Herry Wibowo - Ilustrator Nagasasra dan Sabukinten
Ilustrator Cerita NAGASASRA DAN SABUKINTENKarya SH Mintardja
Kentardjo (informasi dari sang Puteri)
Herry Wibowo (lupa aku ambilnya file dari Detik.Com)
Herry Wibowo
Pameran Ilustrasi Herry Cerita Silat dengan Karakter PribumiLiputan: Bagus KurniawanRabu, 12/4/2000 Tak banyak ilustrator yang setia pada profesinya, terutama ilustrator komik yang nasibnya jauh dari penghasilan tinggi. Namun, Herry Wibowo, ilustrator untuk cerita silat bersambung "Api di Bukit Menoreh" di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, adalah sedikit cukup setia. Kini dia memamerkan karya ilutrasinya selama puluhan tahun itu.
Mungkin orang tak mengira ada seorang seniman gambar yang mampu membuat gambar ilustrasi dengan wajah dan karakter pribumi Indonesia. Bukan gambar-gambar berkarakter Amerika atau Jepang seperti komik-komik saku yang laris sekarang ini. Karya-karya itu adalah milik Herry Wibowo, seorang seniman gambar kelahiran Semarang, 8 Juni 1943. Herry saat ini masih aktif mengajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan Modern School of Design, Yogyakarta. Karya-karya Herry sejak tahun 1960 sampai sekarang selalu menghiasi beberapa komik lama, cergam dan cerbung karangan pengarang silat ternama seperti SH Mintardja, Herman Pratikto, dan Asmaraman Kho Ping Ho.
Tokoh-tokoh yang ditampilkannya berkarakter pribumi, dengan muka oval, badan cenderung pendek, tetapi sehat dan kekar. Gambar-gambar itu hampir sebagian besar berbentuk epos kepahlawanan yang mampu memberikan semangat perjuangan waktu itu (tahun 1960 dan 1970-an). Goresan tangannya menghiasi ilustrasi cerita bersambung di Harian Kedaulatan Rakyat dan Bernas Yogyakarta tahun 1970-an seperti serial Api di Bukit Menoreh, Nagasasra Sabuk Inten, Naga Geni, Mahesa Wulung, Kisah Perjuangan Nyi Ageng Serang, Bendhe Mataram dan masih banyak lagi.
Saat ini Herry menggelar sekitar 75 karyanya dalam pameran yang bertajuk "Garis-Garis Liris Ilustrasi Karya Herry Wibowo" di Bentara Budaya, Jalan Suroto 2, Kotabaru, Yogyakarta, mulai hari ini hingga 18 April nanti.
"Saya mampu menggambar manusia dengan wajah dan karakter lokal, setelah belajar cukup lama," kata Herry mengawali cerita kepada detikcom, Selasa (12/4/2000) seusai acara pembukaan. Sebelumnya, Herry mengaku lebih dulu mempelajari ilmu dan cara-cara menggambar dari literatur-literatur Barat. Lama kelamaan dia mahir menggambar dengan karakternya sendiri.
Dia tidak terseret pada peniruan pola garis dalam literatur acuannya itu, sebaliknya malah meminjamnya untuk membangun guratan-guratan garis lokal. Garis yang ringkas, kadang terputus-putus, dan pola arsir yang sederhana telah menjadi cirinya, yang berbeda misalnya dengan komikus Teguh Santosa yang suka dengan garis yang tebal dan tegas atau tarikan liar seperti Ganes TH (Si Buta dari Goa Hantu) dan Djair (Serial Sjaka Sembung).
Untuk menciptakan karakter lokal yang realis, Herry memperhatikan detil dari anatomi tubuh tokohnya, seperti tinggi, berat badan, rambut, dan wajah. Karena sering membikin ilustrasi untuk cerita silat, seperti dalam Api di Bukit Menoreh, dia pun harus mempelajari gerakan-gerakan dasar ilmu silat.
"Khusus gambar gerakan silat saya harus mampu menggambar gerakan jurus silat dari isi cerita itu sendiri. Tetapi, intinya secara umum gerakan silat itu pasti melindungi bagian-bagian tubuh yang paling lemah," katanya.
