Berhenti Sejenak - Yusuf Iskandar

Sejujurnya, banyak pelajaran berharga yang saya resapi dari diskusi soal tema perlintasan kereta api. Mulai soal kenapa bisa macet-cet di atas perlintasan rel kereta hingga kiat tindakan pencegahannya. Hal yang masih sulit saya bayangkan (karena belum pernah mengalami) adalah jika kita sedang berada pada lalulintas yang rada padat kemudian kita "berhenti sejenak" menjelang perlintasan rel kereta api dan klakson di belakang kita berbunyi seperti pawai kompanye.

Soal "berhenti sejenak" ini kelihatannya menarik. Dalam berbagai banyak kesempatan melakukan safety talk atau safety meeting atau bincang-bincang tentang keselamatan kerja di lingkungan pekerjaan, beberapa kali saya mengangkat tema tentang "berhenti sejenak" atau "berpikir sejenak". Saya menyukai tema ini. Meskipun konteks yang saya ketengahkan adalah berkaitan dengan keselamatan kerja, tapi rupanya kebiasaan berhenti sejenak atau berpikir sejenak ini memang sangat bermanfaat dalam berbagai kesempatan dalam hidup kita.

Apa yang dilakukan ketika berhenti atau berpikir sejenak? Mempergunakan saat-saat sangat berharga yang barangkali hanya sekitar 3 - 7 detik itu untuk secara cepat mengidentifikasi kira-kira bahaya apa yang dapat terjadi dengan satu pekerjaan yang akan dilakukan. Atau, ada potensi bahaya apa yang kira-kira dapat menyebabkan kecelakaan atau bencana (baik dalam skala besar maupun kecil sekali).

Tanpa disadari, dalam berbagai kesempatan kita sering tertolong oleh perilaku berhenti atau berpikir sejenak ini. Berhenti sejenak atau berpikir sejenak, saya yakini perlu untuk dilakukan kapan saja dan dalam kesempatan apa saja. Meskipun dalam prakteknya, tidak selalu berhasil. Karena kitapun ternyata sering berada dalam situasi yang terburu-buru (meskipun sebenarnya tidak perlu), sehingga boro-boro mau berhenti atau berpikir sejenak.

Ada baiknya memang untuk membiasakan diri dengan berhenti atau berpikir sejenak. Bila kita sudah terbiasa dengan perilaku ini, maka biasanya akan berlangsung refleks dan sepertinya tidak ada waktu yang terbuang "hanya" untuk berhenti atau berpikir sejenak. Ketika akan menghidupkan komputer atau nyetel tape misalnya, sempatkan untuk berhenti atau berpikir sejenak sebelum kita benar-benar nunyuk tombolnya. Ketika akan mencet "send" dari email yang baru kita tulis, sempatkan untuk berhenti atau berpikir sejenak, barangkali saja ada nama-nama yang seharusnya tidak perlu di-To atau di-Cc, atau barangkali saja ada isinya yang kelewat sensitif dan berpotensi menimbulkan salah paham.

Ketika akan membuka pintu rumah, men-start kendaraan, mengupas buah, naik tangga berjalan, masuk lift, masuk toilet, memarahi anak atau menyuruh anak mengerjakan PR, menegur istri yang kelewat rajin menggesek credit card, mengklakson mobil di depan kita yang tiba-tiba melambat atau berhenti, tiba-tiba ingin menyalip ketika sedang berkendaraan, memasuki zona perlintasan rel kereta api, dan sebagainya. Ada ribuan aktifitas sehari-hari yang kalau saja pada sebagian dari ribuan aktifitas itu kita sempat mengawalinya dengan berhenti atau berpikir sejenak, banyak hal pula yang kiranya dapat kita selesaikan dengan penuh kehati-hatian dan kewaspadaan. Bahkan bukan tidak mungkin hal itu akan menyelamatkan jiwa kita.

