Artikel #929 Jangan Bilang Aku Jadi Pekerja Rig, Temanku Mengira Aku Direktur (2)
Pensiun tanpa sepengetahuan keluarga.
Kata orang bijak bekerja itu seperti masuk warung Nasi Kapau. Di meja sendiri terhampar rendang sapi berwarna coklat kehitaman entoh tergoda daging cincang dipiring teman. Selalu ada tawaran lebih menarik untuk pindah juragan. Supaya jangan bingung, panteng saja rendang-ditangan. Akibat peribahasa tersebut setiap ada tawaran kerja yang lebih menarik (tentu dengan resiko dan tanggung jawab lebih besar), saya cenderung bergeming. Apalagi kalau meminta pendapat keluarga. Bisa dipastikan mereka bakalan keukeuh tetap setia dengan perusahaan lama dengan harapan siapa tahun tahun mendatang terjadi perubahan lebih baik.
Tentu mereka tidak paham saat boss dengan muka ditekuk macam kerah baju kurang kanji memanggil saya ke ruangnya. Setelah menutup pintu lalu meminta sekretaris agar tidak mengganggu atau menghubunginya.
Sudah seperti "rumus" - boss umumnya memanggil karyawan untuk urusan yang "tidak enak" bisa berupa kesalahan pegawai, keluhan pelanggan. Sementara pujian dari pelanggan bisanya berupa surat atau fax, selalu disembunyikan dengan maksud pegawai tidak besar kepala lalu minta promosi. Orang bilang bekerja di Rig harus menghadapi pemeo "Jika berbuat kelalaian sukar dilupakan, berprestasi sukar diingat." – Seorang “mat sale” malahan extrim mengatakan, bekerja bagus di perusahaan ibarat seperti kencing di celana, hanya kita yang merasakan hangatnya
Setelah berbasa basi sebentar keluarlah kalimat "gaji kamu bisa membayar dua orang setara kamu." Beliau mungkin lupa pepatah "you pay peanut, you buy monkey" - anda memberi umpan kacang yang dapat kera, dan bisnis anda menjadi "monkey business." Bos juga lupa kalau dulu pernah menyebut “pegawai adalah aset perusahaan paling penting” sekarang didepan bos saya menjadi sekrup kecil yang berkarat serta “dol” - longgar. Bisa diganti kapan saja.
Kalau teman lain langsung shok bahkan ada yang menangis "Bombay" dan menjual cerita sedih seperti cicilan rumah belum lunas, anak masih kuliah, isteri sakit, tabungan belum ada. Sebaliknya saya memilih diam, lalu dengan alasan meminta waktu untuk menentramkan fikiran yang gundah gulana (ecek-ecek) mengajukan cuti tahunan dan bermaksud berlibur bersama keluarga menengok anak di Singapura.
Tidak seorangpun mengetahui bahwa dalam beberapa minggu mendatang akan ada akrobatik hidup. Masih terngiang kata Mama Terate, " soal cari makan elu kagak bakalan ketemu perkara. Gampang aja.."
Sekembali dari liburan saya hubungi pihak kantor saya dan kami bertemu di sebuah kafe di gedung Arkadia. Ada empat utusan perusahaan yang "mengeroyok" - lantaran mereka kuatir saya membawa "pengawal" dan mengamuk.
Pembicaraan pertama agak alot sebab kalau saya mengundurkan diri maka saya tidak akan terima kompensasi sedikitpun sehingga episode yang dimainkan adalah "saya tua, kinerja kurang fit untuk perusahaan," tidak lupa tanggal kami bertemu bos dan beberapa sitiran pertemuan.
Dengan episode yang terakhir, kunci kendaraan saya serahkan, laptop, handphone dan sehelai cek saya terima. Kami bersalaman dan berpisah lalu memanggil taxi ke rumah.
Keesokan hari, pakBon bertanya tidak melihat mobil untuk dicuci. Saya bilang sudah dikembalikan ke kantor. Barulah pecah "gonjang ganjing" di rumah kami. Orang rumah melihat saya seperti Mr Bean baru jatuh dari lampu sorot. Menjadi pemandangan ganjil. Yang lebih hebat lagi orang tua dan mertua yang menangis sesenggukan. Kata PHK (pemutusan Hubungan Kerja), seperti vonis mati bagi mereka.
Percuma saja saya bilang PHK jangan selalu dianggap kekalahan, anggap satu ujian menuju perbaikan. Kadang saya ngedumel gara-gara sebuah hasil penelitian mengenai suku Jawa "orang Jawa, kalau berbisnis harus untung terus. Buka warung laba harus ditangan. Kalau rugi, menjadi aib dan penyakit lepra yang harus dijauhi keluarga. Kalau bekerja harus sampai pensiun jangan pindah perusahaan."
