*Jaga Muntahan dan Fengsui*
Date: Tue Dec 6, 2005 4:44 am
Anda pernah baca buku saku Detective Fengshui, sebuah novel yang konon membuat orang ultra serius macam PM Senior Singapore, Lee Kuan Yew bisa ngekek tersengal-sengal. Penulisnya secara kocak menggunakan fengshui menjadi menggelitik karena dihubungkan dengan pemecahan kasus kriminal yang pelik.
Pedagang-pedagang kawasan Grogol, masih banyak yang menggunakan jasa ahli GeoMantis atau Fengsui dalam menentukan letak lokasi yang sip untuk berniaga. Sebuah rumah ditawarkan sekitar 200 jutaan kepada orang biasa, mungkin ditengokpun tidak. Namun, dimata ahli fengsui, bisa saja rumah tadi lepas dengan harga berlipat dari penawaran semula. Tidak ketinggalan Pedagang Bakmi di Grogolpun banyak menggunakan jasa ahli Hongsui
Anda saya ajak mengambil contoh dua pedagang bakmi, sebut saja Jambi dan Bangka karena memang mereka berasal dari kedua daerah ini. Sejatinya tidak ada bakmi Jambi atau Bakmi Bangka yang kesohor di tanah tumpah darah kerupuk dan martabak manis itu, namun berkat kedua orang ini nama daerahnya semakin unjuk gigi seperti halnya nama desa Madurejo-Sleman yang mulai ngetop-top dan saya yakin tidak lama lagi bakal didatangi pemudik-pemudik berniat * angsu*-*kawruh*, dan datang ke *tkp* Swalayan Madurejo milik pak Kaji Yusuf Iskandar.
*Bakmi Jambi Melawan Fengshui*
Pemadat bakmi Grogol sudah maklum nama bakmi Jambi belakangan ini kesohor, cirinya mereka mengobral kecap manis pada masakannya, inilah tempat yang * sip-makglesip* untuk goyang lidah dan sumpit yang berlokasi di jalan Dr. Susilo, berjarak 50 meter dari jalan Tol Pluit Grogol.
Pesaingnya langsung "*jaga laler*" kalau bakmi ini mulai buka gerobak.
Semula lokasi ditempat Bakmi Jambi berada boleh terbilang tidak menarik calon penyewa. Pemilik rumah menjadi saksi hidup bagaimana pelaku ekonomi yang menyoba peruntungan (sewa halaman) dirumahnya, nasibnya mirip roket, mula meluncur gagah-perkasa untuk lunglai kemudian. Orang bilang "fengshui" kurang bagus. Tempat itupun kemudian sepi sampai akhirnya datang sang bakmi Jambi. Herannya, ketika Jambi naik daun, dan para clowner pada berdatangan mangkal ditempat yang sama, dan ikutan laris manis tanjung kimpul…
*Bagi Rejeki Terhadap Pedagang Lain*
Lantas bagaimana pengusaha bakmi-bakmi yang lain akan bersaing. Padahal kalau diadu dengan Bakmi Jambi yang sedang naik daun, jelas mereka bukan tandingannya. Namun lagi-lagi GeoMantis berpengaruh disini.
Rupanya pedagang memiliki kode etik seperti kapan harus dagang, kapan harus ongkang-ongkang kaki. Lihat saja, penjual Sup Kerbau Barokah, dikawasan Cilandak. Ketika Ramadan tiba, sekalipun mereka tahu persis saat berbuka puasa tiba umumnya orang akan berbuka dengan menyruput santapan hangat dan berkuah seperti Sup Kerbau, apalagi daging sup Barokah terkenal empuk begitu sampai di lidah, tetapi mereka pilih tutup sebulan penuh.
Kembali ke Bakmi Jambi. Saat jarum menunjukkan angka 14:00 umumnya dagangan sudah tandas namun tidak ada niat mereka menambah volume penjualan. Ibarat sehari mampu menghabiskan 10 kilo bakmi, maka jangan coba menambah volume dagangan lagi *mendak* tidak laku samasekali. Berdasarkan prinsip "*terimo ing pandhum*" alias harus mengukur kemampuan kantong rejeki. Andai masih nekat mau menggaruk lebih banyak keuntungan dengan tajuk "buka cabang" atau memperluas wawasan, boleh saja, tapi silahkan di lokasi lain.
Menjelang siang biasanya ada saja langganan yang tidak kebagian. Daripada pulang kecewa, mereka tarik bangku di gerobak Abun dari Jambi. Tak ada Jambi, Bangkapun jadi, prinsipnya.
