Menonton sisa peperangan antar suku di PNG
Berhubung topografi PNG yang terjal dan bergunung kapur. Maka alat transportasi yang paling efektip adalah dengan menggunakan "coper." Airstrip yang terdekat dapat dilandasi oleh pesawat baling-baling jenis DASH-8 adalah lapangan terbang MORO di kawasan KUTUBU. Dari sini, Oil Search Ltd (OSL) mendirikan basecamp yang berjarak 30 menit menggunakan coaster. Melihat tingginya pepohonan ingatan saya kembali pantai Sanur Bali tahun 1865-an ketika para Marsose Belanda mendarat disana. Dengan memakai topi hutan berbaju hijau mereka berfoto dibawah pepohonan yang menjulang tinggi. Dan foto itu yang saya ingat.
Karena lama nian tak berkunjung kedaerah ini (terakhir 1992) maka saya harus menemui Jim perwakilan BakerHughes di Ridge BaseCamp untuk diambil foto dan dibuatkan semacam kartu pengenal. Sekalian diberi briefing yang mereka sebut sebagai safety induction. Acara diselesaikan dengan makan siang di kantin. Saya hanya mnyeruput es lemon tea dan sepotong ayam bakar.
Lalu Jim mengajak nyengklak ke mobil memutari kawasan Industri Kutubu, dia mengatakan bahwa kalau bepergian sebaiknya menggunakan lengan panjang sebagai sarana keselamatan. Jim benar karena saya pakai kaos Hang Ten lengan pendek pemberian anak saya. Tetapi yang mengganggu saya, Jim mengendarai mobil Toyota double gardan dengan tangan kanannya sementara yang kiri menggembol setermos kopi merchandise dari "Star & Buck." - Ah dimana-mana menyuruh orang safety lebih mudah daripada mengatur diri sendiri.
Setelah mengucapkan terimakasih lalu saya menunggu coaster kembali ke AirStrip. Seperti sebelum berangkat, penumpang mengisi nama dan perusahaan yang kelak diberikan kepada penjaga di gerbang masuk. Saya melihat seorang bertopi ala cowboy, berjenggot dan selalu menyertai kendaraan. Orangnya pendiam. Rupanya dia polisi PNG yang berpakaian preman.
Tiba dari Ridge Camp ke Airstrip Moro Jam menunjukkan sekitar 16:00 PNG atau sekitar jam 13 WIB, namun mendung mulai memayungi lapangan terbang Moro. Lalu saya dekati seseorang dengan jaket bertuliskan Load Master, inilah "timer-pesawat." Lantas saya bilang Wantok artinya satu bahasa (one talk), I want fly to the Rig. Dia melihat kearah saya. Badannya setinggi saya, tetapi kulitnya gelap, rambut ikal dengan jenggot ala "Kelly Kwalik" - lalu mengeluarkan formulir dan saya mengisi nama serta tujuan.
Hanya 10 menit Bell milik perusahaan "Heli Niugini" warna merah berpenumpang 3 orang datang. Jadi ingat saya crew change di lapangan minyak ARCO. Pilot menyoba p.a melalui headset yang terpasang, lalu dia menyebutkan cara penyelamatan diri, sudah sering naik heli atau tidak, bekerja dimana, perusahaanmu bayar gaji bagus apa tidak dan akhirnya mengatakan bahwa perjalanan memakan waktu sekitar 5 sampai 7 menit ke lokasi.
Saat terbang diantara pegunungan dengan ketinggian sekitar 2000 meter diatas permukaan laut (kurang dikit)dan puncak pepohonan yang selalu diselimuti kabut, mengagumi hutan PNG dengan belitan lumut bak ular hijau bergelung dipucuk dan ranting pohon semacam palem yang tingginya sekitar 30 meter. Kadang-kadang capung besar ini terbang merendah sehingga sungai-sungai dengan air jernih nampak jelas dari udara. Lalu melayang diantara lembah dan jurang batu kapur, tiba-tiba pilot heli Bell yang membawa kami dari Terminal Strip MORO (ini di Papua NiuGini), menukik sambil berbelok membuat sasya merasa "mak-wir" geragapan cari pegangan seakan sabuk pengaman yang melintang didada dan perut belum cukup kuat untuk dipercayai menahan badan. Pesawat makin merendah sampai pandangan mata cukup untuk melihat sesuatu di bawah sana.
