Kitchen and Garden Kabinet

Date: Mon Oct 31, 2005 2:43 pm

Subject: Para Kitchen Kabinet - tanggapan atas Tuku Kupat mbak Endang Susilowati

Lebaran ini Tokobahan bangunan Gajahsora mendapat bantuan tak terduga. Jatah empat kursi bis ber AC charteran disediakan gratis oleh perusahaan Semen Kujang untuk para distributornya ke-ndusun masing-masing asal masih ke Jawa Timur tengah sampai Timur. Maklum beberapa diantaranya berasal dari Pacitan, Demak, Cilacap. Pemberian dimaksudkan sebagai realisasi bentuk keperdulian yang memihak kepada kelompok marjinal (ngomong apa aku ini). Dulu para distributor semen memberikan bantuan "in kind" - sekarang, ditukar dengan jatah 4 orang mudik gratis. Hanya Mas Kardi rela menyerahkan jatah kursinya tanpa syarat dan memilih mengeluarkan biaya 200 ribu naik mobil umum lantaran ia terikat "Spirit de Corps" - yaitu berangkat dan pulang dari Jawa selalu bersama temannya non Gajahsora. Maka kamar-kamar sempit yang diisi pegawai menapak H minus mulai terasa sepi.

Giliran para staff bagian jerohan. Mereka yang oleh Umar Kayam dijuluki Kitchen Kabinet. Seperti mbak Ninik, besar dan lahir di Batavia, hanya turun jeda saat H-1 - itupun digunakan menyambangi makam kedua orang tuanya. Pada saat H-0 dia memiliki kebiasaan datang kerumah dengan Tape Uli, Dodol Ketan, Kupat, Rendang untuk kami. Perempuan dengan dua anak ini lulusan SMU, menikah dengan suami yang gemar menganggur ketimbang "ngecor" (istilah Batavia van Bogor untuk kerja Tukang batu maupun kayu).

Dulu ibunya, mak Imah adalah juru masak andalan kami. Setiap ada perhelatan, atau catering kejutan, mak Imah dan gengnya mendapat monopoli penuh. Saat usia senja mulai menggerogotinya, apalagi penglihatannya terutup kabut katarak, mak Imah lengser dan pekerjaaannya diberikan anaknya. Kadang saya terutama saat lebaran menengoknya, mak Imah yang sudah kehilangan total kedua penglihatannya selalu menangis sesenggukan terharu. Sebelum pergi ke Dapur Abadi, ia menitip pesan sekali lagi kepada Ninik untuk meneruskan pekerjaannya kepada kami.

Itulah awal mula mbak Ninik bekerja dengan kami. Berhubung rumah berdekatan, mbak Ninik datang jam 6:30 dan pulang jam 14:00 (minggu libur), selebihnya digunakan untuk mengurus anaknya. Bagi kami ia kepala Rumah Tangga selama kurun waktu 15 tahun dan tidak perlu diganti.

Mbak Cicih, baru bersama kami sekitar 3 lebaran. Hobinya pakai celana "gojak-gajek" atau legging. Orang bilang cicih Sunda Abis. Dandan selalu "kentheng" dan tidak mengandung "bau talenan" - Tidak bisa baca tulis dengan sempurna, namun ditangannya urusan pakan ikan, pakan anjing, baju kotor, stock dan inventory rumah tangga jadi beres. Ia mengeluh kalau pulang Kuningan selalu didesak cari laki(k). Apa kata orang kalau hidup dirantau menjanda. Namun tetangga tidak perduli apa kata hatinya dan bagaimana meneruskan kelangsungan hidup bersama dua anaknya tatkala belahan jiwanya kabur dengan wanita lain. Kepada binatang, kasihnya luar biasa. Binatang diajak bicara seperti kepada anaknya. Kegemaran lain, menghidupkan kamarnya pada "surup-surup" - alasannya leluhur sering "nyurup" kekamarnya. Sekalipun semula "ogah disuruh kawin" - entah mengapa dia tiba-tiba minta ijin ke Kuningan, "kangen anak" tukasnya. Saat kenceng-kencengnya ia pesan tiket, anak pertama saya, Lia, pulang ke Jakarta. Rupanya selain bertugas mengawasi pemasaran di Singapore dan Taiwan ia juga bertanggung jawab membenahi marketing di perusahaan yang pernah dulu pernah moncer dan kini terseok mencoba bangkit. Dan tanpa diminta Cicih menunda mudiknya sampai tanggal 7 November, saat anak saya balik ke Taiwan/Singapore.

