Bisnis Caputauw
Ada bisnis bagus! Menarik! Luar biasa!
Modal "PekGo" untuk "LapekGo" bisa lewih (lebih)
Pokoknya "caputauw… lah…." – lumayan (hoakian)
Kalau sudah mendengar kata kunci di atas, maka wesel pada rel syaraf langsung saya pindahkan ke departemen "trash or bin" – hari geneh, modal kecil untung gede, maka semua penduduk negeri akan langsung kaya… Mentri perekonomian tidak perlu digonta-ganti. Tapi nanti dulu teman, ini bisnis kelas receh, bisnis catering!.. modalnya hanya seratus lima puluh ribu rupiah. "Nggak ada kaki-kakian" – paling ada kaki kambing! – ah berterimakasihlah masih ada informan yang mau buang waktu memberitahu kami.
Singkat kata kami tertarik, saya pakai "kami" berhubung yang bakalan jadi "sikat kawat" adalah orang rumah, yang memang pandai memasak dan bakat berniaga, sementara saya pol masak nasi goreng, lain itu "enthung" – enthung adalah ulat yang akan berganti kupu-kupu, hanya mampu gojal-gojel. PekGo adalah modal menyewa sebuah ruko dikawasan Karawaci, semua utensil disediakan sipemilik ruko, kita datang bawa makanan siap saji, digelar sendiri dan tiap hari setor "pekgo" – bahasa bersayap lainnya, adalah untuk beli bahan baku sampai siap santap, urusan kita sendiri. Orang bule juga tahu.
Survey mengatakan, pendapatan sehari minimal setelah dipotong setoran adalah setengah juta masuk kantong. Jadilah setiap pagi kami masuk ke kawasan Karawaci. Hari pertama "gelethuk" sejuta masuk kantong. Hm manisnya buah perjuangan mempertahankan asap dapur mengebul.
Minuman favorit pembeli adalah Es Capuchino. Kalau makanan bervariasi dari sayur santan daun singkong, tempe bacem, tahu bacem, layaknya makan rumah. Ada untungnya soal stok barang mentah kami dibantu dari hasil kebun di Citayam dan sebagian dari "pemeron" sayur-mayur. Kami mampu swasembada soal daun singkong, daun pepaya pahit, pakis, ikan mujair, sampai Gurami. Istri sang juru masak yang semula tidak doyan masakan genjer dan Taoco kali ini harus mengakomodasi keinginan pelanggan.
Seperti biasa pengutilpun mulai urunan bersantap, dengan modus operandi ambil makanan, bayar di kasir, lalu ada yang "lupa" yaitu ambil sambal, sehingga ia balik ke urutan ambil makanan untuk ambil sambal sambil tangannya cekatan ngembat tempe goreng, telor dadar, ikan goreng. Sekali dibiarkan, lama kelamaan, agar tidak membuatnya malu, saat dia melewati meja kasir, kita bilang "bapak kurang sekian ribu rupiah…"
Biasanya dia berkilah "masak sambal aja bayar…"
"Betul pak sambal gratis, tapi ikan goreng dan tempenya tidak pak," . Kena batunya deh elo. Pengutil lain mungkin belum sempat teramati.
Ada enam bulan kami berkiprah disana. Pagi-pagi mereka sudah seperti Zombie lantaran harus menyiapkan masakan. Kalau sampai diatas jam 6 belum berangkat, bakalan macet. Begitu juga pulang kalau belum jam 9 malam dipastikan macet luar bisa. Ini benar-benar keadaan kepala jadi pundak, lutut kaki.
Ruko Gajahmada..riwayatmu dulu
Kawasan yang kami tempati untuk berdagang adalah Ruko Gajahmada dari grup Lippo. Pengelolanya menjadikan kawasan ini khusus untuk urusan pelayanan door-2-door barang-barang kebutuhan masyarakat. Anda tilpun kami antar.
