Dollar ala BUMN

Hari ini (12/9/2005) saya ngelaju dari Rawabogo ke S-Parman untuk untuk urusan speedy "gonzales". Sebetulnya sudah lama mau komplin, sebab berulang kali jalannya speedy tersendat jauh dari yang dijanjikan, kadang mereka mengeluarkan ilmu andalan "argo kuda", yang kalau ketahuan, jurus timpalannya "minta maaf". Sekarang aku sudah cabut, menandatangani Kontrak Berhenti, masih datang tagihan beruntun. Padahal begitu cabut, peralatan ADSL modem saya hibahkan kepada orang lain. Bahkan selama 1 bulan lebih pesawat tilpun saya putus kabelnya, biar afdol.

Setelah sedikit "bengkenengan" dengan pihak Telkom Speedy didukung dengan arsip yang saya miliki, akhirnya saya dapat pernyataan "maaf." - Program masih perlu di de-bugging, alias di "petani" karena banyak tuma-nya. Lalu saya nimpali pernyataan maafnya, mbok yao, kalau memang programnya salah tapi jangan pilih bulu, misalnya "salah" memberikan discount atau hadiah. Lha ini software kok
pinter-pinter-ngakali jurusan hanya argo kuda atau, tagihan berjamaah.

Itu mah salah kedhadhen. Saya ingat di sebuah apartemen mungil, di Singapore saya mencoba mengakses data 24 MB dengan wifi (wireless), baru beberapa detik sudah selesai, sampai saya tidak percaya. Kebiasaan di Grogol dan "Rawabogo" nya kalau baru beberapa detik sudah selesai, data yang diperoleh biasanya boongan. Tapi setelah dua kali saya coba, weleh "StarHub" memang mooi.

Selesai dengan Speedy, handphone saya berbunyi ada email dari Perth, betul juga tugas memanggil. Detail tiket sudah dilampirkan dalam bentuk pdf. Thanks to teknologi yang memungkinkan kita baca email dari handphone. Cuma biasanya pakai SQ sekarang kok pakai Garuda. I smell another problem lagi. Saya call garuda reservation diberi arahan ke kantor perwakilan Garuda di Medan Merdeka Selatan untuk menukarkan E-ticket dengan tiket tradisional.

KURS

Sebuah tulisan di lobby Garuda menyambut saya Kurs Hari ini, beli USD=10.740 dan pengembalian USD=9640 - saya tidak melihat yang aneh dari papan pengumuman, kecuali komentar dalam hati "giliran kita beli mahal, giliran jual seenak udel rendahnya "dasar bakul" (pedagang)" - Keluarga saya punya kebiasaan mencemooh orang yang pandai bersilat lidah "pokrol" pokoknya asal menang dengan sebutan "cangkem bakul," tentunya bakul Salak di Bringhardjo ataupun Tempel yang pada umumnya sudah tidak menghiraukan kode etik berjualan mulai dari permainan dacin, harga yang tak jelas lafalnya, kalau ketahuan berbuat curang suaranya makin galak.

Tulisan tersebut mulai "hidup" di kepala saya ketika di salah satu loket seorang pelanggan berbadan lumayan subur, berkacamata, sebut saja mbak Tarida. Mulai gemrenengan. "Mbak saya tadi bayar tiket pakai dollar, kenapa kembaliannya pakai rupiah dengan rate yang rendah macam itu, lantas bagaimana saya mempertanggung jawabkan didepan boss? - aku ini cuma suruhan"

Pihak BUMN mulai berkelit, dengan bahasa hasil latihan yang berkeringat dan berdarah, "peraturannya memang begitu!" - biasanya ini "kata" atau kembangan ilmu karate yang bisa halus, gemulai namun mampu menohok telak. Tapi berhadapan dengan mbak Tarida Gloria (mirip) jenis Cut Nya Dien, alias pejuang ulet. Jurus jadi melempem.

Iya tapi enak disitu namanya nggak enak disaya. Saya mau kembaliannya dollar juga! Suara mulai sedikit beberapa decibel dibawah peluit kereta api langsir di Pengok.

