Ngelem

Date: Mon Aug 22, 2005 10:07 am

Seorang ibu tersenyum bangga, belakangan ini, sebut saja Dimas, buah hatinya berkutat dengan barang pecah belah ala laboratorium profesor Ling bin Lunk.

"Aku mau bikin prakarya Ma!" ketika pintu diketuk untuk makan.

Namun laksana tersambar petir, lantaran tahu bahwa anaknya merakit "bong" alat penyedot debu "Nirwana" - jadi selama ini ia dikelabuhi.

Lalu ia mulai ingat, tatkala anak lelakinya jadi genit lantaran kalau mandi bisa berjam-jam, dan ibu ini baru "ngeh" bahwa darah yang sering ditemukan di dinding kamar mandi, bukan lantaran jerawat pecah melainkan bekas tusukan jarum ke nadi mereka yang menggunakan kamar mandi sebagai tempat privasi kelas hotel mewah.

Ibu lain merasa berang ketika anak yang baru dibangku SMP pulang dalam keadaan teler. Temannya mengatakan ia menenggak pil "gumbira", begitu juga bisik-bisik tetangga selalu terdengar minor, tetapi umumnya pandangan ibu, anak adalah emas. "Tidak mungkin anak saya terjeremus kedalam lembah bius, itu hanya terjadi pada keluarga kurang kasih sayang," seru ibu itu heran. Apalagi pecandu sangat pandai bermain kata-kata seperti cuma minum obat batuk napasin" - perkara sejak kapan napasin jadi obat batuk. Wallahualam.

Kini ibu mulai curiga mengapa sang anak hobi bener kumpulin bungkus rokok gudang garam atau jarum lantaran sebetulnya mereka mengumpulkan kertas grenjengnya(timahnya), mengapa ia seperti tak terpisahkan dengan gunting kecil, mengapa mereka senang mengoleksi kartu isi ulang yang tenyata dipakai mengumpulkan taburan bubuk diatas kaca. Korek dan lilin seperti teman karib mereka. Bubuk "gumbira" dilinting dalam kertas grenjeng, dipanaskan, lalu dihisap atau disuntikkan.

PAKET HEMAT
Di benak saya selalu terbawa filem prototype, orang Kolumbia yang di Jakarta kredit Komputer, difilem Amrik sepertinya bawaannya plastik berisi ratusan kilo kokain. Padahal di Jakarta lebih inovatip. Bubuk dijual dalam sedotan limun. Mereka menamakannya "paket hemat"

ABORIGIN
Di Australia, orang Aborigin dipelihara oleh OZ, maksudnya diberi makanan, pakaian perumahan dan jatah hidup. Maka mereka hidup damai seperti enam ratus tahun lalu, hanya cari makan kalau lapar. Kalau sudah kenyang berburu binatang dan menikmati hasilnya, mereka berdiam diri sambil menyeruput bir atau hashis (Dan Brown bilang asal kata Assashin"). Tidak ada pikiran untuk kaya sampai 7 keturunan. Apalagi memerdekakan tanah kelahiran, sekalipun itu tanah mereka.

Cuma sayangnya tindak tanduk yang seperti mereka seperti mengganjal pikiran kita yang terbiasa kerja dan kerja sebab merasa yang sekarang ini masih jauh dari cukup. Teman sudah pakai TV plasma dan home theater sampai 3, belum lagi studio kedap suara untuk mendengarkan musik, lho kok kita masih 14 inci? dst.. dst.

Namun komunitas orang "aborigin" yang aman tentram ini, belakangan ini disibukkan kedatangan pihak kepolisian.

Ternyata dalam sepekan saja sudah tiga remaja aborigin tewas gara-gara menyedot bensin.

Rupanya mereka bertiga yang tinggal dalam tempat berlainan ingin juga menikmati dunia alam lain dengan cara murah meriah. Caranya tiga-wang dengan anak Senen yang menarik kaosnya menutup kepala seperti kalau kita kehujanan tapi ndak bawa payung sementara kaleng "aibon" dijepitkan diantara dada dan baju kaos sehingga baunya tidak "mblabar tertiup angin" Sambil berjalan sana kemari mereka menikmati lem yang kini naik daun jadi alat ke surga menurut mahzabnya.

Ketika diwawancarai, ibunya sambil sesenggukan mengatakan bahwa tidak henti-hentinya mereka menasihati anak-nya, namun jalan hidup mereka membawanya ke alam baka dalam usia masih remaja.

Lalu saya ingat seorang ibu juga pernah bertutur soal anaknya. Jangan berharap kepada anak terlalu tinggi. Punya anak bebas narkoba adalah anugerah. Otak semi inteligent masih bisa diasah. Namun sekali terjerat narko, diasah bagaimanapun mereka makin majal.

*****

Tulisan ini dilhami dari kenyataan bahwa ada beberapa teman yang belum ngeh istilah "ngelem"
--

Comments

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

774-Tongseng Serambi (masjid) Sunda Kelapa