Bagi Herry, dari ribuan karya gambar ilustrasi yang menghiasi majalah, surat kabar atau pun buku cerita, yang cukup membanggakan dan mengesankan selama hidupnya adalah karya ilustrasi dalam cerbung serial Api di Bukit Menoreh Karya SH Mintardja yang telah diterbitkan kembali dan dicetak ulang. Cerita bersambung itu mencapai 375 jilid dengan ilustrasi karya Herry mencapai ratusan jumlahnya. Belum lagi karya-karya lainnya yang juga mulai dicetak ulang seperti serial Bendhe Mataram karangan Herman Pratikto.
Namun sayangnya para penulis-penulis cerita itu seperti SH Mintardja, Herman Pratikto, dan Asmaraman Kho Ping Ho sudah tiada semua. Dulu semasa hidupnya, orang-orang itu adalah temannya berdiskusi dan bertanya, sebelum Herry mengubahnya menjadi sebuah gambar. Gambar-gambar itu rupanya juga mampu memberikan semangat yang menguatkan isi cerita. Namun, menurut dia, di masa depan ilustrasi akan menjadi sebuah karya yang mandiri, bukan hanya menempel dan menjadi sisipan dalam sebuah teks/naskah di koran atau majalah.
Suwarno Wisetrotomo, kurator pameran, mengemukakan bahwa Herry Wibowo adalah "salah satu pelaku yang tetap setia dan konsisten pada pekerjaan menggambar ilustrasi hingga sekarang". Karyanya dianggap memiliki ciri khas yang mampu menampilkan sosok dan wajah lokal Indonesia, khususnya Jawa. Dia juga termasuk salah seorang dari generasi senior yang banyak mengangkat cerita anak-anak mapun cerita kepahlawanan.
"Herry mampu menampilkan sebuah kesetian meniti jalan panjang di dunia gambar. Sehingga diharapkan dapat menyodorkan persoalan yang akan memicu sebuah diskusi tentang apa, siapa, mengapa, dan bagaimana gambar ilustrasi kita (Indonesia)," katanya.
Dalam cergam karya Herry Wibowo, Kisah Perjuangan Nyi Ageng Serang yang diterbitkan oleh Depdikbud tahun 1987/1988 misalnya, Herry mampu menampilkan gambar sebuah epos kepahlawan bangsa dengan tujuan menumbuhkan semangat juang bagi pelajar.
Karakter garis dan guratan wajah yang ditampilkan sudah khas milik Herry dengan wajah lokal Jawa. Pada gambar bagian pertama Herry sudah menggambarkan sebuah pertempuran antara orang Jawa dengan Belanda dengan kontras. Orang Jawa bertubuh pendek dengan muka oval sedangkan orang Belanda sedikit kurus dengan badan tinggi.
Selain gambar, Herry menampilkan pula kata-kata untuk menguatkan isi cerita. Misalnya, "Seluruh tanah Jawa seolah-olah ikut terguncang oleh meletusnya perang Mangkubumi yang dipimpin dua orang bangsawan. Mereka itu adalah Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Kedua tokoh ini saling membahu dalam perjuangan melawan Belanda Mereka mengangkat senjata karena Belanda telah mencengkeramkan kekuasaannya di tanah Jawa serta terlalu banyak mencampuri urusan raja-raja Jawa."
Namun sayangnya pameran yang ditampilkan oleh Herry Wibowo hanya berupa karya-karya yang digandakan dari foto kopi bukan gambar aslinya. Sehingga ada peserta pameran yang menuliskan kesan-kesannya bahwa "pameran itu hanyalah sebuah pameran karya foto kopi".
Sebenarnya, hal ini terjadi gara-gara kurang terdokumentasikannya karya asli Herry. Sejak tahun 1960-an hingga tahun 1970-an Herry selalu menyerahkan kepada penerbit atau surat kabar berupa karya aslinya, bukan salinan, sebab saat itu belum ada mesin foto kopi. Ironisnya, pihak percetakan/penerbitan setelah mencetak buku atau terbit dalam bentuk koran, karya aslinya itu ada yang hilang atau bahkan dibuang begitu saja di tempat sampah. Apa boleh buat, bagi penggemar gambar Herry di cerita-cerita silat, silahkan saja menikmati karya foto kopi ini.
Dalam pameran ini juga digelar sebuah diskusi terbuka bertajuk "Posisi Tawar Ilustrator" pada malam ini, Rabu (12/4/2000) pukul 19.30 WIB, di lokasi pameran. Pusat Kebudayaan Indonesia-Belanda Karta Pustaka dan Bentara Budaya Yogya sebagai penyelenggara akan menghadirkan ilustrator muda Samuel Indratma dan Kuss Indarto.
