Artikel #927 Jangan Bilang Aku Jadi Pekerja Rig, Temanku Mengira Aku Direktur (1)

Aha saya sudah dapat email beserta lampiran tiket elektronik dari Perth bahwa Senin malam 21 Mei 2007 saya naik Garuda GA730 yang berangkat dari Sukarno Hatta pada jam 9:30 malam. Berarti tidak terasa sudah 4 minggu aku habiskan leyeh-leyeh menjadi pengangguran bergaji di rumah. Kebetulan anakku sudah selesai liburan dan harus kembali ke Singapura. Jadi malam ini kami berangkat bersama-sama. Cuma anakku di gerbang D sedangkan saya di E.

Agak mengherankan biasanya mereka bersikeras menggunakan Qantas. Biasanya kalau saya mengasongkan email berisikan E-tiket di loket check-in, maka pihak Garuda mempersilahkan saya menuju loket lain untuk dibuatkan tiket yang berlapis-lapis warna warni dan memakan waktu cukup lama. Sehingga maksud utama dari E-tiket, layu sebelum berkembang. Namun kali ini mereka langsung menanyakan passport saya dan pas masuk langsung diberikan tanpa meminta sepeserpun airport tax (Rp 100.000), karuan saja saya bilang "mbak kok saya tidak diminta airport tax?."

Pesawat ternyata tertunda satu jam. Hal yang membuat kinerja BUMN dianggap kurang bersyarat. Di dalam pesawat, Koran Sinar Harapan yang ditawarkan Pramugari saya comot, lalu ia menawarkan lagi "Suara Pembaruan pak sekalian, perjalanannya kan lama."Koran Suara Pembaruan pun saya ambil. Jangan heran saya hitung ada lima pramugari berbanding 10 penumpang. Yang mengganggu mereka mengecrotkan parfum sesuai selera masing masing, terkadang dengan aroma tajam, sehingga kelabakanlah hidung saya yang lumayan sensitif mengendus bau campur aduk. Padahal aroma eaude toilet yang ringan segar sudah lebih dari cukup.

Halaman depan Suara Pembaruan menulis maskapai SIA Singapore Airline menangguk keuntungan berlipat ganda triliunan rupiah. Lalu saya toleh sana sini ke bangku yang sepi. Terus bagaimana Garuda akan mendapat keuntungan, dengan harga Ticket sekitar $700 dolar Australia (return). Plus pajak $225 berarti $ 925 ternyata belum menarik minat pemakai untuk pindah ke Garuda. Padahal maskapai Qantas ($ 990) selalu penuh akan penumpang.Jam 3:30 pagi waktu Perth setelah 4 jam penerbangan ditambah satu jam delay, mendarat juga akhirnya di Bandara International Perth, segenap pihak immigrasi berceloteh "busy flight eh," setelah saya beritahu hanya berjumlah 10 penumpang.Begitu keluar terminal, saya langsung menggigil kedinginan diterpa suhu udara sekitar 5 derajat selsius. Langsung menuju taxi yang disambut dengan senyum kegirangan sebab berjam-jam menunggu akhirnya ada juga seorang penumpang.

Langsung saya menuju hotel yang tarip resminya $200 (1.4 juta rupiah) dan bukan kelas bintang lima lho, namun karena langganan perusahaan, kami mendapatkan potongan 50% dengan catatan tanpa makan. Ongkos taxi sekitar $40 (Rp 300 000), untuk perjalanan selama 20 menit langsam.

Romeo sang petugas asal Philipina menyambut saya sambil bercanda "mengapa telat sekali datangnya," sekaligus pertanda bahwa begitu kaki menginjak, maka saya dikenai biaya denda satu malam yang kemarin di pesan. Dan seperti biasa tidak ada doorman atau bellboy disini.

Ada satu hari saya relax makan tidur di hotel, ini memang kebiasaan ala Australia bahwa sehari menjelang bekerja, pekerja dianjurkan dalam keadaan relax.

Berapa lama seseorang bekerja di Pertambangan Minyak?

Pertanyaan ini selalu menggoda teman-teman setelah mengetahui saya adalah pekerja minyak, sekalipun gelar resminya berbau cemooh, TKI.Dalam pekerjaan di lepas laut ataupun darat bagi tenaga kerja dari Indonesia, maka kami dikenakan rotasi selama 4 minggu di di laut dengan 4 minggu cuti di Indonesia. Ditambah dalam setahun mendapat kesempatan cuti lagi selama sebulan, maka praktis dalam setahun kami bekerja hanya lima bulan. Itupun masih menerima gaji bulanan dalam dollar.Rotasi 4 banding 4 bukan harga mati, sebab bagi pekerja katering yang berdomisili di Australia mereka terkena rotasi 3 minggu kerja dan 3 minggu cuti, sementara teman warga Australia yang satu perusahaan, mendapat keringanan bekerja dua minggu dan cuti dua minggu.

