapi, dan nenek Irah yang membantu menjualnya secara "milir" atau ke kampung-kampung.
Dan tengoklah telapak kaki telanjangnya yang sampai melebar "njebeber" dan telapak kulit yang menebal lantaran beradu dengan aspal, batu, pasir jalanan yang terkadang panasnya menyengat. Kalau sudah dibeli dan diberi lebihan sekedarnya (kembaliannya diambil aja), doanya seperti tidak putus-putusnya. Kadang disela doanya dia berguman, "jadi dah anak yatim dan piatu saya makan nasi sama terasi goreng."
"Terasi bakar..." rasanya keluarga saya akrab dengan kata-kata itu, lantaran saya pernah cerita, makanan paling lezat waktu kecil adalah kerak nasi masih panas diolesi terasi bangka yang sudah digoreng. Bau terasi terbakar itulah yang menerbitkan rasa lapar.
"Tong, kite adenye cuma terasi ama nasi, kalo elu ihlas makan jadi enak," begitulah nenek Ira membesarkan hati ke empat cucunya yang kadang bertanya mengapa menunya harus terasi. Lantaran empati, kadang kami sumbangkan pula beberapa potong ikan asin buat cucunya.
Mak Irah, sering merasa alhamdulillah karena sering diberi tetangga baju dan kain bekas sehingga ia tidak pernah beli baju muslim. Sebuah design yang melindunginya dari terpaan angin dan sengatan matahari.
Menghindari rasa bosan. Tempe digoreng, sayuran diolah, hasilnya dibagikan ke tetangga yang di Rawa Bogo masih bisa dihitung sebelah tangan.
Kadang peristiwa kecil begini sering menambah wawasan dan rasa syukur bahwa masih banyak orang yang lebih menderita di bawah kita. Sehari-hari bergelut urusan pincuk, dan boro-boro menuju puncak.
--
mimbar SAPUTRO mailto:mbambangse@yahoo.com.au
Tilp: 0811806549
Mimbarpedia
pincuk= daun pisang yang dijepit membentuk piring
Mak Mano Idak Yak Ubeng... = kita jadi pusing, bingung
Ngejadul = Palembang, kelakar, bual-bual
Tong = sebutan betawi, anak lelaki
Milir= berjualan keluar masuk kampung
Entah mengapa kantin di Australia kalau menanak nasi selalu terasa mentah sampai-sampai saya jarang sekali makan nasi disana. Tetapi ketika bakso tanpa formalin dibalut nasi lalu digoreng, saya amat menyukainya. Jadi ketika di Antara Pondok Gede dan Bekasi saya dimasakkan tempe, sayur kacang panjang, goreng ikan asin, caisim, bayam, kangkung. Wah ini baru Nyam Nyam Bangget.
Namun keadaan suka menjadi drama ketika dari hari kehari masakannya kok ajek gitu, kata wong kito "jadi-maleg" - alias enek terenek. Harap visualisasikan Fuadi yang ketua Artis sedang "ngejadul" pakai bahasa wong kito..
Ada apa ini. Dimana keahlian para juru masakku?
Daripada "Ya-Ubeng" tidak ketemu jawabannya mending saya melakukan investigasi ringan di TKP.
Ternyata penyebab semua ini berpangkal pada pemasok Logistik harian kami. Levelnya belum sampai setingkat KSAN yang seloroh atasnya membuat seorang anggota DPR menuai Ketupat Bengkulu racikan front "Panca Marga".
Namanya sebut saja "Mak Irah" kalau ditanya usia, dia jawab "kagak tahu, saya mah sehat bae..." - Ini bedanya kalau yang buta hurup orang Cina, paling tidak mereka masih bisa menyebut tahun kuda, tahun kelinci sehingga paling tidak bisa diurut per dua belasan tahun.
