Menjadi Penghuni Rawa (Bogo)
Date: Mon Sep 5, 2005 9:13 am
Sejak menjadi penghuni RawaBogo akhir Agustus 2005, kegiatan jalan pagi saya menjadi lebih bervariasi. Pasalnya ada jalan raya Kodau dan WibawaMukti atau jalan dr.Ratna, namun jalan yang disebutkan belakangan ini tidak memberikan fasilitas got. Lho kok comberan dibawa-bawa ? - Maksudnya kalau comberan saja tidak utuh salurannya, apalagi trotoir untuk para pejalan kaki. Dari pengalaman beberapa hari ini maka tata cara saya sebagai pengguna lalulintas saya ubah ala Amerika yaitu "jalan sebelah kanan" alasannya, kalau jalan sisi kiri, bisa-bisa bokong diseruduk ojek atau angkot. Beda kalau jalan disisi kanan, paling tidak ada mobil dari depan bisa diantisipasi.
Belum lagi jalan raya Kodau, kadang seperti mempunyai banyak nama lain seperti Wibawa Mukti VI, Jalan Raya Rawa Bogo, atau Jalan Raya Puri Gading.
Tapi daripada repot tengak-tengok kiri kanan depan belakang, maka lebih aman kalau menyusuri jalan setapak yang meneer Gunther Holtorf aja belum mikirin. Kadang saya melintasi makam keluarga, suatu tradisi Betawi untuk menguburkan jenasah didepan rumah. Kalau saja mereka baca buku HongSui, mungkin tradisi ini tidak akan diikuti, pasalnya penganut mahzab geomantis seperti Suhu Acay memandang tanah pemakaman banyak mengandung energi negatif yang membandel dan sulit diakali. Dan tanah beginian bakal sulit dijual kepada penganut mahzab tersebut. (Komentar Mumpung tayangan sinetron berlabel "ilahi" pakai kata pembuka Ustadz berwajah menangis, tapi isinya 99.9% mistik)
Berjalan pagi sepertinya "tradisi" yang belum banyak dijumpai dikawasan rawa ini. Dibawah pohon yang rindang, kadang bau jengkol, kadang bau daun membusuk, kadang bau bunga kenanga, kadang bau menyan yang walaupun merinding takut, saya berusaha mencari sumber bau wangi tadi. Seperti umumnya pedesaan, tradisi membuang sampah rumah tangga adalah kehalaman tetangga sebelah. Pokoknya dimana ada tanah kosong, disitu sampah dibaringkan. Sebagian sampah organik akan membusuk, tapi kalau model tas kresek, ya beterbangan kesana kemari.
Kadang saya berjumpa para senior sedang duduk diwarung nasi uduk sambil menikmati teh panas atau kopi sambil mengepulkan asap. Analogi seperti melihat para senior Singaporean berkumpul di kedai kopi sambil berbincang, bedanya, para senior Singapore umumnya berolah raga terlebih dahulu sebelum "ngupi en ngrumpi"
Beberapa mereka menegur saya "olah raga Beh (babeh)" - karena mungkin sekali saya menjadi pemandangan asing dimata mereka. Biasanya lantaran mereka lihat saya celingak-celinguk kebingungan menyoba instink, cari jalan keluar. Maklum rata-rata jalan setapak belum terpetakan oleh Gunther W. Holtorf si pembuat peta Jakarta yang kesohor itu.
Rawa Bogo
5 September 2005
Kecil di Lampung desa RawaLaut, gedean di Jakarta desa RawaBahagia-Grogol, tuaan, tinggal di desa RawaBogo. Bacaan Uling dari RawaPening.
Sejak menjadi penghuni RawaBogo akhir Agustus 2005, kegiatan jalan pagi saya menjadi lebih bervariasi. Pasalnya ada jalan raya Kodau dan WibawaMukti atau jalan dr.Ratna, namun jalan yang disebutkan belakangan ini tidak memberikan fasilitas got. Lho kok comberan dibawa-bawa ? - Maksudnya kalau comberan saja tidak utuh salurannya, apalagi trotoir untuk para pejalan kaki. Dari pengalaman beberapa hari ini maka tata cara saya sebagai pengguna lalulintas saya ubah ala Amerika yaitu "jalan sebelah kanan" alasannya, kalau jalan sisi kiri, bisa-bisa bokong diseruduk ojek atau angkot. Beda kalau jalan disisi kanan, paling tidak ada mobil dari depan bisa diantisipasi.
Belum lagi jalan raya Kodau, kadang seperti mempunyai banyak nama lain seperti Wibawa Mukti VI, Jalan Raya Rawa Bogo, atau Jalan Raya Puri Gading.
Tapi daripada repot tengak-tengok kiri kanan depan belakang, maka lebih aman kalau menyusuri jalan setapak yang meneer Gunther Holtorf aja belum mikirin. Kadang saya melintasi makam keluarga, suatu tradisi Betawi untuk menguburkan jenasah didepan rumah. Kalau saja mereka baca buku HongSui, mungkin tradisi ini tidak akan diikuti, pasalnya penganut mahzab geomantis seperti Suhu Acay memandang tanah pemakaman banyak mengandung energi negatif yang membandel dan sulit diakali. Dan tanah beginian bakal sulit dijual kepada penganut mahzab tersebut. (Komentar Mumpung tayangan sinetron berlabel "ilahi" pakai kata pembuka Ustadz berwajah menangis, tapi isinya 99.9% mistik)
Berjalan pagi sepertinya "tradisi" yang belum banyak dijumpai dikawasan rawa ini. Dibawah pohon yang rindang, kadang bau jengkol, kadang bau daun membusuk, kadang bau bunga kenanga, kadang bau menyan yang walaupun merinding takut, saya berusaha mencari sumber bau wangi tadi. Seperti umumnya pedesaan, tradisi membuang sampah rumah tangga adalah kehalaman tetangga sebelah. Pokoknya dimana ada tanah kosong, disitu sampah dibaringkan. Sebagian sampah organik akan membusuk, tapi kalau model tas kresek, ya beterbangan kesana kemari.
Kadang saya berjumpa para senior sedang duduk diwarung nasi uduk sambil menikmati teh panas atau kopi sambil mengepulkan asap. Analogi seperti melihat para senior Singaporean berkumpul di kedai kopi sambil berbincang, bedanya, para senior Singapore umumnya berolah raga terlebih dahulu sebelum "ngupi en ngrumpi"
Beberapa mereka menegur saya "olah raga Beh (babeh)" - karena mungkin sekali saya menjadi pemandangan asing dimata mereka. Biasanya lantaran mereka lihat saya celingak-celinguk kebingungan menyoba instink, cari jalan keluar. Maklum rata-rata jalan setapak belum terpetakan oleh Gunther W. Holtorf si pembuat peta Jakarta yang kesohor itu.
Rawa Bogo
5 September 2005
Kecil di Lampung desa RawaLaut, gedean di Jakarta desa RawaBahagia-Grogol, tuaan, tinggal di desa RawaBogo. Bacaan Uling dari RawaPening.
Comments