Artikel #916 Usman dan Harun
Keningnya berkerut tatkala membaca pada bagian tengah yang mengatakan negara tercinta ditulis sebagai teroris yang mengacau negara muda Singapore dengan meledakkan bangunan Mac Donald pada 1965.
Lalu pada 3 Mei 1964 Presiden Sukarno menyanangkan gelar "Dwikora" atau Dwi Komando Rakyat yang intinya membubarkan Malaysia. Repotnya pasukan Sekutu terutama Inggris berada di belakang Malaysia sehingga diakali dengan cara memobilisasi masa untuk mengirimkan "relawan dan relawati" yang sebetulnya pasukan reguler tanpa pengenal. Lalu berduyun-duyun orang mendaftarkan diri sebagai sukarelawan untuk membubarkan Malaysia. Ibu rumah tangga yang biasa memegang kuali dan wajan penggorengan, mereka mahir baris berbaris dan menembak jitu.
Demikian halnya dengan prajurit KKO Janatin mengganti namanya dengan Usman dan disambungkan dengan nama orang tuanya Haji Muhammad Ali. Sehingga nama samaran ini lengkapnya Usman bin Haji Muhammad Ali. Sedangkan prajurit Tohir menggunakan nama samaran Harun, dan lengkapnya Harun bin Said. Dengan nama samaran ini Usman, Harun dan Gani melakukan penyusupan ke daerah Singapura untuk melakukan penyelidikan dan pengintaian tempat-tempat yang dianggap penting.
Pada 10 Maret 1965, di sebuah gedung "MacDonald" kawasan Orchard Road mereka berhasil memasang bom waktu. Bom Meledak pada kantor Hongkong dan Shanghai Bank pada pukul 15:07 sore menewaskan dua orang Cina dan seorang Melayu serta menyederai 33 orang lainnya. Inilah bom meledak dalam skala besar sebab masih banyak bom-bom kecil meledak seperti di Geylang Serai - Block 1 Jalan Pasar Baru.
Gani sempat meloloskan diri sementara dua prajurit KKO yang menyamar pedagang agar bisa masuk ke Singapura berhasil ditangkap yaitu Usman dan Harun. Sebenarnya mereka berdua berhasil meloloskan diri dengan berpura-pura menjadi pelayan pada kapal Begama yang akan berlayar ke Bangkok. Namun kapten kapal yang mengetahui mereka bukan awak kapalnya segera mengusir mereka sebab berita peledakan tersebut sudah menjadi buah bibir dunia.
Mereka tahu bahwa kemungkinan lolos sudah sangat kecil sebab Selat Malaka sudah seperti dipagar betisi oleh pasukan pemburu. Sebuah motor boat yang berlabuh segera dirampas.
Namun dalam perjalanan ke pangkalan di Pulau Sambu, nasib apes menimpa mereka berdua, mesinnya mati ditengah laut dan keburu dikejar patroli dan ditangkap pada jam 9:00 13 Maret 1965. Seperti biasa kalau sudah masuk ke departemen "diplomatik" kita banyakan gagal entah itu upaya menyelamatkan nyawa atau pulau.
Pada jam 05:00 pagi setelah sembahyang subuh mereka lalu dibius, nadinya diputus agar lumpuh dan dalam keadaan tak sadar lalu di gantung pada tanggal pukul 06:00 pagi 17 Oktober 1968 di penjara Changi. Pesawat AVIA VIP yang menjemput peti jenasah diberi waktu untuk mendarat atara jam 09:00-9:30 dan harus bertolak pada jam 11:30. Kerewelan terjadi saat peti hendak diselimuti bendera merah putih, pihak Singapur memprotes. Untungkah ada seorang Melayu di penjara Changi yang bersimpati dan memungkinkan bendera merah putih dipakai.
Kedatangan peti mati berselimut bendera merah putih ini disambut dengan rasa emosional sebagian rakyat Indonesia.
Alwi Shahab dalam koran Republika mengenang:
"Setibanya kedua jenazah di Tanah Air, kedua prajurit KKO dianugerahi Bintang Sakti dan diangkat sebagai pahlawan nasional. Pangkatnya dinaikkan satu tingkat. Dalam perjalanan dari Bandara Kemayoran ke Markas Hankam di Merdeka Barat, untuk memberikan penghormatan, ratusan ribu rakyat yang datang dari berbagai tempat banyak yang mengeluarkan air mata. Demikian pula ketika jenazah diberangkatkan dari Hankam ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Diperkirakan satu setengah juta atau sepertiga dari penduduk Jakarta waktu itu, tumplek ke jalan-jalan yang dilewati jenazah untuk memberikan penghormatan. Pada acara pemakaman banyak prajurit dan perwira KKO yang meneteskan air mata. Demikian meluapnya emosi dan kemarahan rakyat pada Singapura. "
Panglima KKO Mayjen Mukiyat menegaskan, ''kalau diperintah KKO sanggup merebut Singapura.'' Sedangkan ketua MPRS Jenderal AH Nasution juga tidak dapat mengendalikan emosinya. ''Penghinaan lebih dari permusuhan,'' katanya penuh kemarahan. Bahkan Nasution menegaskan, dalam masalah kehormatan bangsa, tidak boleh perhitungan-perhitungan dagang dijadikan pertimbangan.
"Usman" kelahiran Tawangsari, Purbalingga, 18 Maret 1943, yang nama aselinya dalah Janatin bin Haji Muhamad Ali dinaikkan pangkatnya menjadi Sersan Anumerta KKO, sedangkan "Harun" yang nama aselinya Tohir bin Mandar, kelahiran pulau Bawean 4 April 1943, dianugerahi pemerintah sebagai Kopral Anumerta.
Catatan mengenai militer Indonesia memang tidak main-main. Pertama mengambil alih Irian Jaya dengan Operasi Trikora dan usaha menggagalkan pembentukan Malaysia, lalu invasi Timor Timur membuat beberapa negara tetangga "jiper". Dalam poll di Australia misalnya, separuh lebih rakyat sana menganggap Indonesia bukan tetangga yang baik untuk hidup bersama.
Tidak heran sebagai negara yang memiliki kekuatan bersenjata perlu "diperhitungkan" - upaya memperlemah kekuatan militernya selalu dilakukan. Baik dengan cara embargo penjualan peralatan militer ke Indonesia atau melalui penekanan dari dalam yaitu kelompok LSM dengan senjata andalannya HAM, misalnya, untuk mengucilkan tentara Indonesia di mata dunia.
Comments