Saya taksir belum 50-an namun porem wajahnya boros lantaran deraan hidup yang dilakoninya. Suaminya sudah berpulang beberapa tahun berselang. "Muntah darah diteluh sampai mati," katanya ketika ditanya mengapa dia berdagang. Sekalipun jabatan tak resmi suaminya cuma kerja kernet tukang batu, ibarat kata, jabatan yang bukan dicecar oleh pesaingnya. Mak Irah keukeuh lawan suaminya tidak "fair play". Namun itulah rakyat pedesaan. Sakit adalah teluh dengki, jadi tidak perlu diobati ke dokter, cukup orang pintar, sisanya pasrah. Perkara siapa yang meneluh, selalu misteri. Atau cukup disebut "ada ajah.." Biar Yang Kuasa akan membalaskannya.
Janda yang hanya melek hurup Arab ini ikut anak lelakinya. Kok ya menantu sakit dan meninggal dunia, meninggalkan dua bocah. Akhirnya nenek inilah yang mengurus dua anak piatu.
Seperti belum usai cobaan, anak yang kedua (lelaki) meninggal dunia, meninggalkan dua bocah yatim. Berarti total 4 mulut mungil harus diurusinya. Pasalnya Nenek Irah tidak tega melihat menantu perempuannya menjadi tukang cuci sana sini dengan penghasilan tambal butuh, sementara pekerjaan anak lelakinya tidak tetap.
"Kalau saya cerita panjang dik", katanya sambil matanya berlinang. Sementara kerutan diwajah tuanya bagaikan pahatan sungai-sungai mini akibat kulit terbakar matahari.
Tidak tega melihat kekurangan ekonomi keluarga, nenek Irah cancut taliwanda. Ia minta mantunya belanja sayur di pasar Kecapi, dan nenek Irah yang membantu menjualnya secara "milir" atau ke kampung-kampung.
Dan tengoklah telapak kaki telanjangnya yang sampai melebar "njebeber" dan telapak kulit yang menebal lantaran beradu dengan aspal, batu, pasir jalanan yang terkadang panasnya menyengat. Kalau sudah dibeli dan diberi lebihan sekedarnya (kembaliannya diambil aja), doanya seperti tidak putus-putusnya. Kadang disela doanya dia berguman, "jadi dah anak yatim dan piatu saya makan nasi sama terasi goreng."
"Terasi bakar..." rasanya keluarga saya akrab dengan kata-kata itu, lantaran saya pernah cerita, makanan paling lezat waktu kecil adalah kerak nasi masih panas diolesi terasi bangka yang sudah digoreng. Bau terasi terbakar itulah yang menerbitkan rasa lapar.
"Tong, kite adenye cuma terasi ama nasi, kalo elu ihlas makan jadi enak," begitulah nenek Ira membesarkan hati ke empat cucunya yang kadang bertanya mengapa menunya harus terasi. Lantaran empati, kadang kami sumbangkan pula beberapa potong ikan asin buat cucunya.
Mak Irah, sering merasa alhamdulillah karena sering diberi tetangga baju dan kain bekas sehingga ia tidak pernah beli baju muslim. Sebuah design yang melindunginya dari terpaan angin dan sengatan matahari.
Menghindari rasa bosan. Tempe digoreng, sayuran diolah, hasilnya dibagikan ke tetangga yang di Rawa Bogo masih bisa dihitung sebelah tangan.
Kadang peristiwa kecil begini sering menambah wawasan dan rasa syukur bahwa masih banyak orang yang lebih menderita di bawah kita. Sehari-hari bergelut urusan pincuk, dan boro-boro menuju puncak.
--
mimbar SAPUTRO mailto:mbambangse@yahoo.com.au
Tilp: 0811806549
Mimbarpedia
pincuk= daun pisang yang dijepit membentuk piring
Mak Mano Idak Yak Ubeng... = kita jadi pusing, bingung
Ngejadul = Palembang, kelakar, bual-bual
Tong = sebutan betawi, anak lelaki
Milir= berjualan keluar masuk kampung
Comments