Tetapi, masalahnya, ada banyakkah orang bersedia bekerja penuh tekanan selama 12 jam sehari? - ternyata beberapa teman saya berguguran, bahkan ada yang memilih jalur menjadi pelukis, bank sekalipun pendidikan keahliannya adalah Teknik Perminyakan atau Geologi.

Bahkan ketika saya memutuskan untuk ambil pensiun dini tiga tahun lalu, teman-teman pada bilang "sudah tua ngapain kerja jauh-jauh, disini saja banyak pekerjaan.."

Yang mereka tidak tahu, sejak mulai bekerja pada tahun 1981 di Perminyakan saya sudah ancang-ancang pensiun dengan mencoba berbagai bisnis, hasilnya jeblok. Alih-alih mau kaya seperti kata buku macam Kiyosaki, ber-agro-bisnis kagak ada matinya, kata Trubus, eh buntutnya, mobil, tanah, rumah, perhiasan ikut melayang.

Seperti mengiyakan kata ahli Feng Shui, Mama Terate, "elu punya shio Ular cari makan, kagak bakat dagang, banyak ditipu punya." - padahal anjuran pakai kacamata hitam, jangan ada gigi yang ompong, sudah saya lakoni rejeki tetap jadi pekerja. Ramalan lain yang perlu saya koreksi adalah dari orang tua, "bekerja yang jujur, rajin, nanti pimpinan akan mempercayaimu.." - kenyataannya perusahaan yang dibela mati-matian lantas dicaplok perusahaan lain yang lebih besar tetapi ajaib dan biadapnya menggaji karyawannya jauh lebih kecil.

Kalau mau protes, silahkan angkat kaki dengan kata manis "pensiun dini." atau "golden shakehand"

Beruntung saya memang doyan cenderung penyandu internet dan email, begitu ada "ontran-ontran bin gonjang ganjing," di perusahaan, cepat-cepat beremail ria dengan jaringan teman di luar negeri, dan jawabannya "are you serious?" - dan tidak lama kemudian surat sponsor dibuatkan untuk membuat Visa ke Australia.

Padahal teman lama di kantor termasuk Direktur pada sinis "sudah tua mau kerja dimana?, HRD sekarang cari lulusan yang muda, IP setinggi-tingginya, upah seminim-minimnya." - maksudnya agar saya "cicing wae" alias duduk manis-manis tinggal di perusahaan dengan tanggung jawab berat. Kadang saya bercanda "Tanggung Jawab Direktur, Penghasilan Kondektur."

Celakanya saya malahan tertantang untuk membuktikan "Old roughneck never die, just fade out."

roughneck adalah sebutan pekerja kasar pengeboran.

Comments

Anonymous said…
Denger ceritanya kok ngenes2 bahagia sih pak.. Nasib pekerja perminyakan.
Numpang curhat ya pak...Sy dulu pernah mau masuk oil company (jaman lulus kuliah, msh idealis) tp setelah denger2 senior sy, yg kerjanya rata2 3 thn hengkang, pindah lg ke pers baru,walau gaji gede ,wah kok jd "wurung". Akhirnya menyalurkan hobi sy adventure ("ngelencer"), sy ikut proyek2 telkom keliling pulau2,lama bosen, pengen dijawa aja(dasar ke-"mbok2"en). Akhirnya memutuskan keluar kerja ama org, buka2 usaha sendiri dr th 2000 coba berbagai bid, jungkir balik, tp gak nyerah (bandel), sampe skrg menemukan duniaku. Gak gede sih,tapi enjoy.. Akhirnya sy bergerak pake intuisi, soalnya kalo diitung2 , diplanning2 kaya di proyek, (maklum org teknik) byk melesetnya. Pake feeling, tanya diri sendiri, begitu mantep,maju tak gentar..
Pak, memang bisnis cocok2an,ya orangnya, jurusannya(sektor bisnisnya). Kerja jg begitu. Masalahnya cari yg cocok bgmn?
Drpd bingung2,salah satu way out, coba tanya ama aja ama Suhu Tan, mungkin bisa bantu. Bisa dicoba. Bukan promosi lho pak,sy kan pernah ikut klas "BaZi"nya. Jd tahu metodologinya.Lumayan buat referensi..
Oh ya baru2 ini temen saya jg keluar kerjaannya oil comp.diRiau, tak tanya, sama aja jawabnya. Bosen, cape..
OK pak selamat nyoba kerjaan yg baru..
Anonymous said…
Makasih Pak Mimbar, bukan hanya ceritanya yang menarik tentang kehidupan di atas rig, tetapi sekaligus juga promosikan Suara Pembaruan, he..he..he..Di luar itu, dari ceritanya, jelas terlihat Pak Mimbar memang orangnya tangguh dan senang adventure. Nanti kalau kapan-kapan saya undang untuk cerita tentang kegiatan kerja di rig di depan adik-adik pramuka, supaya mereka juga punya jiwa setangguh Pak Mimbar, berkenan gak pak? Tks

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

Menu Makanan Kantin di Rig Terapung