Airporto Internacional Nicolau Lobato
Date: Tue Oct 18, 2005 5:11 am
Peringatan atau Travel Warning dari serta bisik-bisik para teman akan ketidak amanan tempat yang akan dikunjungi seakan sirna ketika chopie Puma charteran dari maskapai CHC mulai merendah. Sebuah patung besar YESUS SANG JURU DAMAI tegak di ujung semenanjung dengan tangannya membuka lebar, seakan memberi blessing dan mengucapkan selamat datang. Patung inilah yang dibuat oleh pemerintah guna meredam gejolak membara anak-anak Dili menjelang 2002, namun kenyataan berakhir, selamat datang dan blessing hanya untuk orang Australia, Pilipina dan asing lainnya. And goto hell para “samaritan Jawa.”
Memasuki Dili membuka kesannya hanya tanah berbukit dan gersang, hanya satu dua kendaraan lalu lalang di jalan raya, rumah penduduk yang saling berjauhan kendati ada bangunan “nemlok-nemlok” seperti RSS, lalu patung besar yang untungnya tidak ikut dihancurkan ketika kita tidak bisa menerima kekalahan, masih seperti bonek, yang kalau kalah ngamuk, jika menang memeras.
Dollar Amerika, dan sebuah bangunan gereja bekas terbakar yang nampaknya akan diawetkan, sengaja dibiarkan begitu agar tetap membarakan setimen kebencian akan orang “Jawa-pendatang” – begitu sebutan pemakai bahasa Tetun ini kepada pemerintah. Namun seperti sejarah menulis, selalu ada “orang yang dikorbankan” agar bisa memicu sentimen massa. Aquino sampai sekarang belum diketahui siapa pembunuhnya, yang jelas pembunuhannya dipakai sebagai titik balik menjungkalkan Marcos. Namun layaknya “orang kita” juga, peristiwa sehebat apapun, kita adalah bangsa bukan JASMERAH sehingga mudah melupakan sejarah.
BALLPOINT
Saya tidak tahu bagaimana berkomunikasi dengan putra daerah. Uji coba pertama adalah di ruang Imigrasi. Mohon bayangkan sebuah “bivak” – alias “direksi kit” alias sebuah container diberi pendingin. Disitu duduk 3 orang putra daerah pakai celana jean dan kaos lengan pendek ada seorang wanita muda rambut keriting hitam sedikit kecoklatan diikat kebelakang, mengenakan baju “You Can See” dan celana jean. Wanita bersendal ala kelom geulis ini hanya mundar-mandir memperhatikan aktivitas keimigrasian. Anggap saja mereka adalah petugas imigrasi “setidaknya” demikian yang saya tangkap.
Ketika passport saya diminta, saya ucapkan Indonesia. Tanpa reaksi dua pihak. Namun tatkala dimintai mengisi formulir, saya kecut, kelabakan tidak punya pen. Pasalnya peraturan ketat penerbangan menyebutkan tidak diijinkan bawa apa saja didalam pesawat kecuali passport, maka termasuk pensil dan notes kecilpun padahal catatan perjalanan biasanya berasal dari kertas tisue, potongan pas penerbangan, telapak tangan, kulit lengan, namun kalau alat tulisnya tidak ada ya separuh lumpuh. Sial bener. Mestinya punya simpenan pena mini ala gantungan kunci.
Maka masuklah saya ke ruang “imigrasi”. “Hello friends, dou you have spare pen or ballpoint,” sambil tangan saja memberi kode “Benyamin Tarzan ingin menulis” – sebetulnya kelaziman mengucapkan Hello Friend adalah Inggris yang di Indonesiakan. Bule akan mengucapkan “Hi Guy”, “Hi Buddy” – tapi layaknya orang belajar bahasa Inggris dari guru yang berasal dari negara bukan berbahasa Inggris. Harap maklum.
Petugas bertopi baseball seperti bingung, lalu tangannya digerakkan seperti mengelap kaca mobil, artinya “tidak punya” sekalipun tangan yang melambai itu ada sebatang ballpoint murahan. Apa karena sampul pasport hijau dengan tulisan emas INDONESIA terpampang, dia bersikap kaku. Atau sekedar takut pennya “kebawa yang pinjam”.
Mata saya menuliskan, “oh gitu ya cara kamu gaul…”
Eh “tulisan” saya dibaca sang pemimpinnya, dia sedikit menghardik kearah anak buahnya sambil bicara “boleh” – umpan mengena, saya langsung senyum semanis mungkin, mudah-mudahan tidak seperti senyum pelanggan penjual Dawet Undercover van Ponorogo. “Terimakasih”
Baru saja menulis nama, pengumuman “boarding” sudah lepas. Saya cari “ipar” tadi sambil mengucapkan terimakasih. Namun wajahnya seperti dia sibuk dengan kertas didepannya. “Terimakasih ya,” sekali lagi saya bicara. Menilik usianya yang 20-an, saya yakin yang terpateri didadanya hanya kebencian.
Pesawat berbaling dua mulai meraung lalu bergerak meninggalkan Dili, rumah penduduk seperti ikut berlari bersama pesawat, dan sipelari seperti menyampaikan bau cendana dari sebuah miniatur rumah adat Tetun dan sepotong balok kayu cendana 35 cm yang dibawa ayah saya ketika operasi militer didaerha ini. Lalu lamat-lamat saya mencoba merangkai lagu “Senja di Pantai Dili” yang sempat menjadi pemenang salah satu lomba cipta. Kebetulan pula pengarangnya “Dotti” adalah anak Grogol. Sialnya lagu tak kunjung datang, yang muncul adalah visi mas Dotti belanja Elpiji di Gajahsora, lalu kami terlibat obrolan ringan.
