Seruling Gading

KOMPAS Minggu, 24 Januari 1999

KI Wirasaba adalah seorang pendekar di antara para gembala. Ia bersenjata kapak dan tenaganya amat kuat. Ada pun ciri gembala adalah kepandaiannya meniup seruling. Untuk ini Ki Wirasaba mendapat julukan Seruling Gading, karena-demikian dikatakan SH Mintardja lewat Mahesa Jenar:

Pantaslah kalau orang menyebutnya Seruling Gading. Kepandaiannya meniup seruling adalah hampir sampai pada tingkat sempurna. Ternyata apa yang diceritakan Ki Asem Gede adalah sama sekali tidak berlebih-lebihan.-

Masalahnya, bagaimana cara SH Mintardja menggambarkan kemampuan Seruling Gading itu?
Apakah cukup dengan mengatakan, ia memang jago main seruling? Tepatnya, bagaimana caranya SH Mintardja menyastrakan apa yang disebut musik? Musik untuk didengar. Sastra untuk dibaca. Hanya bila sastra tulis dilisankan, maka akan ada aspek musikal di dalamnya.
Namun bila ia tetap menjadi sastra tulis, maka akan cukup sulit mendengar musik di situ, kecuali pengarangnya menyelipkan partitur. Toh partitur hanyalah bentuk tertulis dari nada, bukan kata, meski tak ada larangan untuk itu.

Tapi kita masih menghadapi masalah yang sama, bagaimana cara SH Mintardja menyastrakan kemampuan Seruling Gading?

ALKISAH, Ki Wirasaba akhirnya mengetahui juga, bahwa Mahesa Jenar adalah yang membebaskan istrinya. Diburunya Mahesa Jenar setelah kakinya sembuh dari kelumpuhan, untuk menantangnya berperang tanding. Ketinggian hatinya tidak bisa menerima kebaikan hati orang lain.

Mahesa Jenar agak bingung, karena ia akan menang dengan sangat mudah. Padahal kalau Ki Wirasaba kalah, akibatnya juga akan fatal, karena orang seperti Ki Wirasaba tak akan mampu menerima kekalahannya. Mahesa Jenar berada dalam dilema, bagaimana caranya menang tanpa ngasorake, menang tanpa mengalahkan-sebuah ungkapan dalam etika Jawa.
Ki Wirasaba menemukan Mahesa Jenar ketika yang belakangan itu sedang dikeroyok anak buah Lawa Ijo. Ki Wirasaba membantu Mahesa Jenar hanya supaya bisa menantangnya berduel, bahkan memberi waktu istirahat sehari.

Pada saat istirahat itulah Wirasaba meniup seruling di bawah pohon. Kemampuan Ki Wirasaba bermain seruling ternyata menjadi jalan keluar persoalan Mahesa Jenar, dan dengan itu SH Mintardja sekaligus mendemonstrasikan kemampuannya menyastrakan musik.
Maka setelah mendapat pikiran yang demikian, agak legalah hatinya, sehingga pikirannya tidak lagi digelisahkan oleh kehadiran

Seruling Gading. Bahkan tiba-tiba kembali ia bisa menikmati suara seruling yang lincah membentur dinding-dinding goa, yang dalam tangkapan Mahesa Jenar, Seruling Gading itu ingin bercerita tentang derai air laut yang membelai pantai.

Suara gemericik berloncat-loncatan. Alangkah riangnya. Seriang anak domba yang dilepaskan di padang hijau, di bawah lindungan gembala yang pengasih. Namun tiba-tiba hampir mengejut nada itu melonjak berputaran melukiskan datangnya taufan yang dahsyat serta kemudian mengguruh menimbulkan badai. Ombak yang dahsyat datang bergulung-gulung menghantam keriangan wajah pantai. Tetapi yang mengagumkan Mahesa Jenar adalah, Seruling Gading dalam lagunya, yang gemuruh dahsyat itu, berhasil menyelipkan sebuah nada yang melukiskan seolah-olah sebuah perahu yang kecil, sedang berusaha mencapai pantai dengan melawan tantangan alam yang ganas itu. Tetapi lagu itu mendadak berhenti sampai sekian, sehingga Mahesa Jenar agak terkejut pula karenanya.