Beberapa rekan telah berbagi pengalaman yang mendebarkan namun sukses dengan perilaku berhenti sejenaknya, ketika sedang berkendaraan dan akan melintasi rel kereta api. Dalam bayangan saya, sungguh itu pekerjaan yang tidak mudah untuk dilakukan, lebih tepatnya perlu keberanian moral. Bagaimana tidak, ketika sedang enak-enaknya melaju (entah santai, entah ngebut) lalu kemudian mesti berhenti sejenak ketika hendak menyeberang perlintasan rel kereta api, dan mesti pula menghadapi sopir-sopir lain di belakangnya yang ngedumel atau menggerutu karena perjalanannya rada terganggu yang lalu membunyikan klakson yang tidak perlu.

Membiasakan berhenti sejenak menjelang perlintasan rel kereta api memang bukan hal yang mudah. Di otak kita terlanjur tertanam pola pemikiran bahwa di setiap perlintasan kereta api ada yang jaga atau ada palang pintu, sehingga kalau ada kereta yang mau lewat pasti akan ada petugas yang memberi tanda atau menutup palang pintunya. Jarang sempat terpikir bagaimana kalau penjaganya tertidur, atau palang pintunya rusak, atau sedang ada problem dengan sistem komunikasinya. Atau, bahkan memang perlintasan itu tanpa penjaga dan tanpa palang pintu sama-sekali. TST (tahu sama tahu), begitulah. Maksudnya antara sesama sopir kereta dan kendaraan saling tahu siapa yang duluan melintas. Teoritis, dan aturannya sopir kendaraan yang harus mengalah. Tapi bukankah pengalaman sudah banyak mengajarkan bahwa tidak setiap sopir mau mengalah, dengan masinis kereta api sekalipun?

Di Amerika, seingat saya belum pernah saya menjumpai rel kereta api yang melintas di jalan utama. Melainkan paling banter di jalan-jalan yang berkategori batas maksimum kecepatannya 30 mil/jam (sekitar 50 km/jam), atau jalan-jalan kecil. Juga tidak banyak dijumpai perlintasan rel kereta api yang ditungguin pen jaga atau dilengkapi palang pintu. Di beberapa perlintasan yang kebetulan berada di kawasan yang sering dilalui kendaraan, maka cukup dipasang tanda "Stop" (tulisan warna putih di atas dasar warna merah bersegi delapan).

Tanda itu berarti, siapapun yang mau lewat (entah petani kacang, entah gubernur), maka harus berhenti sejenak secara total, sebelum melanjutkan perjalanannya. Siapa saja yang melanggarnya dan ketangkap Pak Polisi, maka harus siap-siap menyetorkan $100 sampai $200 ke kas negara sebagai hukuman denda. Tanpa kecuali dan tanpa peluang kong-kali-kong. Tanda "Stop" yang sama juga banyak dijumpai di pertigaan atau perempatan jalan yang tanpa lampu bang-jo (yang jika lampu merahnya byar-pet, maka fungsinya sama dengan tanda "Stop").

Bagi kita di Indonesia, agaknya masih perlu upaya suangat panjang untuk bisa menanamkan bahkan merubah perilaku untuk ikhlas patuh kepada peraturan (berlalulintas). Jangan-jangan kalau nanti dipasang tanda "Stop" maka berarti
juga harus memasang seorang polisi untuk menemani tanda itu, agar tanda "Stop" menjadi bermakna. Sebab jika tidak, maka dikhawatirkan tanda "Stop" atau "Jalan" menjadi tidak ada bedanya.

Memang masih dapat diperdebatkan, kalau begitu si sopir berhenti di perlintasan rel kereta api itu karena takut denda atau karena demi keselamatan? Repot menjawabnya. Namun yang pasti saya sepakat bahwa : "Kalau ada peraturan tentu maksudnya baik buat kita !", menirukan pesan almarhum Bapaknya Pak Udy Rusdiana.

Berhenti sejenak atau berpikir sejenak, mudah-mudahan menjadi awal dari setiap perilaku kehati-hatian dan kewaspadaan kita. God willing.....


Tembagapura, 2 Juli 2003
Yusuf Iskandar

Comments

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

STOP!