Artikel #926 Kekuatan Doa atau Doit

Usai meletakkan barang kabin di rak atas, saya langsung menuju tempat duduk saya yang mengambil tempat di dekat jendela pesawat Value Air. Seseorang sudah duduk terlebih dahulu dalam barisan bangku saya profilnya mengingatkan saya akan seseorang selebritis. Sepintas mirip dengan potongan pemilik Jamu Jago yang sering memberikan ceramah, hanya teman saya duduk ini potongannya lebih kekar dan tinggi.

Lantaran "miripan Jaya Suprana" ini duduk dipinggir gang, maka tentu saja saya harus permisi untuk lewat didepannya. Saya lirik ia mengenakan baju putih lengan panjang dengan celana gelap dilengkapi suspender dengan rambut tumbuh pendek seperti orang habis di gunduli.

Matanya yang sipit tertutup dan bibirnya komat-kamit. Lalu saya tunggu ia selesai berdoa, pikir punya pikir seberapa lama sih orang berdoa, sekalipun penumpang dan di belakang saya sudah mulai mendorong tak sabar untuk mencari tempat duduk mereka masing-masing. Karena terlalu lama menunggu selsai berdoa, akhirnya bahunya saya tepuk sampai ia "badar" alias membubarkan meditasinya lalu berdiri memberikan ruang kepada saya untuk lewat saat itu baru terlihat ditangan kirinya memutar buah tasbih.

Walau beda "stir" rasanya adem ayem bepergian menggunakan Value Air Singapura - Jakarta bersebelahan dengan orang-orang yang selalu menyebut nama Tuhan. Sekalipun pemberitaan media masa belakangan ini mengenai keterlibatan tokoh kunci agama dengan kematian artis muda membuat saya menerbitkan liur prasangka jangan-jangan pengedar psikotropika pula.

Nampaknya bapak ini rada terganggu (atau tidak mau mengganggu saya dengan aktivitasnya) sebentar saja ia lepaskan pengikat pinggang lalu beranjak dari duduknya dan pindah ke bangku belakang bersamaan dengan barang tentengan sekilas mirip minuman dibeli di toko "bebas pajak".

Pengamatan saya mulai "on" kembali kepada bapak ini saat pesawat mendarat di Sukarno Hatta, seorang wanita sekita 35-an berpostur tegak, cantik, kulit cerah, potongan rambut pendek, berhak tinggi sudah menungguinya di pintu kedatangan bersama pengemudi yang juga berambut cepak dan seragam gelapnya mirip pengawal presiden kalau berpakaian sipil. Yang saya tahu gaya penyambutan ini biasanya diperlihatkan oleh pejabat kelas tertentu kalau dijemput stafnya. Sekalipun saya tahu, ia bukan pejabat.

Memasuki ruang pemeriksaan dokumen imigrasi, lagi-lagi bapak ini membuat kejutan dengan melalui jalur paling kanan khusus diplomatik sehingga passport tidak diperiksa sama sekali bahkan membuat wajah para petugas khusus diplomat tertawa lebar dan sumringah seperti baru tembus "4D" - ini doa para pejudi Singapura berharap tembus lotere empat digital.

Sementara menunggu kedatangan bagasi saya mencoba memutar tustel namun wajahnya selalu tertutup oleh orang yang berlalu lalang disekitarnya.

Memasuki pemeriksaan bea-cukai lagi-lagi bawaan pria ini lancar saja tanpa X-ray sama sekali. Padahal saya yang menguntit tepat dibelakangnya langsung distop oleh petugas douane yang hari itu seragam menggunakan rompi hitam bertuliskan CUSTOM berwarna kuning cerah. Alasannya saya membawa sosis.

Baru koper akan dibuka, dibelakang saya sudah berdiri seorang petugas dengan wajah mirip Jaksa Agung baru kita. Bawaan saya berupa Sosis yang tak seberapa jumlahnya (saya tak kuasa menolak permohonan keponakan) menurutnya sosis harus memasuki karantina sebelum masuk ke Indonesia.

Memang tidak ada drama yang terjadi, sosis sayapun lolos setelah diberi nasihat lain agar lain kali masuk karantina.

Lalu kepikiran mengapa beliau yang mirip encek-encek di Glodok begitu kuasanya di Bandara bertahap International. Apakah beliau tadi berdoa terus sampai mampu memperoleh pelayanan sekelas diplomatik atau pejabat, atau karena berdoit (duit) sehingga mampu membeli pelayanan kusus. Lebih bingung lagi, kalau ia berdoit, mengapa memilih ValueAir murah meriah seperti saya?. Kepikiran kalau sudah bertasbih siang malam maka orang menjadi pribadi yang taat kepada aturan agama, patuh kepada aturan negara. Kalau harus antri, jangan menggunakan kekuatan lain seperti kekuasaan atau uang untuk tidak antri agar tidak menginjak perasaan rakyat biasa yang sudah antri. Ternyata patuhnya masih setengah-setengah.

Mengapa hukum dan aturan selalu tebang pilih apa salahnya memeriksa dokumen didepan halayak lain agar wibawa instansi yang terkait tidak menjadi cemoohan orang di luar.

Comments

Anonymous said…
Artikelnya bagus sekali, coba ya dimuat di surat pembaca KOMPAS biar dibaca semua kalangan.

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

Menu Makanan Kantin di Rig Terapung