Tak heran saat karyawan bakmi Jambi sibuk mencuci tumpukan piring, mangkuk, sumpit, sendok, gelas, botol minuman dan berbenah pulang, maka gerobak dorong Abun justru mulai gelar tenda.
Kita bicara bakmi tendaan lho.
Abun, nama aselinya Bunyamin, memang cerdik, kalau bakmi pesaingnya hanya memasang satu jenis Ayam Kampung. Bagi Bunyamin eh Abun, yang memilih pakai nama berawal A, sebagai keinginan menjadi nomor satu, dan hoki, pembeli boleh memilih sesuai kocek. Ia membuat dua opsi yaitu bakmi dengan ayam negeri dengan beda miring "*seceng*" alias seribu perak. Penggemar ayam negeri maunya daging langsung leleh, lebur saat bertemu lidah. Sementara pemilik lidah snobis, boleh memilih ayam kampung lantaran ada perlawanan di lidah, kadang sampai *keslilitan*.
Abun juga haqul-yakin bahwa kulit ayam mengandung banyak zat nikmat membawa sengsara yaitu kolesterol tinggi. Namun Abun juga sadar, yang berbahaya tidak selalu diemohi orang sehingga perlu diakomodasikan agar menarik dengan resiko ditanggung pemilik tembolok.
Caranya, ayam dibuang kulitnya. Semua bakmi Abun memang tanpa kulit ayam. Kulit ayamnya sendiri diolah menjadi kerupuk goreng, dan gilanya disediakan gratis. Anda boleh makan sepuasnya kerupuk "renyah, gurih, nikmat" sampai kepala terasa *lieur* karena memang HDL teramat tinggi. Apalagi kebiasaan Abun menambahkan garam di gorengan kulit ayam, dari sekedar *niat ingsun*icip-icip jadi *niat banget*. Habis enak *cum* prodeo pisan.
Dengan cara inilah ia menggaet pelanggan. Setidaknya Abun sudah membuktikannya bahwa fengshui bukan harga mati, alias masih bisa disikapi. Kalau tidak mampu bersaing dengan yang kuat sebaiknya berkolaborasi tanpa harus berbisik-bisik "pakai Gunung Kawi…"
mimbar SAPUTRO
Anda pernah baca buku saku Detective Fengshui, sebuah novel yang konon membuat orang ultra serius macam PM Senior Singapore, Lee Kuan Yew bisa ngekek tersengal-sengal. Penulisnya secara kocak menggunakan fengshui menjadi menggelitik karena dihubungkan dengan pemecahan kasus kriminal yang pelik.
Pedagang-pedagang kawasan Grogol, masih banyak yang menggunakan jasa ahli GeoMantis atau Fengsui dalam menentukan letak lokasi yang sip untuk berniaga. Sebuah rumah ditawarkan sekitar 200 jutaan kepada orang biasa, mungkin ditengokpun tidak. Namun, dimata ahli fengsui, bisa saja rumah tadi lepas dengan harga berlipat dari penawaran semula. Tidak ketinggalan Pedagang Bakmi di Grogolpun banyak menggunakan jasa ahli Hongsui
Anda saya ajak mengambil contoh dua pedagang bakmi, sebut saja Jambi dan Bangka karena memang mereka berasal dari kedua daerah ini. Sejatinya tidak ada bakmi Jambi atau Bakmi Bangka yang kesohor di tanah tumpah darah kerupuk dan martabak manis itu, namun berkat kedua orang ini nama daerahnya semakin unjuk gigi seperti halnya nama desa Madurejo-Sleman yang mulai ngetop-top dan saya yakin tidak lama lagi bakal didatangi pemudik-pemudik berniat * angsu*-*kawruh*, dan datang ke *tkp* Swalayan Madurejo milik pak Kaji Yusuf Iskandar.
*Bakmi Jambi Melawan Fengshui*
Pemadat bakmi Grogol sudah maklum nama bakmi Jambi belakangan ini kesohor, cirinya mereka mengobral kecap manis pada masakannya, inilah tempat yang * sip-makglesip* untuk goyang lidah dan sumpit yang berlokasi di jalan Dr. Susilo, berjarak 50 meter dari jalan Tol Pluit Grogol.
Pesaingnya langsung "*jaga laler*" kalau bakmi ini mulai buka gerobak.
