759- Vademekum
Harian terbesar di Indonesia, Kompas sekali tempo di pertengahan 80-an
paceklik berita reportase. Para reporter muda mereka belakangan ini
lebih piawai mengarang bahwa mereka tidak punya bahan karangan dengan
pelbagai alasan yang dikarang-karang.
Akhirnya sekitar tahun 1984, dibuat semacam pertapaan untuk tular ilmu
dari sang senior kepada para yuniornya selama dua bulan. Mereka
dididik dipuncak gunung yang suejuk, jauh dari kebisingan dengan cara
mengajar yang santai. Santai sebab peserta dilarang berbisik apalagi
berbicara. Dan yang aneh dilarang menulis.
Usai berlatih teori selama 2 bulan, saat turun gunung tiba, mereka
diberi tugas membuat reportase, sebagai pengejawantahan teori bahwa
menulis reportase diperlukan satu kata "Vitalitas." Selalu "on" siang
maupun malam, di kereta maupun di bajaj.
Menjelang 2 Mei, hari Pendidikan Nasional, empat peserta mendapat
tugas mewawancarai Prof Slamet Imam Santoso dari UI. Beliau dikenal
tokoh pendidik yang setiap berbicara selalu menyederhanakan kalimat
rumit menjadi sederhana. Tidak umbar kata "paradigma, momentum,
wacana, kontekstual, nuansa sehingga kita-kita (wartawan) yang "sok
pintar" karena mampu meruwetkan bahasa sederhana menjadi ruwet bisa
angsu-kawruh kepada beliau.
Hatta, begitu menyampaikan niat ingin bicara soal pendidikan, Profesor
tidak berkenan, bahkan membukakan pintunya untuk wartawanpun pun ia
tak mau. Kata-kata waktu itu "wartawan saban tahun ramai-ramai bicara
pendidikan, sudah itu lupa. Saya tak punya waktu dengan panas-panas
tai ayam.."
Saat mereka kembali ke padepokan, Kepala pendidikan tidak bisa
menerima karangan yang dinilainya mengarang tidak bisa menemui
nara-sumber. Mereka berempat kembali menemui Profesor dan hasilnya
"hampa tangan.."
Peserta akan dinyatakan gagal atau kembali menemui Profesor. Cuma kali
ini mereka melawan, katanya "bapak coba sendiri".
Kepala pendidikan, mengaku, rasanya ia ingin ambles bumi sebab tahu,
iapun tidak mampu melakukan hal yang sama. Duduk persoalannya profesor
UI ini memberikan "cangkriman" semacam quiz. Baru bisa buka pintu
kalau dijawab dengan tepat. Rupanya profesor bertanya dari dalam rumah
"buktikan mengapa dua orang Jawa lebih mahal daripada orang
Indonesia???"
Lalu sang kepala pendidikan berfikir, berhubungan profesor piawai
menyederhanakan sesuatu yang rumit, jangan bawa ke ilmu psikologi,
ilmu kejiwaan, ilmu moneter pakai cara sederhana yaitu "jawane". Lalu
dicari hubungan kata mahal dengan uang, Jawa dengan Blankon dan Peci
dengan Indonesia. Kalau bicara uang harus melihat dompet.
Dan dari dompet instruktur dikeluarkannya selembar demi selembar
sampai didapat sebuah uang lima ribuan...
Rasanya kepala saya menjadi sebesar lapangan bola ketika melihat
seseorang berpeci- pada lembar limaribuan. Teka-teki terkuak.
Bagaimana dengan yang sepuluh ribuan?. Masalahnya didompetnya dia
tidak memiliki uang tersebut, walau malu sempat ia bertanya kepada
yuniornya kalau ia memiliki uang sepuluh ribuan. Sekarang kepalanya
mendengarkan dentuman meriam sebab dari uang tersebut muncul gambar
manusia ber-blankon.
Tepat. Lima ribuan ada gambar tokoh berpeci, tetapi lembaran sepuluh
ribuan yang nilainya lebih gede malahan berblankon. Ada logika tidak
pas.
Akhirnya Profesor bersedia menerima mereka dan menceritakan bahwa
begitulah amburadulnya dunia pendidikan. Bagaimana mungkin merancang
uang dengan simbol negara tidak memperhatikan segi hirarki.
Sebetulnya Parakitri sang pelatih dan wartawan senior Kompas hendak
mengajarkan unsur Vitalitas dalam menulis reportasi. Tetap semangat,
tetap "ON" dalam menulis.
Kalau anda mau cerita lebih seru lagi. Cari(k) aja(h) di Vademekum
Wartawan Reportase Dasar. Daripada keburu saya resensi semua nggak
asyik lagi, sekalian beguru cara wartawan mencari, menyiapkan
beritanya. Hebatnya buku ini pernah tak tentu rimbanya selama
bertahun-tahun dan baru ditemukan kemudian.
Biar mudah, cari di PI-Mall dan jangan di PK-Mall sebab cuma tukang
sulap dari Banyuwangi- Froom Indonesia TIMOR, disana.
VADEMEKUM = buku pedoman.
Tuesday, July 11, 2006
http://mimbar2006.blogspot.com
Comments