Kentardjo (informasi dari sang Puteri)
Herry Wibowo (lupa aku ambilnya file dari Detik.Com)
Herry Wibowo
Pameran Ilustrasi Herry Cerita Silat dengan Karakter PribumiLiputan: Bagus KurniawanRabu, 12/4/2000 Tak banyak ilustrator yang setia pada profesinya, terutama ilustrator komik yang nasibnya jauh dari penghasilan tinggi. Namun, Herry Wibowo, ilustrator untuk cerita silat bersambung "Api di Bukit Menoreh" di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, adalah sedikit cukup setia. Kini dia memamerkan karya ilutrasinya selama puluhan tahun itu.
Mungkin orang tak mengira ada seorang seniman gambar yang mampu membuat gambar ilustrasi dengan wajah dan karakter pribumi Indonesia. Bukan gambar-gambar berkarakter Amerika atau Jepang seperti komik-komik saku yang laris sekarang ini. Karya-karya itu adalah milik Herry Wibowo, seorang seniman gambar kelahiran Semarang, 8 Juni 1943. Herry saat ini masih aktif mengajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan Modern School of Design, Yogyakarta. Karya-karya Herry sejak tahun 1960 sampai sekarang selalu menghiasi beberapa komik lama, cergam dan cerbung karangan pengarang silat ternama seperti SH Mintardja, Herman Pratikto, dan Asmaraman Kho Ping Ho.
Tokoh-tokoh yang ditampilkannya berkarakter pribumi, dengan muka oval, badan cenderung pendek, tetapi sehat dan kekar. Gambar-gambar itu hampir sebagian besar berbentuk epos kepahlawanan yang mampu memberikan semangat perjuangan waktu itu (tahun 1960 dan 1970-an). Goresan tangannya menghiasi ilustrasi cerita bersambung di Harian Kedaulatan Rakyat dan Bernas Yogyakarta tahun 1970-an seperti serial Api di Bukit Menoreh, Nagasasra Sabuk Inten, Naga Geni, Mahesa Wulung, Kisah Perjuangan Nyi Ageng Serang, Bendhe Mataram dan masih banyak lagi.
Saat ini Herry menggelar sekitar 75 karyanya dalam pameran yang bertajuk "Garis-Garis Liris Ilustrasi Karya Herry Wibowo" di Bentara Budaya, Jalan Suroto 2, Kotabaru, Yogyakarta, mulai hari ini hingga 18 April nanti.
"Saya mampu menggambar manusia dengan wajah dan karakter lokal, setelah belajar cukup lama," kata Herry mengawali cerita kepada detikcom, Selasa (12/4/2000) seusai acara pembukaan. Sebelumnya, Herry mengaku lebih dulu mempelajari ilmu dan cara-cara menggambar dari literatur-literatur Barat. Lama kelamaan dia mahir menggambar dengan karakternya sendiri.
Dia tidak terseret pada peniruan pola garis dalam literatur acuannya itu, sebaliknya malah meminjamnya untuk membangun guratan-guratan garis lokal. Garis yang ringkas, kadang terputus-putus, dan pola arsir yang sederhana telah menjadi cirinya, yang berbeda misalnya dengan komikus Teguh Santosa yang suka dengan garis yang tebal dan tegas atau tarikan liar seperti Ganes TH (Si Buta dari Goa Hantu) dan Djair (Serial Sjaka Sembung).
Untuk menciptakan karakter lokal yang realis, Herry memperhatikan detil dari anatomi tubuh tokohnya, seperti tinggi, berat badan, rambut, dan wajah. Karena sering membikin ilustrasi untuk cerita silat, seperti dalam Api di Bukit Menoreh, dia pun harus mempelajari gerakan-gerakan dasar ilmu silat.
"Khusus gambar gerakan silat saya harus mampu menggambar gerakan jurus silat dari isi cerita itu sendiri. Tetapi, intinya secara umum gerakan silat itu pasti melindungi bagian-bagian tubuh yang paling lemah," katanya.
Bagi Herry, dari ribuan karya gambar ilustrasi yang menghiasi majalah, surat kabar atau pun buku cerita, yang cukup membanggakan dan mengesankan selama hidupnya adalah karya ilustrasi dalam cerbung serial Api di Bukit Menoreh Karya SH Mintardja yang telah diterbitkan kembali dan dicetak ulang. Cerita bersambung itu mencapai 375 jilid dengan ilustrasi karya Herry mencapai ratusan jumlahnya. Belum lagi karya-karya lainnya yang juga mulai dicetak ulang seperti serial Bendhe Mataram karangan Herman Pratikto.