"Tapi kami nggak punya dollar," kata BUMN

"Bohong, perusahaanku kecil, kalau zuma 100 dollar saza kami ada petty cash. Masak Garuda yang sebezar ini tidak punya dollar..." - gaya bahasa dari departemen Berbahasa Indo yang benar sudah mulai evakuasi ke bahasa Iboe nampaknya. Dengan volume disetel untuk berbicara berjarak 20 meter, sekalipun jaraknya kutaksir 2 meter.

Kalau A-Toh situkang dongeng dari Aceh ada disitu, saya bayangkan dia mengangkat tangannya sambil mengeluarkan suara : jreng...jreng jreng. Tanda satu babak drama akan dimulai. Tapi saya nggak sempat nguping lebih lanjut, sebab giliran saya tiba.

Jreng..jreng.jreng.

Bener saja, petugas counter bingung mau diapakan secarik kertas ini. Kita bangsa yang sangat pamilier dengan Kop Surat Berlogo Indah dan dicetak 4 offset warna, dengan bumbu legalisasi dengan cap stempel basah kalau perlu kuyup, tanda tangan diatas meterai enam ribu serta tak lupa menyertakan nama terang, dan gelar yang panjang sekalipun sebagian nembak atau joki. Tentu saja kurang afdol dengan cara polosan yang disebut e-ticket.

Pendongeng Atoh akan mengeluarkan suara "tuwauw, tuwauw, tuwauw" - Betawinya "garing deh elu"

Ada 30 menit menunggu mbak counter untuk menilpun, mengonfirmasi kantor Garuda di Airport, apakah mereka memiliki wewenang untuk mengeluarkan tiket. Tapi kalau anda pernah "nggelidik" sedikit melihat bagaimana tilpun di bagian reservasi kadang digeletakkan begitu saja agar kesannya sibuk. Ya bayangin sendiri betapa sukarnya menilpun institusi tersebut. Akhirnya saya kembali duduk dan meluruskan kaki lalu tidur diantara lalu lalang pelanggan garuda lainnya. Maksudnya begitu lama engkau melayani seorang Mimbar sampai tidurpun bisa dilakukan disini. Ketika saya dibangunkan, ada excuse baru "printer down".

Kembali sejam lagi. Singkat dan penuh arti.

Bahasa ini sekaligus menunjukkan bahwa dimata para penyedia jasa, pelanggan punya sangat banyak waktu, nggak ada kerjaan lain kecuali urus tiket selama 24 jam sehari, punya banyak bahan bakar, punya banyak kesabaran, punya banyak uang parkir, jalan yang lebar dan sepi sekalipun begitu keluar dari jalan Merdeka Selatan, maka hiruk pikuk kemacetan akan menyapa kita dan bisa kembali 1 jam kemudian, sudah untung.

Dua jam kemudian saya ditilpun (nah yang ini agak kejutan mereka bener-bener menilpun aku di HP). Ketika tiba disana, jreng, jreng, jreng petugasnya sudah diganti, agak mudaan, tetapi "greenhorn" kata Karl May. Dia bingung lagi, di layar ada nama saya, tapi belum bisa diakses. Baru setelah seniornya datang (petugas yang melayani saya), klak,klik sana sini, ticket bisa diprint.

Selesai, terimakasih mbak.

Lhi. lho?

Eh belum, mana fotocopy passport dan KTP Bapak! - ini juga pengetahuan basic, terlatih dengan cara yang berkeringat dan berdarah-darah. Harus ada fotocopy KTP, kalau perlu surat Kawin dan Keterangan Keluarga sekalipun saya bisa punya KTP Lampung, Riau , Yogya, atau DKI. KTP Lampung karena saya dibesarkan disana, KTP Riau, karena saya sering ke Caltex, KTP Yogya karena pernah jadi Mahasiswa disana, KTP DKI karena memang tinggal di Grogol, dan sebentar lagi KTP RawaBogo eh Bekasi 17422.

Saya ndak punya, mbak saja yang foto copy. Nampaknya dia setuju, lantas masuk ke ruangan lain sebentar untuk fotocopy Passport saya.
Nah kali ini drama satu babak selesai Happy end.

Comments

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

Menu Makanan Kantin di Rig Terapung