760-Pak Ongkot van RawaBogo

Saya tidak tahu nama aselinya, tetapi pria kekar berusia 60-an ini dipanggil saja pak Ongkot. Pekerjaan sehari-harinya penggarap tanah-tanah terlantar sekitar rumah saya di komplek jalan Pendidikan - Pondok Gede. Dinamakan komplek Pendidikan karena tanah-tanah ini semula memang diperuntukkan bagi para guru, yang kemudian perlahan jatuh ke tangan pihak lain.

Saat kabut dan dingin masih merampok desa kami. Bunyi cangkulnya terdengar beradu dengan batu dan tanah seperti menyelingi suara serangga di kegelapan malam. Pak Ongkot dan beberapa penggarap tanah yang lain sudah memperdengarkan kehadirannya. Suara denting besi cukup keras lantaran kami cuma dipisahkan dengan sebuah jalan tanah liat selebar 6 meter. Tanah ini umumnya ditanami singkong dengan mengharapkan para pengepul datang dengan sepeda dan keranjang diboncengannya untuk membeli hasil kebunnya berupa pucuk singkong. Sementara umbinya biasanya dianggap hasil sampingan.

Sebetulnya pria ini kurang ramah. Mungkin pendengarannya terganggu, setiap saya menyapa "selamat pagi" dia jarang menjawab. Sekali tempo saya saya mencoba mendekatinya. Ia sedang berjongkok menebar pupuk berupa sekam dari peternakan ayam (potstal) dengan menanyakan soal pupuk untuk keperluan pot. Sebetulnya saya ingin menolongnya "memberikan lebihan" kata lain memberinya pekerjaan tambahan dengan harapan ia bisa mendapat tambahan uang. Dengan meminta jasanya membawakan pupuk sekam padi (potsal ) bagi saya. Ketimbang dia menunggu tanaman singkong yang harus ditunggu beberapa minggu sampai bertunas. Jawabannya memang cukup mengagetkan "jauh tempatnya kalau ambil pupuk, bapak ambil aja sendiri disono noh!..." -

Oh begono noh, roman-romannya kalau mencoba interaksi tapi salah alamat.

Setelah drama satu episode dengan pak Ongkot, saya tidak bernafsu mendekatinya. Apalagi beberapa penjual pupuk yang tajam instinknya datang sendiri ke rumah. Kadang menawarkan Adenium, Kaktus, Sirih Merah Kamboja Jepang dst. Boleh percaya atau tidak kadang mereka terheran melihat tanaman yang terlantar di ruang pamer mereka, menjadi nampak elit setelah kami rawat dengan penuh sayang.

****

Namun belakangan ini pak Ongkot tidak tampak mencangkul atau merumput tanamannya. Akibatnya rumput semakin tinggi dan biasanya ular berbisa sangat suka bersarang disana. Hari ini saja seekor ular sawah membuat tenda-tendaan ditempat saya menimbun pupuk. Ternyata beliau terkena terinfeksi tetanus lantaran terinjak beling saat merumput. Namun yang membuatnya geram, saat dia dirawat panen tanaman diambil alih oleh pihak lain sehingga pak Ongkot cuma gigit bibir. Memang sering saya lihat ibu-ibu dengan senyum gembira memetik pucuk singkong, bahkan pernah sekali tempo diajak tetangga untuk mencabut singkong di kebunnya sehingga saya keprucut, tiba-tiba lepas komentar "enak sekali ya, tidak tanam tapi ikut panen.."

Pendidikan budi pekerti bahwa mencuri milik orang lain, seperti lepas diingatan mereka. Ada saja pembenaran buat "ngeles" dengan alasan toh cuma buat "nyayur sehari" - toh cuma iseng pingin ijo-ijo. Tapi keringat pak Ongkot bahkan nyawanya hampir terbang untuk menangkar
tanamannya tak dihiraukannya.

Sebetulnya, hati ini ingin "nembung" alias mengajukan diri untuk kepada pak Ongkot untuk menggarap tanah yang diterlantarkannya. Pasalnya rumputnya sudah tinggi. Saya bisa memanfaatkan pegawai saya yang nganggur di Citayam untuk mengolah tanah seukuran 30x20m. Biarlah berapa rata-rata penghasilannya saya ganti rugi tiap bulan. Namun masih ragu dengan sikapnya yang terkesan galak.

Pagi tadi saya memasuki kebun pak Ongkot, ketika lima ekor lebah tanah terganggu kehadiranku segera lepas landas menyerang. Saya kaget tapi menikmati sengatannya, toh cuma sakit sesaat. Malamnya baru saya merasa demam, dan paginya kepala migren sebelah lantaran seperti baru sembuh flu tulang. Belum menggarap tanahnya sudah terlindas masalah.

Tuesday, July 11, 2006
http://mimbar2006.blogspot.com

Comments

Anonymous said…
Soal 'Siapa tidak menanam, mengetam' ini juga saya alami sendiri. Dipinggir jalan rumah saya, saya menanam pohon nangka dari bijinya. Alhamdulillah, pohon tumbuh dengan subur, berbuah bahkan lebih besar2 dari buah asalnya dulu. Dan dagingnya tebal, manis dan sedikit 'dami'nya. Tetapi yaitu tadi, akhirnya buat bancakan orang2 penganut etika diatas tadi. Dan yang lebih memprihatinkan, tadinya mereka memanen nangka yang sudah hampir matang saja. Tetapi lama-kelamaan mereka memanen yang lebih muda
lagi, dan bahkan yang masih imut2 sebesar ibujari pun mereka embat.
Rupanya diantara para pemanen -yang tak pernah menanam dan merawat itu, juga saling mendahului, takut keduluan yang lainnya. Kami serumah memang
tidak pernah memergoki para pemanen tersebut, tetapi menurut tetangga yang pernah menegur mereka, mereka beralasan buat nyayur ini, buat lalap ini dsb. Dan merekapun menjawab dengan tanpa ada rasa bersalah atau malu
dsb. Saya sendiri sih, awalnya mem-bagi2kan buahnya yang memang manis dan tebal dagingnya itu, sebab yang suka nangka suma saya sendiri. Jadi kalau panen yang saya makan seperempat saja sudah turah2. Sebenarnya kalau ada yang baik2 meminta pasti saya berikan, asal mau menunggu sampai buahnya matang. Tetapi yaitu tadi, mereka sudah tak sabaran dan merasa lebih berhak memanen dari saya. Youwis, saya Cuma kasihan sama pohonnya yang baik hati itu.
Nur Widodo
Jl. Teratai Raya F1/13
Larangan Indah, Ciledug 15154

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

Menu Makanan Kantin di Rig Terapung