Peringatan atau Travel Warning dari serta bisik-bisik para teman akan ketidak amanan tempat yang akan dikunjungi seakan sirna ketika chopie Puma charteran dari maskapai CHC mulai merendah. Sebuah patung besar YESUS SANG JURU DAMAI tegak di ujung semenanjung dengan tangannya membuka lebar, seakan memberi blessing dan mengucapkan selamat datang. Patung inilah yang dibuat oleh pemerintah guna meredam gejolak membara anak-anak Dili menjelang 2002, namun kenyataan berakhir, selamat datang dan blessing hanya untuk orang Australia, Pilipina dan asing lainnya. And goto hell para “samaritan Jawa.”
Memasuki Dili membuka kesannya hanya tanah berbukit dan gersang, hanya satu dua kendaraan lalu lalang di jalan raya, rumah penduduk yang saling berjauhan kendati ada bangunan “nemlok-nemlok” seperti RSS, lalu patung besar yang untungnya tidak ikut dihancurkan ketika kita tidak bisa menerima kekalahan, masih seperti bonek, yang kalau kalah ngamuk, jika menang memeras.
Dollar Amerika, dan sebuah bangunan gereja bekas terbakar yang nampaknya akan diawetkan, sengaja dibiarkan begitu agar tetap membarakan setimen kebencian akan orang “Jawa-pendatang” – begitu sebutan pemakai bahasa Tetun ini kepada pemerintah. Namun seperti sejarah menulis, selalu ada “orang yang dikorbankan” agar bisa memicu sentimen massa. Aquino sampai sekarang belum diketahui siapa pembunuhnya, yang jelas pembunuhannya dipakai sebagai titik balik menjungkalkan Marcos. Namun layaknya “orang kita” juga, peristiwa sehebat apapun, kita adalah bangsa bukan JASMERAH sehingga mudah melupakan sejarah.
BALLPOINT
Saya tidak tahu bagaimana berkomunikasi dengan putra daerah. Uji coba pertama adalah di ruang Imigrasi. Mohon bayangkan sebuah “bivak” – alias “direksi kit” alias sebuah container diberi pendingin. Disitu duduk 3 orang putra daerah pakai celana jean dan kaos lengan pendek ada seorang wanita muda rambut keriting hitam sedikit kecoklatan diikat kebelakang, mengenakan baju “You Can See” dan celana jean. Wanita bersendal ala kelom geulis ini hanya mundar-mandir memperhatikan aktivitas keimigrasian. Anggap saja mereka adalah petugas imigrasi “setidaknya” demikian yang saya tangkap.
Ketika passport saya diminta, saya ucapkan Indonesia. Tanpa reaksi dua pihak. Namun tatkala dimintai mengisi formulir, saya kecut, kelabakan tidak punya pen. Pasalnya peraturan ketat penerbangan menyebutkan tidak diijinkan bawa apa saja didalam pesawat kecuali passport, maka termasuk pensil dan notes kecilpun padahal catatan perjalanan biasanya berasal dari kertas tisue, potongan pas penerbangan, telapak tangan, kulit lengan, namun kalau alat tulisnya tidak ada ya separuh lumpuh. Sial bener. Mestinya punya simpenan pena mini ala gantungan kunci.
Maka masuklah saya ke ruang “imigrasi”. “Hello friends, dou you have spare pen or ballpoint,” sambil tangan saja memberi kode “Benyamin Tarzan ingin menulis” – sebetulnya kelaziman mengucapkan Hello Friend adalah Inggris yang di Indonesiakan. Bule akan mengucapkan “Hi Guy”, “Hi Buddy” – tapi layaknya orang belajar bahasa Inggris dari guru yang berasal dari negara bukan berbahasa Inggris. Harap maklum.
Petugas bertopi baseball seperti bingung, lalu tangannya digerakkan seperti mengelap kaca mobil, artinya “tidak punya” sekalipun tangan yang melambai itu ada sebatang ballpoint murahan. Apa karena sampul pasport hijau dengan tulisan emas INDONESIA terpampang, dia bersikap kaku. Atau sekedar takut pennya “kebawa yang pinjam”.
Mata saya menuliskan, “oh gitu ya cara kamu gaul…”
Eh “tulisan” saya dibaca sang pemimpinnya, dia sedikit menghardik kearah anak buahnya sambil bicara “boleh” – umpan mengena, saya langsung senyum semanis mungkin, mudah-mudahan tidak seperti senyum pelanggan penjual Dawet Undercover van Ponorogo. “Terimakasih”
Baru saja menulis nama, pengumuman “boarding” sudah lepas. Saya cari “ipar” tadi sambil mengucapkan terimakasih. Namun wajahnya seperti dia sibuk dengan kertas didepannya. “Terimakasih ya,” sekali lagi saya bicara. Menilik usianya yang 20-an, saya yakin yang terpateri didadanya hanya kebencian.
Pesawat berbaling dua mulai meraung lalu bergerak meninggalkan Dili, rumah penduduk seperti ikut berlari bersama pesawat, dan sipelari seperti menyampaikan bau cendana dari sebuah miniatur rumah adat Tetun dan sepotong balok kayu cendana 35 cm yang dibawa ayah saya ketika operasi militer didaerha ini. Lalu lamat-lamat saya mencoba merangkai lagu “Senja di Pantai Dili” yang sempat menjadi pemenang salah satu lomba cipta. Kebetulan pula pengarangnya “Dotti” adalah anak Grogol. Sialnya lagu tak kunjung datang, yang muncul adalah visi mas Dotti belanja Elpiji di Gajahsora, lalu kami terlibat obrolan ringan.
Comments