Rupanya John, sang pilot Australia hendak memperlihatkan sebuah desa yang luluh lantak terbakar habis. Ada sekitar 20-an rumah yang tinggal puing dan tidak ada tanda kehidupan disana. Spekulasi kemungkinan gerombolan atau perang suku beredar.
Suku highlander yang mendiami dataran tinggi yang terkenal disini adalah suku Huli, mereka badannya kekar dan posturnya lebih tinggi. Tak salah kalau mereka bahwa mereka merasa sebagai suku terpilih menjadi "warrior" diantara puak lainnya. Orang rig suka menggunakan suku ini karena penurut dan tenaganya bisa diandalkan. Paling-paling cuma boros BBM. Lantaran mampu makan 4 kali sehari dengan jumlah yang sama banyaknya.
Namun, terkadang datang suku lain berasal dari dataran lebih rendah, misalnya Samberagi. Karena bentang alam relatif datar, badan mereka tidak sekokoh suku Huli. Mereka sangat ahli bicara, jago strategi. Kalau terjadi pemogokan menuntut naik gaji, bisa dipastikan ada LSM" dari suku Samberagi terlibat.
Kedua suku inilah yang sering berperang satu sama lain. Kemungkinan kampung yang terbakar tadi adalah milik Samberigi yang dibumi hanguskan oleh kelompok Huli. Biasanya kalau sudah membunuh lawannya, suku Huli akan mengambil rambut lawan dan dibuat wig, tujuannya agar kedigdayaan lawan menular kepadanya, selain arwah sang terbunuh tidak merasa penasaran di alam baka. Maka kaum misionaris sebelum menundukkan bangsa ini sering menyebu sebagai "The Wigman"
Tapi niat saya untuk bertanya saya urungkan lantaran kabut tebal menyergap Heli. Hati saya mak-tratap alah mak bagaimana kalau radar ini tiba-tiba bertingkah seperti pak Adam (Adam Air) tempo hari. jangan-jangan saya nyasar di kepulauan Manos, dimana banyak lukusan Geologi terbaik dilahirkan dari sini.
Karena lama nian tak berkunjung kedaerah ini (terakhir 1992) maka saya harus menemui Jim perwakilan BakerHughes di Ridge BaseCamp untuk diambil foto dan dibuatkan semacam kartu pengenal. Sekalian diberi briefing yang mereka sebut sebagai safety induction. Acara diselesaikan dengan makan siang di kantin. Saya hanya mnyeruput es lemon tea dan sepotong ayam bakar.
Lalu Jim mengajak nyengklak ke mobil memutari kawasan Industri Kutubu, dia mengatakan bahwa kalau bepergian sebaiknya menggunakan lengan panjang sebagai sarana keselamatan. Jim benar karena saya pakai kaos Hang Ten lengan pendek pemberian anak saya. Tetapi yang mengganggu saya, Jim mengendarai mobil Toyota double gardan dengan tangan kanannya sementara yang kiri menggembol setermos kopi merchandise dari "Star & Buck." - Ah dimana-mana menyuruh orang safety lebih mudah daripada mengatur diri sendiri.
Setelah mengucapkan terimakasih lalu saya menunggu coaster kembali ke AirStrip. Seperti sebelum berangkat, penumpang mengisi nama dan perusahaan yang kelak diberikan kepada penjaga di gerbang masuk. Saya melihat seorang bertopi ala cowboy, berjenggot dan selalu menyertai kendaraan. Orangnya pendiam. Rupanya dia polisi PNG yang berpakaian preman.
