Putti dan Tatto-nya
Sebut saja namanya Puti(h), kulit pemuda PNG berbeda jauh dari terbilang putih. Ditawar sawomatangpun, harga pokoknya - belum dapat.
(Bahasa Citayam kalau tawar menawar.)
Saya bilang di Indonesia nama seperti kamu akan jadi Gubernur. Padahal saya hanya mengutip obrolan Nuim Hayat, saat gencarnya penyerangan terhadap salah seorang Gubernur asal KNPI kita. Pemuda tegap ini cuma ngekek, dan dari ujung dahi kiri ke dahi kanan tergambar sebuah tato yang kalau saya lihat seperti anak-anak sedang berlari kesetanan dimalam hari lalu pas dahinya tersangkut kawat berduri.
Menjelang akil balig, nenek memanggilnya kesuatu ruangan. Dilihatnya sebuah botol bir dan ada kuali terjerang dengan bubuk sagu sedang di sangrai sampai menjadi arang. Bir ini lalu dipecahkan, dan beling yang tajam yang halus diambil dilekatkan pada setangkai bambu bak tangkai pena.
Mulailah si-Putih, dimantrai oleh neneknya sambil melukiskan tato kawat berduri didahinya. Saat darah mengalir nenek mengusapkan jelaga sagu kedahinya dengan harapan kalau luka ini sembuh maka jelaga tadi meninggalkan warna kebiruan seumur hidup. Setelah prosesi tato ini selesai, sang nenek mengambil remasan bunga kembang sepatu untuk diborehkan keluka sang cucu. Demikian dikerjakan setiap hari sampai luka tersebut sembuh dan menjelmalah Putih seorang pemuda berkulit gelap asal dari Manus. Ini nama daerah kelahirannya. Kelak kemanapun ia pergi, orang sudah maklum dari suku mana ia berasal sebab dari tato di wajah dapat dikenali asal muasal suku tersebut.
Puti(h) tidak bisa menjelaskan makna tatoo, kecuali sebagai stempel hidup dari sukunya.
Prosesi selanjutnya, ia harus kehutan. Menjadi seorang pemburu dan pemberani. Tinggal digubuk yang harus dibangun sendiri, hanya boleh makan, makanan yang dibakar seperti keladi hutan, pisang bakar. Lalu belajar menangkap binatang buruan. Dan mengatasi rasa takut akan Wewe Gombel, Kuntilanak, segala jin merakayangan. Kalau ini sudah lulus, maka akan datang para Sorcerer dari kampungnya, acara selanjutnya adalah penobatan menjadi "warior" dengan ..... disunat...pakai pecahan botol.
Saya mengkirik mendengar ceritanya
Lalu saya tanya dengan bego dan sukses... "sakit nggak disunat tanpa bius..."
Dia menjawab "tidak sama sekali...."
Kok nyimut ada kulit paling peka diiris tanpa bius tanpa sakit. Saya masih ingat 14 Nopember 1966, usia 13 tahun, duduk di SMP kelas 2, saat uang rupiah lama diganti menjadi uang rupiah baru 1 ribu lama menjadi 1 rupiah baru, aku diudet-udet dokter muda Letnan Suparno sampai bius sudah sirna, potongan jangat masih belum lepas. Sakitnya jangan ditanya.
Soalnya aku bisa menepis adat tersebut, karena salah satu orang tuaku (ibunya) tidak mengenal tradisi tersebut...cukup dengan disunat di kening," tukasnya.
Lalu bagaimana kamu akan kawin, kalau berani meninggalkan tradisi yang sudah diberlakukan ribuan tahun. Aturan mainnya, barang siapa sudah besar belum disunat beling, maka dia masih dianggap manusia bodong.
"Saya kawin dengan perempuan suku lain," katanya terkekeh keras sampai rambut keriting kecilnya sepertinya ikut terguncang...
Comments