Lalu belum satu lebaran ini kami dititipi AYU, seperti namanya ia ayu, usia 18-an tahun, kulitnya putih. Hobi berkaos ketat dan lagi-lagi celana "gojak-gajek" Apalagi kalau dapat hadiah kaos, tas, sandal, parfum dari luar negeri. Kami mengatakan kurang tahu unggah ungguh. Kalau kami pergi, dia nggak segan-segan bilang "jangan malam-malam, aku takut.." - Lazimnya anak muda kalau sedang jatuh cinta bak orang kesurupan. Sudah tahu lelaki punya istri di kampung, diberi tahu keadaan sebenarnya dia enteng berkilah "tapi mas H lebih cinta aku, katanya mau cerein bininya di kampung" - iki bocah nalare semrawut. Namun untuk para pembokat, urusan begini memang dianggap sepele. Sekali waktu ia pamit mau ke salon. Pulangnya rambut dicat merah. Ditegur, kamu habis "ngoret" - pekerjaan dibawah terik matahari menggemburkan tanah kebun. Dia nyengir. Kalau ia sedang masak lantas dibantu oleh juragannya (istri). Malahan pamit mau mandi dan meninggalkan pekerjaan kepada "ibuk saja ya nerusin aku mau mandi." - Semula Ayu keukeuh mau pulang bersama "cowoknya" - namun, ia juga menunda mudiknya, dengan alasan yang sama "sampai mbak Lia pulang.."

Tiga "kitchen cabinet"`- sebetulnya mubadzir untuk keluarga dengan dua anak dewasa (satu di Singapore/Taiwan). Tetapi bahu kanan saya ada andeng-andengnya, jadi ketiban titipan-titipan begini ya dianggap santai saja kadang terkesan besar pasak daripada tiang. Tapi itulah peranan yang saya mainkan dalam panggung sandiwara kehidupan. Nampaknya "Gugon Tuhon" - adalah metode ampuh membuka ventilasi kepengapan.

RUMAH PRODUKSI
Bang Odon, bocah Citayam, fungsinya pak Bon. Usianya baru 17 tahun ketika ia kawin, lantaran cancutnya sering ketinggalan di semak (ini bahasa Citayam untuk tindalkan Pre-Marital), sementara dagangan empon-empon di Kramat Jati kagak "meledak lagi" - terpaksa bapak belia yang mengharapkan kehadiran jabang bayi dalam bulan November rela mengikuti saya selama 7 tahun.

Dia pulang mudik ke Citayam, karena membuka "RUMAH PRODUKSI" sendiri. Mohon jangan kaget, kita tidak bicara soal rekaman atau group tari lho. Gencarnya bahasa selebritis, memunculkan istilah Rumah Produksi. Membuat mereka bergurau disela galaunya kehidupan, menertawakan diri sendiri. Mumpung lebaran, mencari tambahan dengan memproduksi dodol, geplak di rumah . Maklum di Batavia, lebaran tanpa dodol kurang afdol. Bagi saya pribadi mengunyah dodol adalah memaknai perjuangan, dan kerja keras pembuatnya. Kelapa harus diparut sendiri, mengapa tidak pakai parutan pasar, "takut asem", kuatir tidak afDOL. Padahal meramu adonan kental berbahan baku ketan butuh tenaga besar. "Keringat sampai netes ke tulang ekor," kata mereka. Penganan Citayam yang "berani" saya lahap Cuma dodol sebab bebas "kasepuhan" alias zat berwarna kecuali warna coklat dari gula aren.