Tiba dari Ridge Camp ke Airstrip Moro Jam menunjukkan sekitar 16:00 PNG atau sekitar jam 13 WIB, namun mendung mulai memayungi lapangan terbang Moro. Lalu saya dekati seseorang dengan jaket bertuliskan Load Master, inilah "timer-pesawat." Lantas saya bilang Wantok artinya satu bahasa (one talk), I want fly to the Rig. Dia melihat kearah saya. Badannya setinggi saya, tetapi kulitnya gelap, rambut ikal dengan jenggot ala "Kelly Kwalik" - lalu mengeluarkan formulir dan saya mengisi nama serta tujuan.
Hanya 10 menit Bell milik perusahaan "Heli Niugini" warna merah berpenumpang 3 orang datang. Jadi ingat saya crew change di lapangan minyak ARCO. Pilot menyoba p.a melalui headset yang terpasang, lalu dia menyebutkan cara penyelamatan diri, sudah sering naik heli atau tidak, bekerja dimana, perusahaanmu bayar gaji bagus apa tidak dan akhirnya mengatakan bahwa perjalanan memakan waktu sekitar 5 sampai 7 menit ke lokasi.
Saat terbang diantara pegunungan dengan ketinggian sekitar 2000 meter diatas permukaan laut (kurang dikit)dan puncak pepohonan yang selalu diselimuti kabut, mengagumi hutan PNG dengan belitan lumut bak ular hijau bergelung dipucuk dan ranting pohon semacam palem yang tingginya sekitar 30 meter. Kadang-kadang capung besar ini terbang merendah sehingga sungai-sungai dengan air jernih nampak jelas dari udara. Lalu melayang diantara lembah dan jurang batu kapur, tiba-tiba pilot heli Bell yang membawa kami dari Terminal Strip MORO (ini di Papua NiuGini), menukik sambil berbelok membuat sasya merasa "mak-wir" geragapan cari pegangan seakan sabuk pengaman yang melintang didada dan perut belum cukup kuat untuk dipercayai menahan badan. Pesawat makin merendah sampai pandangan mata cukup untuk melihat sesuatu di bawah sana.
Rupanya John, sang pilot Australia hendak memperlihatkan sebuah desa yang luluh lantak terbakar habis. Ada sekitar 20-an rumah yang tinggal puing dan tidak ada tanda kehidupan disana. Spekulasi kemungkinan gerombolan atau perang suku beredar.
Suku highlander yang mendiami dataran tinggi yang terkenal disini adalah suku Huli, mereka badannya kekar dan posturnya lebih tinggi. Tak salah kalau mereka bahwa mereka merasa sebagai suku terpilih menjadi "warrior" diantara puak lainnya. Orang rig suka menggunakan suku ini karena penurut dan tenaganya bisa diandalkan. Paling-paling cuma boros BBM. Lantaran mampu makan 4 kali sehari dengan jumlah yang sama banyaknya.
Namun, terkadang datang suku lain berasal dari dataran lebih rendah, misalnya Samberagi. Karena bentang alam relatif datar, badan mereka tidak sekokoh suku Huli. Mereka sangat ahli bicara, jago strategi. Kalau terjadi pemogokan menuntut naik gaji, bisa dipastikan ada LSM" dari suku Samberagi terlibat.
Kedua suku inilah yang sering berperang satu sama lain. Kemungkinan kampung yang terbakar tadi adalah milik Samberigi yang dibumi hanguskan oleh kelompok Huli. Biasanya kalau sudah membunuh lawannya, suku Huli akan mengambil rambut lawan dan dibuat wig, tujuannya agar kedigdayaan lawan menular kepadanya, selain arwah sang terbunuh tidak merasa penasaran di alam baka. Maka kaum misionaris sebelum menundukkan bangsa ini sering menyebu sebagai "The Wigman"
Tapi niat saya untuk bertanya saya urungkan lantaran kabut tebal menyergap Heli. Hati saya mak-tratap alah mak bagaimana kalau radar ini tiba-tiba bertingkah seperti pak Adam (Adam Air) tempo hari. jangan-jangan saya nyasar di kepulauan Manos, dimana banyak lukusan Geologi terbaik dilahirkan dari sini.
Comments