Rupa-rupanya Seruling Gading dengan demikian ingin mengatakan kepadanya bahwa ia sendiri, dalam perjalanan hidupnya, bagaikan sebuah perahu kecil yang diombang-ambingkan gelombang keadaan yang maha dahsyat. Namun demikian ia tetap berjuang untuk masa depannya. Untuk ketenteraman hidupnya. Sehingga mau tidak mau Mahesa Jenar memuji di dalam hatinya. Hanya saja, perwujudan depannya kadang-kadang dilahirkan dalam bentuk yang kurang tepat, sehingga sifatnya yang sudah tinggi hati itu, mencapai bentuk yang agak berlebih-lebihan.

Bukankah ini ajaib? Suara seruling itu bukan hanya bisa diterjemahkan menjadi kata, tetapi juga bisa menjadi pengertian, yang begitu gamblang, sehingga Mahesa Jenar bisa menganalisis karakter Ki Wirasaba. Keajaiban ini baru merupakan ancang-ancang menuju keajaiban berikutnya, ketika setelah meniup seruling itu Ki Wirasaba tertidur.

Baru ketika matahari hampir tenggelam, Seruling Gading terbangun oleh suara seruling.
Alangkah terkejutnya, ketika ia mendengar lagu yang berkumandang demikian merdunya. Ia sendiri demikian mahirnya meniup seruling sampai orang menyebutnya Seruling Gading.
Tetapi di sini, di padang rumput di sela-sela hutan rimba, ia mendengar dengan telinganya sendiri suara seruling yang sedemikian indahnya, sampai ia sendiri tak dapat menilainya. Siapakah yang lebih pandai, di antara ia sendiri yang mendapat julukan Seruling Gading, ataukah peniup seruling di tengah-tengah padang ilalang ini.

Lebih kagum lagi ketika ia mendengar, bagaimana orang yang meniup seruling itu berusaha untuk mengulang kembali ceriteranya yang telah diungkapkan lewat nada siang tadi. Ceritera tentang derai air laut yang membelai pantai, gemericik berloncat-loncatan. Bahkan ceritera itu kini dilengkapi dengan desir angin yang bermain bersama burung-burung camar yang bertebaran dengan lincahnya.

Tetapi yang dengan tiba-tiba pula, nada itu melonjak melingkar-lingkar bagaikan taufan yang dengan dahsyatnya menimbulkan putaran-putaran air serta gelombang yang bergolak mengerikan. Sedangkan di sela-sela riuhnya gelombang yang membentur pantai itu, terselip pula sebuah nada yang melukiskan seolah-olah sebuah perahu yang kecil sedang menyusup di antara gelegaknya ombak, berusaha mencapai pantai.

Sampai sekian perasaan Seruling Gading menjadi tegang. Ia tidak tahu, siapakah yang telah meniup seruling sedemikian pandainya sehingga hampir mencapai tingkat sempurna. Juga ia sama sekali tidak tahu maksud peniup seruling itu, kenapa ia berusaha melukiskan kembali ceriteranya, meskipun dalam ungkapan yang berbeda, tetapi mempunyai bentuk yang sama.
Tetapi tiba-tiba Seruling Gading terlonjak bangkit. Perahu kecil yang sedang berjuang mati-matian untuk mencapai pantai itu, tiba-tiba terseret oleh deru gelombang yang dahsyat, serta kemudian diputar oleh taufan yang ganas. Sehingga nada lagu itu menjadi menjerit sebagai tangis anak-anak yang kehilangan ibunya.

Mendengar akhir lagu itu, hati Seruling Gading tersinggung bukan main. Tahukah ia sekarang maksudnya, bahwa peniup seruling ingin menghinakannya sebagai seorang yang minta belas kasihan, serta sedang berteriak-teriak minta pertolongan. Sebagai seorang yang tinggi hati, Seruling Gading marah bukan buatan. Darahnya tiba-tiba menjadi bergelora. Timbullah keinginannya untuk menjawab hinaan itu, serta menghantam lewat nada pula.

