Buaya doyan Gula Merah
Date: Tue Aug 16, 2005 11:26 pm
Sekali tempo melihat gula jawanya mulai lembab dan berair, sang pemilik warung, sebut saja mpok Mimih menjemur juwalannya disebelah ia poenya waroeng. Lantaran sibuk melayani pembeli ia lupa akan jemurannya. Waktu balik kumbali, ia poenya goela sudah disambar boeaya. Tak ayal lagi para koeli-beken (wartawan) menulis di Pembrita Betawi tahun 1930-an, "Boeaja sambar Goela Jawa" - padahal maksudnya ya si pancalongok yang juga doyan sambar jemuran.
Northern Territory, propinsi tumpah darah kota Darwin terkenal dengan sungai, rawa dan tidak ketinggalan rawa-buaya kalau di Betawi sana. Buaya yang dijaga kelestariannya ini dijadikan adalah lambang kota Darwin. Buaya sungai Adelaide, misalnya. Ada yang panjangnya 3 m. Dijadikan obyek pariwisata. Suatu hari "salty" demikian julukan buaya air asin kedapatan mati terjengkang. Setelah diselidiki dan di autopsi ternyata dalam perutnya kedapatan seekor kodok beracun. Rupa-rupanya ketika kodok "toad cane" berenang-renang ketepian, maksud hati bersenang-senang kemudian kemudian. eh begitu nyadar makanan berair yang disangkanya sejenis burung air, ternyata beracun. Ia berusaha memuntahkan kembali sambil gulung koming.
Namun terlambat.
Selamat jalan "salty" selamat berpindah ke padang perburuan abadi, howgh! kalau kata Winnetou. Kalau mau sakti seperti Jaka Tingkir tidak perlu berkelahi dengan 40 ekor buaya. Cukup bawa 40 ekor kodok-buduk alias "cane toad" begitu ketemu buaya ngamuk, lemparkan saja kodok beracun pasti dia lari lintang pukang sebab jemaahnya pernah ketiban apes.
Issue di Australia saat ini adalah serangan kodok-buduk bernama "cane-toad" ini ke kawasan Northern Territory. Yang luar biasa adalah bagaimana binatang yang cuma bisa melompat-lompat bisa sampai ke suatu daerah yang jaraknya ratusan
kilometer. Luar biasanya lagi, kodok ini makan apa saja. Tanaman, binatang kecil sehingga akhirnya ditahbiskan menjadi "hama" padahal dulu petani membawa kodok-buduk ini untuk melahap hama kumbang yang menyerang perkebunan tebu. Eh kok persis panggung politik saja. Mula-mula dilatih jadi sabotateur untuk kepentingannya, lama lama kodok makan tanaman. Berubah nama teroris.
Repotnya lagi, penggunaan kodoktisida sangat dilarang. Padahal predator macam buaya saja bisa koit memakannya. Kalau cuma dipentungi, paling pindah ke pagar tetangga.
Lalu didaerah lain ada buaya betina usia sekitar 12 tahun. Panjangnya sekitar 3 meter juga. Buaya ini memiliki kebiasaan kalau malam cari makanan anget cari makan ke rumah penduduk.
Oleh penduduk setempat yang mengenalnya sejak ia masih kecil, ia diberi makan dalam piring. Ternyata si manis demikian mereka menamakan buaya yang katanya "cute" ini ketagihan. Tiap malam datang "nagih jatah reman" bahasa Citayam kalau mau memalak orang. Lucunya hanya mau makan yang tersedia dipiring, termasuk roti-buaya.
Pernah selama seminggu ia menghilang, rupanya musim kawin, nafsu makan turun, nafsu pil biru terdongkrak melonjak. Setelah puas diusrek-usrek sang jantan, Ia mengandung dan bertelur tanpa minta pertanggungan jawab. Pasalnya bisa dibunuh sang jantan di Bogor seperti kasus di "Friendster".
"Biar bagaimana ia bukan binatang peliharaan," ujar pemberi makan gratis ini.
"Kami harus menjaga jarak dengannya". Mungkin bu Wilson masih ingat salah satu adegan di Madagascar tatkala si Singa jinak lama-kelamaan muncul naluri pemburunya dan melihat bokong montok temannya si Zebra seperti Juicy-Sirloin Steak.
"Juga kami tidak pernah memberi makan dalam jumlah banyak, ia binatang liar harus dibiarkan lapar agar bisa mencari pakan sendiri."
"apalagi belakangan ini dia suka sekali makan goreng-gorengan, pokoknya harus berbau bumbu, minyak dan dimasak..." Saya kuatir ia menjadi terbiasa akan masakan manusia, lalu manja akhirnya gagal bertahan hidup di alam bebas.
Kocap carito. Kok ya kalau ditelateni, urusan buaya bukan cuma adegan kasih makan ayam mati, lalu mereka merencah mangsanya. Padahal buaya mati ngapung, bisa dibikin huru hara. Makan dipiring pakai garpu dan pisau, naik ke media cetak, jadi obyek tontonan. Padahal garpu dan pisu cuma untu pajangan. Tapi itulah ide. Dengan sedikit kreativitas, menangguk uang parawisata.