Penyakit yang harus dihindari saat menerima pesangon PHK adalah ajakan mendepositkan uang agar uang bekerja untuk anda, ikutan Agri Bisnis dan segala macam yang saya sudah pelajari dari teman-teman yang pernah di PHK, bingung mau lari kemana, lalu uang dititipkan pada sebangsa QSAR atau Agribisnis lain, buntutnya jeblok. Jelas jelas flu burung sedang merebak bulan itu, seorang teman menilpun berkali-kali bahwa produksi telur ayamnya kewalahan menerima order sehingga perlu modal segar untuk melayani konsumen.
Sebelum saya terpengaruh ajakan dengan iming-iming indah dan mudah, langsung tanah di Pondok Gede dirundingkan untuk dibangun. Pemilik toko material sampai kaget ketika belum-belum kami sudah menaruh uang, saat pembangun rumah belum dimulai. Padahal baru kenal.
Olah Raga Jalan Kaki malahan dibilang nelangsa.
Olah raga saya adalah berjalan kaki dan ini sudah puluhan tahun dikerjakan, namun menjadi lain kita di PHK sebab mengundang interpretasi. Pikiran boleh kisruh, namun tubuh perlu sehat sehingga fitnes harus digenjot, tetapi lagi-lagi keluarga dan tetangga melihatnya sebagai iba "sudah PHK, mobil diambil, sekarang jalan kaki lagi" - belum lagi ada yang langsung menyukurkan atau menarik dalil bak seorang wali sakti "kurang taqwa dan kurang sedekah.."
Memang semasa masih aktif di perusahaan lama saya selalu disediakan mobil perusahaan sehingga tidak memikirkan memiliki mobil sendiri. Alasan lain mobil yang “nongkrong” di garasi sering menerbitkan liur untuk dipinjam arisan, antar anak sekolah kadang sampai berbulan-bulan. Sementara biaya perawatan keluar terus dan apesnya saat kendaraan dikembalikan sudah dalam keadaan penyok kecil atau cat tergores.
Kalau sudah demikian, maka terasa bahwa pasangan hidup adalah supporter yang membuat mental tetap terjaga. Saya bilang kepada mereka bahwa sedang dalam proses pembuatan kontrak dari Australia dan menunggu instruksi selanjutnya untuk mengurus visa.
Bersambung..
Kata orang bijak bekerja itu seperti masuk warung Nasi Kapau. Di meja sendiri terhampar rendang sapi berwarna coklat kehitaman entoh tergoda daging cincang dipiring teman. Selalu ada tawaran lebih menarik untuk pindah juragan. Supaya jangan bingung, panteng saja rendang-ditangan. Akibat peribahasa tersebut setiap ada tawaran kerja yang lebih menarik (tentu dengan resiko dan tanggung jawab lebih besar), saya cenderung bergeming. Apalagi kalau meminta pendapat keluarga. Bisa dipastikan mereka bakalan keukeuh tetap setia dengan perusahaan lama dengan harapan siapa tahun tahun mendatang terjadi perubahan lebih baik.
Tentu mereka tidak paham saat boss dengan muka ditekuk macam kerah baju kurang kanji memanggil saya ke ruangnya. Setelah menutup pintu lalu meminta sekretaris agar tidak mengganggu atau menghubunginya.
Sudah seperti "rumus" - boss umumnya memanggil karyawan untuk urusan yang "tidak enak" bisa berupa kesalahan pegawai, keluhan pelanggan. Sementara pujian dari pelanggan bisanya berupa surat atau fax, selalu disembunyikan dengan maksud pegawai tidak besar kepala lalu minta promosi. Orang bilang bekerja di Rig harus menghadapi pemeo "Jika berbuat kelalaian sukar dilupakan, berprestasi sukar diingat." – Seorang “mat sale” malahan extrim mengatakan, bekerja bagus di perusahaan ibarat seperti kencing di celana, hanya kita yang merasakan hangatnya
Setelah berbasa basi sebentar keluarlah kalimat "gaji kamu bisa membayar dua orang setara kamu." Beliau mungkin lupa pepatah "you pay peanut, you buy monkey" - anda memberi umpan kacang yang dapat kera, dan bisnis anda menjadi "monkey business." Bos juga lupa kalau dulu pernah menyebut “pegawai adalah aset perusahaan paling penting” sekarang didepan bos saya menjadi sekrup kecil yang berkarat serta “dol” - longgar. Bisa diganti kapan saja.