Tetapi ketika ia ingin mengambil serulingnya dari dalam bajunya, kembali Seruling Gading terperanjat sekali, sampai menjerit nyaring karena marahnya. Serulingnya yang dibuat dari pring gading, serta tak pernah terpisah dari tubuhnya itu, ternyata sudah tidak ada lagi. Ketika sekali lagi ia memperhatikan warna suara yang masih saja melingkar-lingkar di telinganya, ternyata bahwa seruling itu pastilah miliknya.

SUARA seruling, sebagai sebuah lagu, dengan sendirinya mengandung dalam dirinya sebuah cerita. Namun cerita itu pasti non-verbal bukan? Artinya, imajinasi dua orang yang terbangkitkan oleh suara sebuah seruling pastilah tidak akan sama, karena sejarah pengalaman dalam rekaman budaya setiap orang berbeda-beda.

Namun dalam cerita ini, suara seruling itu bukan hanya menjadi sebuah cerita yang akurat dan deskriptif untuk dua orang berbeda, yakni tentang perahu yang berlayar di laut itu, melainkan juga bahwa ketika lagu itu diulang oleh peniup seruling lain, terjamin betapa pendengarnya akan sangat paham bahwa lagu itu telah dipermainkan, sebagai sebuah cerita verbal. Artinya, SH Mintardja telah memanfaatkan idiom sastra tulis ini secara total: suara seruling bisa diterjemahkan secara literer. Suatu hal yang tidak mungkin dilakukannya dengan idiom musik, dengan suara seruling beneran.

Maka, sampai di sini kita telah menemukan beberapa hal. Pertama, musik yang abstrak bisa dikonkretkan secara literer. Kedua, karena bentuk literernya yang konkret, terdapat peluang untuk menunjukkan parodi dari lagu yang sama, juga dalam bentuk literer. Ketiga, konflik lewat musik dalam episode ini membentuk sebuah cerita tentang perahu di tengah laut yang mandiri, menjadi sebuah cerita dalam cerita, dengan atmosfer taufan dan badainya sendiri.

Konflik Wirasaba dan Mahesa Jenar sendiri diselesaikan dengan cara lain. Ketika kapak Wirasaba mencuil batu, Mahesa Jenar menghancurkan batu itu dengan Sasra Birawa, sehingga Wirasaba mendapat penyadaran, dan Mahesa Jenar bisa menang tanpa harus mengalahkannya dalam pengertian yang harafiah. Apalagi setelah ia tahu, bahwa kakinya sembuh dari kelumpuhan karena obat pemberian Mahesa Jenar.

Seruling Gading tak pernah muncul lagi sepanjang Nagasasra dan Sabuk Inten. Kemampuan berkelahinya tidak terlalu cukup untuk sebuah dunia yang penuh tokoh-tokoh sakti. Namun kemunculannya telah menghadirkan sebuah permainan, yang termasuk paling penting, dalam pengungkapan literer dari seluruh riwayat Nagasasra dan Sabuk Inten yang legendaris.
(Seno Gumira Ajidarma)

Comments

Unknown said…
Seruling Gading tak pernah muncul lagi sepanjang Nagasasra dan Sabuk Inten. Kemampuan berkelahinya tidak terlalu cukup untuk sebuah dunia yang penuh tokoh-tokoh sakti. Namun kemunculannya telah menghadirkan sebuah permainan, yang termasuk paling penting, dalam pengungkapan literer dari seluruh riwayat Nagasasra dan Sabuk Inten yang legendaris.
(Seno Gumira Ajidarma)

Wirasaba bersama Ki Dalang Mantingan masih ikut berkiprah membantu Arya Salaka dalam perebutan kekuasaan di Perdikan Banyubiru. Walaupuin tidak ikut andil dalam hal di ketemukannya Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

774-Tongseng Serambi (masjid) Sunda Kelapa