Konsep ini ternyata agak sukar diterapkan pada masyarakat yang terbiasa beli telur ayam pun harus memegang bendanya belum lagi budaya macet mengakibatkan berapa barang tidak dapat terkirim pada hari yang sama. Konsep yang masih laku di kawasan kita adalah gaya "carrefoure" – mohon maaf nama lain tidak disebut, karena memang kata biang "mall" harganya mampu bersaing. Orang akan beli anggur, lengkeng ke "carrefour" karena selain lebih murah, berpendingin udara, bisa cuci mata, sekalian "clakup-clakup" cuci mulut. Banyak pemandangan di sini seperti sekeluarga datang dengan baby sitter, beli lengkeng sekilo, sang tuwan methil satu lengkeng, sang nyonya coba dua , sang "noni dan tuwan kecil" kupas jeruk mandarin, sang pembantu ikutan cabut anggur, baby sitter "iwut" icip salak – padahal sudah ditulis "dilarang mencoba makanan" – tapi mereka boleh berkelit "kalau icip-icip kan boleh.."
Managemen ruko nampaknya memang masih coba-coba. Benar saja, diawali dengan keluhan pembeli akan mutu barang yang didapatnya seperti berasnya bulukan, gulanya basah, susu keringnya membatu dan segala macam komplin dibicarakan sambil makan. Dan mampir ke telinga kami. Maka kami sudah merasa, "waktunya sudah dekat"
Sampai suatu hari pelanggan mulai datang dengan muka ditekuk. Biasanya pak Satpam asal dari Nusa Tenggara Timur. Rupanya Omzet kurang bagus, maka Onslag yang datang. Pihak Lippo mulai memberlakukan PHK, mereka pamitan dengan wajah menunjukkan kebingungan bagaimana anak istri akan diberi kebutuhan hidup sehari-hari. Sejalan dengan PHK, grafik penjualan mulai menurun, semalaman menangguk Rp 100.000 yang berarti sudah mulai tekor. Dan saat itulah kami memutuskan untuk cabut dari kawasan terpadu Lippo Karawaci. Yang jelas tidak rugi modal untuk beli peralatan makan.
Kawasan terpadu Karawaci, terdiri dari beberapa sektor. Sektor satu dan lainnya akan terpisah jauh dan hanya bisa dicapai dengan kendaraan pribadi. Sulit mengharapkan kedatangan pembeli yang berasal dari sektor lain, kecuali memang masakan kita sangat khusus. Setelah malam hari, kawasan yang kami "kuasai" yaitu Ruko Gajahmada terbilang komplek mati.
Dalam hati memang saya ragu usaha Lippo akan berhasil, tetapi karisma Mohtar Riyadhi menutup segala keraguan "pebisnis bisa mencium apa yang tersirat dibalik yang tersurat…" – apalagi usaha beginian sudah di survey dan di "acc" oleh jasa Geologimanchi-awan alias pakar Fengshui. Namun rumor dibelakang adalah, sebuah kesempatan yang diberikan oleh orang tua agar anak-anaknya belajar niaga. Berhubung mereka rata-rata bersekolah di luar, maka semua produk luar dikunyah habis dan diimplementasikan ke Jakarta, dan sayangnya belum saat yang tepat.
Namun bagi saya, pembelajaran yang didapat adalah, boleh saja Fengshui bilang kawasan "bagus punyak" ada Naga Api, Naga Air, Naga Tanah, Naga Besi kumpul di Gajah (mada) – namun parameter seperti daya beli masyarakat, daya dukung lalu lintas, kebiasaan belanja masyarakat harus diperhitungkan. Atau kalau semua naga bertemu, akan terjadi pertarungan rebut rejeki, yang akhirnya bumilah yang porak poranda.
Berbekal dengan pengalaman menjadi catering, maka pihak rumah kerapkali mendapatkan "order" dadakan menjadi catering kawin keluarga. Misalnya saat midodareni apalagi kami terbiasa dipercaya tetangga jadi "organisatoris" urusan kawin-mengawin. Kalau sekedar MC, masih bisalah, sudah kadung diberi nama Mimbar. Je…
Bisnis katering memang jarang menghampiri tetapi sekali pukul "bathi-punjul" untung lumayan. Cuma dasar anak-anakku, setiap kali sekolahannya ada "iwuh" mengadakan perhelatan, dia promosikan mamanya jadi katering, dan akhir cerita "nombokin" karena sang Mama punya rasa "ewuh-pakewuh" apalagi terhadap institusi yang mendidik anak-anaknya sehingga sering menambah menu makanan yang dirasanya kurang sesuai, tanpa tambahan biaya. Tapi dia happy ya sudahlah. Bukan akhir sebagai tujuan namun proses pencapaiannya itu sendiri. (Kenangan Grogol 2000)
8 Dec 2005
Modal "PekGo" untuk "LapekGo" bisa lewih (lebih)
Pokoknya "caputauw… lah…." – lumayan (hoakian)
Kalau sudah mendengar kata kunci di atas, maka wesel pada rel syaraf langsung saya pindahkan ke departemen "trash or bin" – hari geneh, modal kecil untung gede, maka semua penduduk negeri akan langsung kaya… Mentri perekonomian tidak perlu digonta-ganti. Tapi nanti dulu teman, ini bisnis kelas receh, bisnis catering!.. modalnya hanya seratus lima puluh ribu rupiah. "Nggak ada kaki-kakian" – paling ada kaki kambing! – ah berterimakasihlah masih ada informan yang mau buang waktu memberitahu kami.