Mimbar Saputro
Sekali tempo melihat gula jawanya mulai lembab dan berair, sang pemilik warung, sebut saja mpok Mimih menjemur juwalannya disebelah ia poenya waroeng. Lantaran sibuk melayani pembeli ia lupa akan jemurannya. Waktu balik kumbali, ia poenya goela sudah disambar boeaya. Tak ayal lagi para koeli-beken (wartawan) menulis di Pembrita Betawi tahun 1930-an, "Boeaja sambar Goela Jawa" - padahal maksudnya ya si pancalongok yang juga doyan sambar jemuran.
Northern Territory, propinsi tumpah darah kota Darwin terkenal dengan sungai, rawa dan tidak ketinggalan rawa-buaya kalau di Betawi sana. Buaya yang dijaga kelestariannya ini dijadikan adalah lambang kota Darwin. Buaya sungai Adelaide, misalnya. Ada yang panjangnya 3 m. Dijadikan obyek pariwisata. Suatu hari "salty" demikian julukan buaya air asin kedapatan mati terjengkang. Setelah diselidiki dan di autopsi ternyata dalam perutnya kedapatan seekor kodok beracun. Rupa-rupanya ketika kodok "toad cane" berenang-renang ketepian, maksud hati bersenang-senang kemudian kemudian. eh begitu nyadar makanan berair yang disangkanya sejenis burung air, ternyata beracun. Ia berusaha memuntahkan kembali sambil gulung koming.
Namun terlambat.
Selamat jalan "salty" selamat berpindah ke padang perburuan abadi, howgh! kalau kata Winnetou. Kalau mau sakti seperti Jaka Tingkir tidak perlu berkelahi dengan 40 ekor buaya. Cukup bawa 40 ekor kodok-buduk alias "cane toad" begitu ketemu buaya ngamuk, lemparkan saja kodok beracun pasti dia lari lintang pukang sebab jemaahnya pernah ketiban apes.
Issue di Australia saat ini adalah serangan kodok-buduk bernama "cane-toad" ini ke kawasan Northern Territory. Yang luar biasa adalah bagaimana binatang yang cuma bisa melompat-lompat bisa sampai ke suatu daerah yang jaraknya ratusan
kilometer. Luar biasanya lagi, kodok ini makan apa saja. Tanaman, binatang kecil sehingga akhirnya ditahbiskan menjadi "hama" padahal dulu petani membawa kodok-buduk ini untuk melahap hama kumbang yang menyerang perkebunan tebu. Eh kok persis panggung politik saja. Mula-mula dilatih jadi sabotateur untuk kepentingannya, lama lama kodok makan tanaman. Berubah nama teroris.
Repotnya lagi, penggunaan kodoktisida sangat dilarang. Padahal predator macam buaya saja bisa koit memakannya. Kalau cuma dipentungi, paling pindah ke pagar tetangga.
Lalu didaerah lain ada buaya betina usia sekitar 12 tahun. Panjangnya sekitar 3 meter juga. Buaya ini memiliki kebiasaan kalau malam cari makanan anget cari makan ke rumah penduduk.
Oleh penduduk setempat yang mengenalnya sejak ia masih kecil, ia diberi makan dalam piring. Ternyata si manis demikian mereka menamakan buaya yang katanya "cute" ini ketagihan. Tiap malam datang "nagih jatah reman" bahasa Citayam kalau mau memalak orang. Lucunya hanya mau makan yang tersedia dipiring, termasuk roti-buaya.
Pernah selama seminggu ia menghilang, rupanya musim kawin, nafsu makan turun, nafsu pil biru terdongkrak melonjak. Setelah puas diusrek-usrek sang jantan, Ia mengandung dan bertelur tanpa minta pertanggungan jawab. Pasalnya bisa dibunuh sang jantan di Bogor seperti kasus di "Friendster".
"Biar bagaimana ia bukan binatang peliharaan," ujar pemberi makan gratis ini.
"Kami harus menjaga jarak dengannya". Mungkin bu Wilson masih ingat salah satu adegan di Madagascar tatkala si Singa jinak lama-kelamaan muncul naluri pemburunya dan melihat bokong montok temannya si Zebra seperti Juicy-Sirloin Steak.
"Juga kami tidak pernah memberi makan dalam jumlah banyak, ia binatang liar harus dibiarkan lapar agar bisa mencari pakan sendiri."
"apalagi belakangan ini dia suka sekali makan goreng-gorengan, pokoknya harus berbau bumbu, minyak dan dimasak..." Saya kuatir ia menjadi terbiasa akan masakan manusia, lalu manja akhirnya gagal bertahan hidup di alam bebas.
Kocap carito. Kok ya kalau ditelateni, urusan buaya bukan cuma adegan kasih makan ayam mati, lalu mereka merencah mangsanya. Padahal buaya mati ngapung, bisa dibikin huru hara. Makan dipiring pakai garpu dan pisau, naik ke media cetak, jadi obyek tontonan. Padahal garpu dan pisu cuma untu pajangan. Tapi itulah ide. Dengan sedikit kreativitas, menangguk uang parawisata.
Mimbar Saputro
Comments