Kalau teman lain langsung shok bahkan ada yang menangis "Bombay" dan menjual cerita sedih seperti cicilan rumah belum lunas, anak masih kuliah, isteri sakit, tabungan belum ada. Sebaliknya saya memilih diam, lalu dengan alasan meminta waktu untuk menentramkan fikiran yang gundah gulana (ecek-ecek) mengajukan cuti tahunan dan bermaksud berlibur bersama keluarga menengok anak di Singapura.
Tidak seorangpun mengetahui bahwa dalam beberapa minggu mendatang akan ada akrobatik hidup. Masih terngiang kata Mama Terate, " soal cari makan elu kagak bakalan ketemu perkara. Gampang aja.."
Sekembali dari liburan saya hubungi pihak kantor saya dan kami bertemu di sebuah kafe di gedung Arkadia. Ada empat utusan perusahaan yang "mengeroyok" - lantaran mereka kuatir saya membawa "pengawal" dan mengamuk.
Pembicaraan pertama agak alot sebab kalau saya mengundurkan diri maka saya tidak akan terima kompensasi sedikitpun sehingga episode yang dimainkan adalah "saya tua, kinerja kurang fit untuk perusahaan," tidak lupa tanggal kami bertemu bos dan beberapa sitiran pertemuan.
Dengan episode yang terakhir, kunci kendaraan saya serahkan, laptop, handphone dan sehelai cek saya terima. Kami bersalaman dan berpisah lalu memanggil taxi ke rumah.
Keesokan hari, pakBon bertanya tidak melihat mobil untuk dicuci. Saya bilang sudah dikembalikan ke kantor. Barulah pecah "gonjang ganjing" di rumah kami. Orang rumah melihat saya seperti Mr Bean baru jatuh dari lampu sorot. Menjadi pemandangan ganjil. Yang lebih hebat lagi orang tua dan mertua yang menangis sesenggukan. Kata PHK (pemutusan Hubungan Kerja), seperti vonis mati bagi mereka.
Percuma saja saya bilang PHK jangan selalu dianggap kekalahan, anggap satu ujian menuju perbaikan. Kadang saya ngedumel gara-gara sebuah hasil penelitian mengenai suku Jawa "orang Jawa, kalau berbisnis harus untung terus. Buka warung laba harus ditangan. Kalau rugi, menjadi aib dan penyakit lepra yang harus dijauhi keluarga. Kalau bekerja harus sampai pensiun jangan pindah perusahaan."
Penyakit yang harus dihindari saat menerima pesangon PHK adalah ajakan mendepositkan uang agar uang bekerja untuk anda, ikutan Agri Bisnis dan segala macam yang saya sudah pelajari dari teman-teman yang pernah di PHK, bingung mau lari kemana, lalu uang dititipkan pada sebangsa QSAR atau Agribisnis lain, buntutnya jeblok. Jelas jelas flu burung sedang merebak bulan itu, seorang teman menilpun berkali-kali bahwa produksi telur ayamnya kewalahan menerima order sehingga perlu modal segar untuk melayani konsumen.
Sebelum saya terpengaruh ajakan dengan iming-iming indah dan mudah, langsung tanah di Pondok Gede dirundingkan untuk dibangun. Pemilik toko material sampai kaget ketika belum-belum kami sudah menaruh uang, saat pembangun rumah belum dimulai. Padahal baru kenal.
Olah Raga Jalan Kaki malahan dibilang nelangsa.
Olah raga saya adalah berjalan kaki dan ini sudah puluhan tahun dikerjakan, namun menjadi lain kita di PHK sebab mengundang interpretasi. Pikiran boleh kisruh, namun tubuh perlu sehat sehingga fitnes harus digenjot, tetapi lagi-lagi keluarga dan tetangga melihatnya sebagai iba "sudah PHK, mobil diambil, sekarang jalan kaki lagi" - belum lagi ada yang langsung menyukurkan atau menarik dalil bak seorang wali sakti "kurang taqwa dan kurang sedekah.."
Memang semasa masih aktif di perusahaan lama saya selalu disediakan mobil perusahaan sehingga tidak memikirkan memiliki mobil sendiri. Alasan lain mobil yang “nongkrong” di garasi sering menerbitkan liur untuk dipinjam arisan, antar anak sekolah kadang sampai berbulan-bulan. Sementara biaya perawatan keluar terus dan apesnya saat kendaraan dikembalikan sudah dalam keadaan penyok kecil atau cat tergores.
Kalau sudah demikian, maka terasa bahwa pasangan hidup adalah supporter yang membuat mental tetap terjaga. Saya bilang kepada mereka bahwa sedang dalam proses pembuatan kontrak dari Australia dan menunggu instruksi selanjutnya untuk mengurus visa.
Bersambung..
Comments