Namun sayangnya para penulis-penulis cerita itu seperti SH Mintardja, Herman Pratikto, dan Asmaraman Kho Ping Ho sudah tiada semua. Dulu semasa hidupnya, orang-orang itu adalah temannya berdiskusi dan bertanya, sebelum Herry mengubahnya menjadi sebuah gambar. Gambar-gambar itu rupanya juga mampu memberikan semangat yang menguatkan isi cerita. Namun, menurut dia, di masa depan ilustrasi akan menjadi sebuah karya yang mandiri, bukan hanya menempel dan menjadi sisipan dalam sebuah teks/naskah di koran atau majalah.
Suwarno Wisetrotomo, kurator pameran, mengemukakan bahwa Herry Wibowo adalah "salah satu pelaku yang tetap setia dan konsisten pada pekerjaan menggambar ilustrasi hingga sekarang". Karyanya dianggap memiliki ciri khas yang mampu menampilkan sosok dan wajah lokal Indonesia, khususnya Jawa. Dia juga termasuk salah seorang dari generasi senior yang banyak mengangkat cerita anak-anak mapun cerita kepahlawanan.
"Herry mampu menampilkan sebuah kesetian meniti jalan panjang di dunia gambar. Sehingga diharapkan dapat menyodorkan persoalan yang akan memicu sebuah diskusi tentang apa, siapa, mengapa, dan bagaimana gambar ilustrasi kita (Indonesia)," katanya.
Dalam cergam karya Herry Wibowo, Kisah Perjuangan Nyi Ageng Serang yang diterbitkan oleh Depdikbud tahun 1987/1988 misalnya, Herry mampu menampilkan gambar sebuah epos kepahlawan bangsa dengan tujuan menumbuhkan semangat juang bagi pelajar.
Karakter garis dan guratan wajah yang ditampilkan sudah khas milik Herry dengan wajah lokal Jawa. Pada gambar bagian pertama Herry sudah menggambarkan sebuah pertempuran antara orang Jawa dengan Belanda dengan kontras. Orang Jawa bertubuh pendek dengan muka oval sedangkan orang Belanda sedikit kurus dengan badan tinggi.
Selain gambar, Herry menampilkan pula kata-kata untuk menguatkan isi cerita. Misalnya, "Seluruh tanah Jawa seolah-olah ikut terguncang oleh meletusnya perang Mangkubumi yang dipimpin dua orang bangsawan. Mereka itu adalah Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Kedua tokoh ini saling membahu dalam perjuangan melawan Belanda Mereka mengangkat senjata karena Belanda telah mencengkeramkan kekuasaannya di tanah Jawa serta terlalu banyak mencampuri urusan raja-raja Jawa."
Namun sayangnya pameran yang ditampilkan oleh Herry Wibowo hanya berupa karya-karya yang digandakan dari foto kopi bukan gambar aslinya. Sehingga ada peserta pameran yang menuliskan kesan-kesannya bahwa "pameran itu hanyalah sebuah pameran karya foto kopi".
Sebenarnya, hal ini terjadi gara-gara kurang terdokumentasikannya karya asli Herry. Sejak tahun 1960-an hingga tahun 1970-an Herry selalu menyerahkan kepada penerbit atau surat kabar berupa karya aslinya, bukan salinan, sebab saat itu belum ada mesin foto kopi. Ironisnya, pihak percetakan/penerbitan setelah mencetak buku atau terbit dalam bentuk koran, karya aslinya itu ada yang hilang atau bahkan dibuang begitu saja di tempat sampah. Apa boleh buat, bagi penggemar gambar Herry di cerita-cerita silat, silahkan saja menikmati karya foto kopi ini.
Dalam pameran ini juga digelar sebuah diskusi terbuka bertajuk "Posisi Tawar Ilustrator" pada malam ini, Rabu (12/4/2000) pukul 19.30 WIB, di lokasi pameran. Pusat Kebudayaan Indonesia-Belanda Karta Pustaka dan Bentara Budaya Yogya sebagai penyelenggara akan menghadirkan ilustrator muda Samuel Indratma dan Kuss Indarto.
Comments