Singkat kata kami tertarik, saya pakai "kami" berhubung yang bakalan jadi "sikat kawat" adalah orang rumah, yang memang pandai memasak dan bakat berniaga, sementara saya pol masak nasi goreng, lain itu "enthung" – enthung adalah ulat yang akan berganti kupu-kupu, hanya mampu gojal-gojel. PekGo adalah modal menyewa sebuah ruko dikawasan Karawaci, semua utensil disediakan sipemilik ruko, kita datang bawa makanan siap saji, digelar sendiri dan tiap hari setor "pekgo" – bahasa bersayap lainnya, adalah untuk beli bahan baku sampai siap santap, urusan kita sendiri. Orang bule juga tahu.
Survey mengatakan, pendapatan sehari minimal setelah dipotong setoran adalah setengah juta masuk kantong. Jadilah setiap pagi kami masuk ke kawasan Karawaci. Hari pertama "gelethuk" sejuta masuk kantong. Hm manisnya buah perjuangan mempertahankan asap dapur mengebul.
Minuman favorit pembeli adalah Es Capuchino. Kalau makanan bervariasi dari sayur santan daun singkong, tempe bacem, tahu bacem, layaknya makan rumah. Ada untungnya soal stok barang mentah kami dibantu dari hasil kebun di Citayam dan sebagian dari "pemeron" sayur-mayur. Kami mampu swasembada soal daun singkong, daun pepaya pahit, pakis, ikan mujair, sampai Gurami. Istri sang juru masak yang semula tidak doyan masakan genjer dan Taoco kali ini harus mengakomodasi keinginan pelanggan.
Seperti biasa pengutilpun mulai urunan bersantap, dengan modus operandi ambil makanan, bayar di kasir, lalu ada yang "lupa" yaitu ambil sambal, sehingga ia balik ke urutan ambil makanan untuk ambil sambal sambil tangannya cekatan ngembat tempe goreng, telor dadar, ikan goreng. Sekali dibiarkan, lama kelamaan, agar tidak membuatnya malu, saat dia melewati meja kasir, kita bilang "bapak kurang sekian ribu rupiah…"
Biasanya dia berkilah "masak sambal aja bayar…"
"Betul pak sambal gratis, tapi ikan goreng dan tempenya tidak pak," . Kena batunya deh elo. Pengutil lain mungkin belum sempat teramati.
Ada enam bulan kami berkiprah disana. Pagi-pagi mereka sudah seperti Zombie lantaran harus menyiapkan masakan. Kalau sampai diatas jam 6 belum berangkat, bakalan macet. Begitu juga pulang kalau belum jam 9 malam dipastikan macet luar bisa. Ini benar-benar keadaan kepala jadi pundak, lutut kaki.
Ruko Gajahmada..riwayatmu dulu
Kawasan yang kami tempati untuk berdagang adalah Ruko Gajahmada dari grup Lippo. Pengelolanya menjadikan kawasan ini khusus untuk urusan pelayanan door-2-door barang-barang kebutuhan masyarakat. Anda tilpun kami antar.
