883- Polisi Marak Main Tembak?
Suatu pagi di Sukabumi tahun 1957, saya berusia 4 tahun. Ibu nampak sudah berkemas tidak seperti biasanya. Rambut saya yang berjambul hitam lebat (belum botak), disisiri sampai membentuk jambul tinggi. Agar lebih kokoh bergeming diterpa angin, rambut saya diolesi pomid (pomade), parfum para pria dulu yang dikemas dalam kaleng lonjong, bertuliskan Pomade dengan aroma Lavender.
Bergegas kami menuju Balai Pertemuan Prajurit di Sukabumi. Hari itu, ayah baru menyelesaikan masa pendidikan lanjutan kepolisiannya di SPN (Sekolah Polisi Negara). Rupanya saat yang dinantikan adalah pembacaan
Kalau seorang suami medapat penugasan di Jawa, wajah yang diberi tugas nampak sumringah seperti kucing menelan anak ayam. Mereka bersalaman satu sama lain.
Tiba giliran kami ditempatkan di Kertapati
Saya bocah 4 tahun masih belum "dong" apa yang terjadi. Hanya bingung sebab pernah membaca buku janji yang terdapat dihalaman pertama buku kepolisian ayah, "Polisi bersedia ditempatkan dimana saja.."
Lalu ayah membesarkan hati ibu. Apalagi ayah cuma mengatakan "sekedar operasi militer memberantas PRRI dan beberapa cecunguk yang ingin mendirikan negara berdasarkan agama.."
Dan yang tidak beliau sadari tindakannya adalah pembelajaran bagi saya untuk tidak pernah menolak tugas kemanapun, kapanpun jua.
Kakek saya seorang mantan KNIL pernah mendongeng. Dulu mau jadi polisi, gampang sekali cukup dilihat postur tubuh, mata yang kalau bisa melotot dan angka plus kalau bola mata kemerahan, lalu jarak bola mata yang makin lebar makin bagus. Padahal katuranggan ini dipakai polisi untuk sepintas mengenali seseorang berbakat jadi penjahat. Singkatnya memang ada beda tipis antara hamba-wet dengan preman. Kakek di rekrut di kawasan Purworedjo - Jawa Tengah yang memang dulu adalah pusat militer. Dan kepolisian dulu berada di bawah payung Departemen Dalam Negri.
Sejalan dengan waktu, ada berita miring bahwa untuk menjadi pengemban TriBrata, doktrin polisi, calon hanya ditanya perkalian sederhana. Misalnya 20x20 atau syukur 200x100, yang konon menunjukkan luasnya sawah milik orang tua mereka yang dijual untuk menjadi polisi. Bukan rahasia pula, akhirnya para orang tua melepaskan harta benda satu-satunya "agar anak jadi orang." - sehingga bukan tidak mungkin seorang calon yang hasil ujiannya meyakinkan, bisa dikalahkan oleh calon yang nilai test nya delapan tertawa (3).
Usaha perbaikan membereskan bagian bobrok bukannya tidak ada, namun akhirnya daya tahan yang sehat sering kalah dengan yang bernanah. Belum lagi beban polisi sekarang bertambah sebab mengambil alih beban yang dulu dipegang oleh satuan TNI seperti Kopassus, dan satuan pemukul lainnya, padahal imbalan gaji yang secara teori hanya cukup makan nasi dan
Karena polisi juga manusia, ada diantara mereka yang pemberang. Misalnya saat piket yang menggantinya datang terlambat, mereka dengan mudah menembak ke udara.
Bahkan beberapa diantaranya yang saya kenal mengahiri hidup diujung pelatuk AK47 atau Colt 38 ke keningnya. Bedanya kalau dulu kejadian demikian hanya menjadi konsumsi anak tangsi atau berupa foto-foto hitam putih. Yang kadang bikin semriwing, beberapa barang bukti sering teronggok dirumah dibawa oleh ayah sebagai analisa dan barang bukti.
Dalam apel pagi kadang saya lihat polisi yang "nakal" ditempelengi sampai kadang semaput oleh komandannya. Namun mereka merasa itu adalah bagian tugas dan resiko. Kalau sampai ada ketidak puasan, mengapa hanya menghadap Wakil Komandan? Mengapa tidak langsung?. Atau adakah kesumat yang terpendam dalam diantara mereka.
Pertanyaannya mengenai maraknya kasus tembak menembak dikalangan polisi, belakangan ini? Rasanya tidak. Hanya sekarang media sangat agresive dengan berita sehingga nyaris tidak ada yang lolos mata elang mereka.
Mimbar Bambang Saputro
Comments