Semula lokasi ditempat Bakmi Jambi berada boleh terbilang tidak menarik calon penyewa. Pemilik rumah menjadi saksi hidup bagaimana pelaku ekonomi yang menyoba peruntungan (sewa halaman) dirumahnya, nasibnya mirip roket, mula meluncur gagah-perkasa untuk lunglai kemudian. Orang bilang "fengshui" kurang bagus. Tempat itupun kemudian sepi sampai akhirnya datang sang bakmi Jambi. Herannya, ketika Jambi naik daun, dan para clowner pada berdatangan mangkal ditempat yang sama, dan ikutan laris manis tanjung kimpul…
*Bagi Rejeki Terhadap Pedagang Lain*
Lantas bagaimana pengusaha bakmi-bakmi yang lain akan bersaing. Padahal kalau diadu dengan Bakmi Jambi yang sedang naik daun, jelas mereka bukan tandingannya. Namun lagi-lagi GeoMantis berpengaruh disini.
Rupanya pedagang memiliki kode etik seperti kapan harus dagang, kapan harus ongkang-ongkang kaki. Lihat saja, penjual Sup Kerbau Barokah, dikawasan Cilandak. Ketika Ramadan tiba, sekalipun mereka tahu persis saat berbuka puasa tiba umumnya orang akan berbuka dengan menyruput santapan hangat dan berkuah seperti Sup Kerbau, apalagi daging sup Barokah terkenal empuk begitu sampai di lidah, tetapi mereka pilih tutup sebulan penuh.
Kembali ke Bakmi Jambi. Saat jarum menunjukkan angka 14:00 umumnya dagangan sudah tandas namun tidak ada niat mereka menambah volume penjualan. Ibarat sehari mampu menghabiskan 10 kilo bakmi, maka jangan coba menambah volume dagangan lagi *mendak* tidak laku samasekali. Berdasarkan prinsip "*terimo ing pandhum*" alias harus mengukur kemampuan kantong rejeki. Andai masih nekat mau menggaruk lebih banyak keuntungan dengan tajuk "buka cabang" atau memperluas wawasan, boleh saja, tapi silahkan di lokasi lain.
Menjelang siang biasanya ada saja langganan yang tidak kebagian. Daripada pulang kecewa, mereka tarik bangku di gerobak Abun dari Jambi. Tak ada Jambi, Bangkapun jadi, prinsipnya.
Tak heran saat karyawan bakmi Jambi sibuk mencuci tumpukan piring, mangkuk, sumpit, sendok, gelas, botol minuman dan berbenah pulang, maka gerobak dorong Abun justru mulai gelar tenda.
Kita bicara bakmi tendaan lho.
Abun, nama aselinya Bunyamin, memang cerdik, kalau bakmi pesaingnya hanya memasang satu jenis Ayam Kampung. Bagi Bunyamin eh Abun, yang memilih pakai nama berawal A, sebagai keinginan menjadi nomor satu, dan hoki, pembeli boleh memilih sesuai kocek. Ia membuat dua opsi yaitu bakmi dengan ayam negeri dengan beda miring "*seceng*" alias seribu perak. Penggemar ayam negeri maunya daging langsung leleh, lebur saat bertemu lidah. Sementara pemilik lidah snobis, boleh memilih ayam kampung lantaran ada perlawanan di lidah, kadang sampai *keslilitan*.
Abun juga haqul-yakin bahwa kulit ayam mengandung banyak zat nikmat membawa sengsara yaitu kolesterol tinggi. Namun Abun juga sadar, yang berbahaya tidak selalu diemohi orang sehingga perlu diakomodasikan agar menarik dengan resiko ditanggung pemilik tembolok.
Caranya, ayam dibuang kulitnya. Semua bakmi Abun memang tanpa kulit ayam. Kulit ayamnya sendiri diolah menjadi kerupuk goreng, dan gilanya disediakan gratis. Anda boleh makan sepuasnya kerupuk "renyah, gurih, nikmat" sampai kepala terasa *lieur* karena memang HDL teramat tinggi. Apalagi kebiasaan Abun menambahkan garam di gorengan kulit ayam, dari sekedar *niat ingsun*icip-icip jadi *niat banget*. Habis enak *cum* prodeo pisan.
Dengan cara inilah ia menggaet pelanggan. Setidaknya Abun sudah membuktikannya bahwa fengshui bukan harga mati, alias masih bisa disikapi. Kalau tidak mampu bersaing dengan yang kuat sebaiknya berkolaborasi tanpa harus berbisik-bisik "pakai Gunung Kawi…"
mimbar SAPUTRO
Comments