Konsep ini ternyata agak sukar diterapkan pada masyarakat yang terbiasa beli telur ayam pun harus memegang bendanya belum lagi budaya macet mengakibatkan berapa barang tidak dapat terkirim pada hari yang sama. Konsep yang masih laku di kawasan kita adalah gaya "carrefoure" – mohon maaf nama lain tidak disebut, karena memang kata biang "mall" harganya mampu bersaing. Orang akan beli anggur, lengkeng ke "carrefour" karena selain lebih murah, berpendingin udara, bisa cuci mata, sekalian "clakup-clakup" cuci mulut. Banyak pemandangan di sini seperti sekeluarga datang dengan baby sitter, beli lengkeng sekilo, sang tuwan methil satu lengkeng, sang nyonya coba dua , sang "noni dan tuwan kecil" kupas jeruk mandarin, sang pembantu ikutan cabut anggur, baby sitter "iwut" icip salak – padahal sudah ditulis "dilarang mencoba makanan" – tapi mereka boleh berkelit "kalau icip-icip kan boleh.."
Managemen ruko nampaknya memang masih coba-coba. Benar saja, diawali dengan keluhan pembeli akan mutu barang yang didapatnya seperti berasnya bulukan, gulanya basah, susu keringnya membatu dan segala macam komplin dibicarakan sambil makan. Dan mampir ke telinga kami. Maka kami sudah merasa, "waktunya sudah dekat"
Sampai suatu hari pelanggan mulai datang dengan muka ditekuk. Biasanya pak Satpam asal dari Nusa Tenggara Timur. Rupanya Omzet kurang bagus, maka Onslag yang datang. Pihak Lippo mulai memberlakukan PHK, mereka pamitan dengan wajah menunjukkan kebingungan bagaimana anak istri akan diberi kebutuhan hidup sehari-hari. Sejalan dengan PHK, grafik penjualan mulai menurun, semalaman menangguk Rp 100.000 yang berarti sudah mulai tekor. Dan saat itulah kami memutuskan untuk cabut dari kawasan terpadu Lippo Karawaci. Yang jelas tidak rugi modal untuk beli peralatan makan.
Kawasan terpadu Karawaci, terdiri dari beberapa sektor. Sektor satu dan lainnya akan terpisah jauh dan hanya bisa dicapai dengan kendaraan pribadi. Sulit mengharapkan kedatangan pembeli yang berasal dari sektor lain, kecuali memang masakan kita sangat khusus. Setelah malam hari, kawasan yang kami "kuasai" yaitu Ruko Gajahmada terbilang komplek mati.
Dalam hati memang saya ragu usaha Lippo akan berhasil, tetapi karisma Mohtar Riyadhi menutup segala keraguan "pebisnis bisa mencium apa yang tersirat dibalik yang tersurat…" – apalagi usaha beginian sudah di survey dan di "acc" oleh jasa Geologimanchi-awan alias pakar Fengshui. Namun rumor dibelakang adalah, sebuah kesempatan yang diberikan oleh orang tua agar anak-anaknya belajar niaga. Berhubung mereka rata-rata bersekolah di luar, maka semua produk luar dikunyah habis dan diimplementasikan ke Jakarta, dan sayangnya belum saat yang tepat.
Namun bagi saya, pembelajaran yang didapat adalah, boleh saja Fengshui bilang kawasan "bagus punyak" ada Naga Api, Naga Air, Naga Tanah, Naga Besi kumpul di Gajah (mada) – namun parameter seperti daya beli masyarakat, daya dukung lalu lintas, kebiasaan belanja masyarakat harus diperhitungkan. Atau kalau semua naga bertemu, akan terjadi pertarungan rebut rejeki, yang akhirnya bumilah yang porak poranda.
Berbekal dengan pengalaman menjadi catering, maka pihak rumah kerapkali mendapatkan "order" dadakan menjadi catering kawin keluarga. Misalnya saat midodareni apalagi kami terbiasa dipercaya tetangga jadi "organisatoris" urusan kawin-mengawin. Kalau sekedar MC, masih bisalah, sudah kadung diberi nama Mimbar. Je…
Bisnis katering memang jarang menghampiri tetapi sekali pukul "bathi-punjul" untung lumayan. Cuma dasar anak-anakku, setiap kali sekolahannya ada "iwuh" mengadakan perhelatan, dia promosikan mamanya jadi katering, dan akhir cerita "nombokin" karena sang Mama punya rasa "ewuh-pakewuh" apalagi terhadap institusi yang mendidik anak-anaknya sehingga sering menambah menu makanan yang dirasanya kurang sesuai, tanpa tambahan biaya. Tapi dia happy ya sudahlah. Bukan akhir sebagai tujuan namun proses pencapaiannya itu sendiri. (Kenangan Grogol 2000)
8 Dec 2005
Comments