763- Anak anak bermainlah

Roberto SAPUTRO (kaga ada hubungannya) mungkin prihatin. Anak-anak
sekitarnya lebih suka bermain dengan Video-Game ketimbang bermain
secara fisik. Orang tua menyediakan ruang ber AC, layar plasma, segala
macam bentuk Video permainan asalkan anaknya tidak keluar rumah dan
berlarian dengan anak tetangga. Atau menyediakan ruangan untuk anak
bermain sepeda, tetapi dengan bibi atau siembak disampingnya sehingga
kalau bola menggelinding jauh, atau sepeda kurang cepat, maka yang
berkeringat adalah si mbak atau si bibi.

Selaksa alasan melindungi anak dari tangan kotor mirip acara Buser,
ada Phedofil, Robot Gedek berkeliaran sekitar kita sehingga republik
ini bak bermuatan orang sakit jiwa. Dulu waktu kecil saya di hantui,
culik yang mengambil mata anak-anak dibuat cendol. Atau kepala
anak-anak untuk sesaji jembatan. Atau wewe gombel membawa anak-anak ke
pohon besar. Yang para tetua lupa, anak-anak ditakuti begituan malahan
kepingin membuktikan betul tidak sih ada culik. Terus Wewe Gombel itu
seperti apa?

****

Lalu Brand Manager Rinso, mensponsori Universitas Chulalungkorn dari
negeri Siam untuk melakukan penelitian PQ alias Play and Physical
Quotient. Tingkat bermain anak akan menentukan pula kecerdasan
Kognitif (kreatif), Afektif (rasa senang), psikomotorik (aktivitas).
Dari sini ketahuan anak yang sehat dan matang otaknya.

Hasilnya... anak Indonesia memiliki nilai PQ rendah ketimbang
Thailand, Jepang dan Vietnam.

Umumnya anak Indo lebih suka belajar, nonton TV dan main Game dirumah.
Sementara kegiatan diluar rumah, cuma menduduki peringkat sepersepuluh
bagian. Bedamisalnya dengan anak-anak Siam, 69.2% bermain di luar
rumah, anak Nipong (55,3%) dan anak Vietnam (28,7%).

Indonesia menempati posisi juru kunci, diikuti oleh Vietnam kalau soal
tinggal di rumah.

Penelitian bulan Januari lalu yang diumumkan di Senayan akhir Juni
lalu menggugah Rani, psikolog mengajak orang tua mengubah paradigma
(waduh berat bahasanya) berfikir bahwa bermain itu tidak penting. Ibu
guru bapak guru akan jengkel kalau anak muridnya bermain
berkejar-kejaran saat istirahat. Alasannya mereka jadi basah
berkeringat, bau kecut dari ketiak, padahal ruang kelas ber AC.

Masalahnya para oang tua masih berasumsi, orang ber IQ tinggi,
bermodal kecerdasan akan mudah meraih hidup. Akibatnya, sarjana IPK
(indek prestasi kumulatip) tinggi banyak yang menganggur, sementara
IPK pas-pasan diterima dan bekerja di perusahaan besar. Pendapat ahli,
akibat IQ tinggi tapi PQ rendah.

Seperti kata kak Seto, bahwa bermain adalah Hak Azasi anak. Ia pernah
mencatat bahwa ada anak yang baru tahu bahwa makin keras bola
dibanting makin tinggi lambungnya.

Saya mencatat ada anak ber-IQ tinggi baru tahu bahwa main layangan
baru berhasil kalau melawan arah angin, api baru membara kalau yang
dibakar adalah rumput yang kering. Sebab selama ini mereka tahu hanya
lilin, korek, kertas koran yang bisa dibakar.

Monday, July 17, 2006
http://mimbar2006.blogspot.com

Comments

B-a-r-r-y said…
saya pribadi sangat setuju kalau anak-anak itu dibiarkan bermain diluar daripada bermain video games. banyak hal-hal kecil yang dapat dipelajari saat bermain yang nantinya diperlukan sewaktu besar nanti yang tidak akan pernah didapat dari hanya membaca "manual books"

salam kenal.

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

Menu Makanan Kantin di Rig Terapung