Artikel #910 Sarapan Pagi di Ya Kun

Tahun 1926, seorang anak muda berbekal kopor tua nampak berdiri kebingungan di pelabuhan Singapore. Usianya baru 15 tahun, saat anak sebayanya masih "mbok-mboken" - bahasa jawa "menetek" orang tuanya, ia sudah berani meninggalkan daratan Hainan, Cina menuju negeri yang ia tidak ketahui akan menjadi apa disana. Tapi tekad anak Hainan yang bernama Loi Ah Koon sudah bulat, kalau sudah berani mengarungi ganasnya laut Cina Selatan, berarti telah siap menaklukkan Singapore. Aral yang melintang adalah ia tidak punya sanak kadang di Singapore.

Dengan langkah kaki yang agak "ngengkang," cara berjalan dengan telapak kaki menghadap keluar, mirip komedian Charlie Chaplin, tergopoh ia menyeret kopor kayu tuanya menuju komunitas orang Hainan. Sebuah kedai kopi menawarinya sebagai pelayan. Tidak lama kemudian gemrincing upah dan uang tips masuk dalam celana pendek dril seperti mengajaknya berbuat selangkah lebih maju. Ia lalu mengajak dua imigran Cina untuk mendirikan kedai kopi yang sama di Telok Ayer Basin.

Seperti layaknya bisnis kompanyon yang baru berdiri, tidak lama mereka saling bergesekan kepentingan dan kongsi dagang yang dibentukpun berantakan. Kini Loi muda yang mengeluarkan porsi terbanyak dalam usaha tersebut tetap bertahan sendirian untuk malang melintang dalam bisnis roti bakar. Dengan resepnya sendiri ia menjadi manajer, koki, sekaligus pelayan.

Keuntungannya, ia bisa bebas menyuguhkan racikannya sendiri. Mulai mengenal selera masing-masing pembeli. Sajian Teh, Kopi, telur rebus atau setengah matang dan roti panggang mulai di kenal para kuli pelabuhan, pelepas uang (ijon), anak kapal termasuk polisi. Sekalipun sudah memiliki rumah petak di di jalan Cross 15B toh ia lebih suka tidur beralas papan di kedainya. Ia rela istirahatnya terganggu manakala dibangunkan pada subuh yang dingin oleh pelanggannya yang sekedar ingin dilayani secangkir kopi.

Saat pelanggan yang umumnya orang kasar mulai menyalak menyebutkan order, pemuda ini nampak gugup menulis pesanan pada papan tidur yang berfungsi sebagai papan tulis. Kurang cepat sedikit, atau kopi tersaji kurang kental, hadiahnya adalah cercaan. Namun ia tidak pernah putus asa. Kepada orang kelaparan ia berikan masakannya gratis, bagi yang bisa membaca ia sediakan koran, kepada pelanggan tetap ia berikan diskonto dan hutang.

Lima belas tahun kemudian ia mulai memindahkan kedainya di jalan Lau Pau Sat. Dan berani memasang pelang nama Ya Kun, sebagai pelesetan namanya agar mudah diucapkan bagi mulut non Mandarin. Hasil pendidikan moral dan mental selama bekerja di pelabuhan Teluk Ayer Basin tidak sia-sia. Tidak lama kemudian ia mendapat penghargaan sebagai Kedai Kopi paling ramah. Saat ia pulang ke daratan Cina, dan menikahi gadis sana 1936, sang istri selain memperkuat barisan Ya Kun malahan memperkaya nilai tambah dengan meramu sendiri selai "kaya" resepnya yang ternyata amat digemari orang Singapore. Mereka nampaknya jeli melihat bahwa warga Singapura tidak terbiasa makan Roti Bakar berlapis keju, melainkan sesuatu yang manis. Lalu untuk menjaga mutu kopi tubruknya ia membeli sendiri biji kopi mentah, lalu diolahnya dengan campuran mentega untuk dijadikan minuman spesial kedainya.

Berbekal nama besar itulah maka sejak 1984 kedai kopi ini mulai dikenal sebagai resto penyedia sarapan. Untuk lebih meyakinkan para pembeli dan mengatasi isu busuk yang dilancarkan pesaingnya, mereka menempelkan pengumuman bahwa seluruh pembuatan masakan tidak melibatkan penambahan bahan seperti lemak babi, yang sering dikuatirkan oleh sekelompok agama tertentu. Sebab kaya adalah semacam selai campuran antara kuning telur, gula dan santan.
Pagi itu Jumat 4 Mei 2007 saya mendatangi salah satu cabang Ya Kun di jalan Lorong Liput, kawasan kampung Belanda (Holland Road) Singapura.

Saya memesan setangkup roti bakar isi kaya (sri kaya), segelas kopi tubruk Singapore yang harus dipesan sebagai Kopi "O" agar tidak diberi susu dan gula dua soft boiled egg (telur setengah matang). Sebentar saja Cindy, seorang amoy asal Kalimantan sudah berdiri dimeja nomor 8 dibawah eskalator Holland V Shopping Mall. Saya hanya merogoh sebesar empat dollar untuk pesanan tersebut.

Di depan saya seorang cewek bule asik berhotspot dengan laptopnya. Dimejanya segelas kopi pahit (kopi tiam "O") dan setangkup roti bakar srikaya nampak belum tersentuh.
Sambil menelan roti bakar yang kini tidak dipanggang dengan arang, pelan-pelan saya teguk kopi tubruk pahit. Lalu saya cobai telur setengah matangnya. Separuh tidak percaya, bagaimana usaha yang banyak dijumpai hampir disetiap penjuru tempat termasuk di Indonesia. Herannya mengapa usaha roti bakar yang satu ini bisa merambah sampai Jepang.

Lalu membayangkan bagaimana saat ia memulai bisnis, saat kesukaran mendatanginya lantaran kopinya belum dikenal, lalu teman-temannya meninggalkannya karena mereka menganggap "tidak ada gunanya diteruskan," tetapi ia melihat sukses diujung sana.


Comments

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

Menu Makanan Kantin di Rig Terapung