Sapa suru jadi Polisi di Abepura
Bak Hyena di padang perburuan, kawanan bragalba ini dengan cerdik memisahkan calon korban dari rombongannya. Apalagi jumlah tak seimbang. Apalagi di kawasan ini seperti kata teman, cuti tidak selalu untuk berlibur, namun cuti untuk berperang. Ada kekerasan adalah upacara langka yang harus disikapi bukan sebagai penonton, melainkan peserta.
Berhasil! korban mulai dikerubuti dengan profesional. Tubuh korban yang secara genetika lebih kecil nampak limbung lalu jatuh mungkin pingsan atau sudah sekarat, Hyena mulai mengambil batu kali yang sudah dipersiapkan berhari-hari untuk beraksi. Sementara tameng plastik hanya terkapar menyaksikan nyawa tuannya dibantai didepan kamera Televisi Indonesia dan Dunia.
Tangan kekar dan berkulit gelap mulai mengangkat batu setinggi mungkin diatas kepala, tarik napas sambil konsentrasi sebentar agar kedudukan mantap dan bidikan tepat. Batu terangkat lalu dengan kekuatan dan dilambari kemarahan ala manusia primitiv, diayunkan tepat disasaran, barok kepala, minimal leher korban. Tubuh berbalut seragam coklat hanya bergerak mengikuti berderaknya tulang kepala yang remuk dan membuyarkan benak. Dan seperti untuk konsumsi keluarganya di Bekasi dan Indonesia, satu persatu mahasiswa penerus bangsa, mengambil bagian dengan menghancurkan kepala korban. Mayat harus dikangkangi agar bidikan maklum batu 1-2 kilo harus dilakukan dengan terlatih dan lebih mantap. Sasaran harus hancur sebab dalam kepercayaan itulah cara terhormat dalam berperang. Sama halnya samurai memenggal kepala musuhnya. Dan para pengipas di Jakarta saya bayangkan tersenyum lantaran berhasil mencuri pengaruh dan popularitas.
Ada kamera sekitar TKP Bung! Ada pimpinan "Gerakan Moral" di Jakarta yang mengatakan "Kasus Freeport adalah kejahatan!" - di latar belakang seseorang melakukan "Victory Lap" dengan berlalri dang menghancurkan benda sekelilingnya.
Semula saya pikir Newmount yang akan bergolak seperti yang sering dikatakan oleh teman dari NGO dari Jakarta. Rupanya gerilya Freeport sudah tidak main-main. Saya tidak tertarik dan awam soal hitam putihnya dunia pertambangan yang dari dulu dikatakan "mining is gambling" - tidak ada batasan yang pasti seperti 2+2 harus empat. Atau kalau "nggaduh" kambing sepasang, lalu kelak anaknya lahir dua ekor, maka seekor hak pemilik kambing, seekor kepunyaan sang gembala.
Ada beberapa detik saya terdiam. Lalu terbayang bagaimana suasana rumahnya melihat kejadian tersebut, bagaimana hawa dendam di kesatrian Brimob. Aku yang pernah merasakan kehidupan di tangsi, ada semacam spirit yang terluka. Harusnya pimpinan mereka yang sok-arif, sok-melakukan pendekatan dengan cara dialog, yang mengantisipasi cukup dengan rotan tanpa senjata api lah yang di mintai tanggung jawabnya. Tiga tahun lalu, Kapolres di Sumatera Selatan, membubarkan tawuran warga desa yang menggunakan parang, batu, panah senapan-berburu-locok dengan berkerudung sajadah sementara anak buahnya memakai rompi, helm dan alat pengaman lain. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Kepada istrinya saya hanya bisa bilang "kamu dilatih untuk jadi janda.."
Kalau anda lihat pengamanan Condy Rice, bagaimana pasukan Marinir melakukan pengamanan, sangat profesional, mereka tidak menembak sembarangan tetapi soal keselamatan tetap berpegang "kill or to be killed" - atau filem-filem mengenai kepolisian, sekalipun yang ditangkap cuma orang gila, tetapi moncong senjata, tersangka harus menghadap dinding atau tertelungkup dengan tangan di kepala sebelum digeledah atau di borgol. Sikap waspada tetap prioritas yang tak boleh ditawar.
Lalu mulai saya mencatat reaksi atas tayangan acara pemecahan batok kepala 1: 10 batu. Lalu kepada mahasiswa Grogol tempat anak saya belajar. Responden akan mengatakan "resiko jadi polisi, polisi juga brutal, biar impas kekersan dilawan kekerasan, biarin saja - habis pekerjaan polisi nilang di jalan, siapa suruh jadi polisi, emang sudah ajalnya sampai sana.."
Saya tanya kepada keluarga, jawabannya sama "resiko jadi polisi"...
Sambil menahan tusukan diulu hati, merendahkan napas yang memburu saya merenung. Kita lebih garang bereaksi kalau ada bagian tubuh manusia bernama perempuan yang terbuka, lebih lantang mengatakan "bangsa ini akan dibawa kehancuran.." daripada kalau batok kepala yang menganga remuk-redam. Infeksi kekerasan yang ditayangkan acara sejenis buser, sergap, sidik sudah memasuki pori-pori dan menyentuh syaraf imunitas kita. Tubuh kaku serta torehan lebam mayat cukup disikapi "sapa suru jadi pulisi.." seakan di Indonesia memilih profesi adalah option cari kerja melimpah ruah dimana-mana.