Lalu bang Nyamon, seusia Odon, bapak anak satu yang setiap kali kami datang ke Citayam anaknya ketakutan bapaknya dibawa ke Jakarta. Urusan pertanian, macul dia "kedot". Asal jangan dibawa kelamaan ke Jakarta bakalan "peruh" alias sakit.

Terkait dengan Nyamon adalah mak Ocak, ibunya, yang jago lulur dan kerokan. Lalu cucunya "Dedi" bocah ditinggal kabur bapaknya, dan mencari uang jajan dengan menyediakan rumput bagi kambing kami di Citayam.

Masih ada jajaran yang berada dalam tanggungan saya. Semua bermula dari amanah Ibunda almarhum, yang saya juluki "Menteri Sosial van Playen, Gunung Kidul" - beliau tidak perduli apakah saya sanggup atau tidak, pokoknya kalau ada keluarga nampak kesusahan. Cepat-cepat diberinya alamat saya. "Kamu tidak akan miskin menolong mereka." kalau saya menyoba berkilah. Ibu benar. Sebab tanpa dipaksa, sulit bagi kita untuk menolong orang lain. Ada saja alasan-alasan untuk mementahkan niat baik. Semoga ibu di alam sana tersenyum melihat saya misih setia menjalankan amanahnya, sekalipun terkadang bersungut lantaran harus berhitung. Pasalnya "aku juga manusia.."
Rawa Bogo

TUKU KUPAT
Oleh Endang Susilowati
Jam 3:00 tepat alarmku berbunyi, beep..beepppp. tak henti2. Aku setengah sadar ingat bahwa musti segera ke dapur menyiapkan saur sendiri karena my kitchen cabinet ( Umar Khayam! ), mbak Yani dan mbak Duwi , dengan muka sumringah, sudah berangkat pulkamp. Mereka ikut mobil anak saya berangkat duluan, bersama dengan para aspri yang lain.

Tiket bis jadi mahal, ke Purwantoro, di patok 200,000 ewu tidak mau di tawar. Malah mendekati lebaran mereka bilang harga akan naik jadi 300,000. Ketika di bantah bahwa di koran tiket bis tidak naik karena penumpang sedikit, mereka enteng saja bilang ya silahkan naik bis yang di koran itu saja. Itulah sebabnya mereka jejel riyel di espass yang sumpeg penuh kardus oleh2.

Saya selalu terharu kalau melepas aspriku pulang kampung, gairah dan kegembiraan mereka, cara mereka mempersiapkan oleh2, membeli jarik dan sarung di pasar cibinong, baju muslim dan mukena , dari gaji yang sedikit itu mereka dengan sukacita berbagi kegembiraan.

Mbak Duwi sudah 3 tahun menjadi anggota kichen cabinet, menggantikan mbak Yem yang bermasa bakti 15 th , 2 tahun lalu ketemu jodoh ,menikah dan menetap di desa. Usia sekitar 18 tahun, cantik, ramah,berkulit langsat dan pandai masak. Mbak Yani masih yunior,baru 15 th. Masih remaja putri manis, berkulit putih bersih, kocak dan rajin. Tidak bisa masak tapi kalau menyeterika dia jagonya.

Tanpa mereka roda rumahtangga jadi terseok, lha buktinya baru 2 hari di tinggal, sudah terjadi argumentasi klasik, yakni pembagian JD yang selalu tidak memuaskan. Siapa mengepel, siapa nyuci, siapa masak dsb..dst..

Kenikmatan ini yang harus saya syukuri, setahun sekali melihat suami mengepel dan mengangkat jemuran, menikmati masakan istri tanpa mengeluh meskipun hanya dengan sayur bening dan ceploq telor dengan tambahan bumbu cinta di dalamnya. Selamat datang Lebaran, di saat indah ini saya dan keluarga menyampaikan permohonan maaf yang sebesar2 nya bila ada salah yang tersengaja maupun tidak. Terutama apabila ada dongeng2 saya yang kurang berkenan, mohon di maafkan.

Tuku kupat di campur santen, wonten lepat nyuwun pangapunten.
Salam, endang.

Comments

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

Menu Makanan Kantin di Rig Terapung