Jakarta 20 Maret 2006
http://mbslove2006.blogspot.com
Berhasil! korban mulai dikerubuti dengan profesional. Tubuh korban yang secara genetika lebih kecil nampak limbung lalu jatuh mungkin pingsan atau sudah sekarat, Hyena mulai mengambil batu kali yang sudah dipersiapkan berhari-hari untuk beraksi. Sementara tameng plastik hanya terkapar menyaksikan nyawa tuannya dibantai didepan kamera Televisi Indonesia dan Dunia.
Tangan kekar dan berkulit gelap mulai mengangkat batu setinggi mungkin diatas kepala, tarik napas sambil konsentrasi sebentar agar kedudukan mantap dan bidikan tepat. Batu terangkat lalu dengan kekuatan dan dilambari kemarahan ala manusia primitiv, diayunkan tepat disasaran, barok kepala, minimal leher korban. Tubuh berbalut seragam coklat hanya bergerak mengikuti berderaknya tulang kepala yang remuk dan membuyarkan benak. Dan seperti untuk konsumsi keluarganya di Bekasi dan Indonesia, satu persatu mahasiswa penerus bangsa, mengambil bagian dengan menghancurkan kepala korban. Mayat harus dikangkangi agar bidikan maklum batu 1-2 kilo harus dilakukan dengan terlatih dan lebih mantap. Sasaran harus hancur sebab dalam kepercayaan itulah cara terhormat dalam berperang. Sama halnya samurai memenggal kepala musuhnya. Dan para pengipas di Jakarta saya bayangkan tersenyum lantaran berhasil mencuri pengaruh dan popularitas.
Ada kamera sekitar TKP Bung! Ada pimpinan "Gerakan Moral" di Jakarta yang mengatakan "Kasus Freeport adalah kejahatan!" - di latar belakang seseorang melakukan "Victory Lap" dengan berlalri dang menghancurkan benda sekelilingnya.
Semula saya pikir Newmount yang akan bergolak seperti yang sering dikatakan oleh teman dari NGO dari Jakarta. Rupanya gerilya Freeport sudah tidak main-main. Saya tidak tertarik dan awam soal hitam putihnya dunia pertambangan yang dari dulu dikatakan "mining is gambling" - tidak ada batasan yang pasti seperti 2+2 harus empat. Atau kalau "nggaduh" kambing sepasang, lalu kelak anaknya lahir dua ekor, maka seekor hak pemilik kambing, seekor kepunyaan sang gembala.
Ada beberapa detik saya terdiam. Lalu terbayang bagaimana suasana rumahnya melihat kejadian tersebut, bagaimana hawa dendam di kesatrian Brimob. Aku yang pernah merasakan kehidupan di tangsi, ada semacam spirit yang terluka. Harusnya pimpinan mereka yang sok-arif, sok-melakukan pendekatan dengan cara dialog, yang mengantisipasi cukup dengan rotan tanpa senjata api lah yang di mintai tanggung jawabnya. Tiga tahun lalu, Kapolres di Sumatera Selatan, membubarkan tawuran warga desa yang menggunakan parang, batu, panah senapan-berburu-locok dengan berkerudung sajadah sementara anak buahnya memakai rompi, helm dan alat pengaman lain. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Kepada istrinya saya hanya bisa bilang "kamu dilatih untuk jadi janda.."
Kalau anda lihat pengamanan Condy Rice, bagaimana pasukan Marinir melakukan pengamanan, sangat profesional, mereka tidak menembak sembarangan tetapi soal keselamatan tetap berpegang "kill or to be killed" - atau filem-filem mengenai kepolisian, sekalipun yang ditangkap cuma orang gila, tetapi moncong senjata, tersangka harus menghadap dinding atau tertelungkup dengan tangan di kepala sebelum digeledah atau di borgol. Sikap waspada tetap prioritas yang tak boleh ditawar.
Lalu mulai saya mencatat reaksi atas tayangan acara pemecahan batok kepala 1: 10 batu. Lalu kepada mahasiswa Grogol tempat anak saya belajar. Responden akan mengatakan "resiko jadi polisi, polisi juga brutal, biar impas kekersan dilawan kekerasan, biarin saja - habis pekerjaan polisi nilang di jalan, siapa suruh jadi polisi, emang sudah ajalnya sampai sana.."
Saya tanya kepada keluarga, jawabannya sama "resiko jadi polisi"...
Sambil menahan tusukan diulu hati, merendahkan napas yang memburu saya merenung. Kita lebih garang bereaksi kalau ada bagian tubuh manusia bernama perempuan yang terbuka, lebih lantang mengatakan "bangsa ini akan dibawa kehancuran.." daripada kalau batok kepala yang menganga remuk-redam. Infeksi kekerasan yang ditayangkan acara sejenis buser, sergap, sidik sudah memasuki pori-pori dan menyentuh syaraf imunitas kita. Tubuh kaku serta torehan lebam mayat cukup disikapi "sapa suru jadi pulisi.." seakan di Indonesia memilih profesi adalah option cari kerja melimpah ruah dimana-mana.
Jakarta 20 Maret 2006
http://mbslove2006.blogspot.com
Comments