Mudlogging, bukan bisnis komputer
Hujan masih menyirami bumi serambi Lhok Sukun Aceh, lokasi sebuah Rig Pengeboran Mobil Oil mencari Gas Alam. Diantara deretan bangunan yang disebut "Porta-Camp" nampak sebuah Data-Unit atau mudlogging. Beberapa awak terlibat percakapan seru dengan para pembantu lokal mengenai alih teknologi.
Lalu seorang senior Mudlogger itu meletakkan tangannya kedinding camp, matanya menatap lawan bicara sambil kepalanya bergerak seakan memberi perintah "pukul tanganku ." Keruan sang pembantu nampak segan, namun sang Senior tetap bersikeras agar pembantu melontarkan tinju sekuat tulangnya. Karena dipaksa dan didesak terus menerus, maka sang lokal mulai membidik sasaran. Siut Zwiing ... Pukulan terlontar dengan tenaga penuh. Namun beberapa milimeter tinju hampir mendarat, sang senior buru-buru menarik tangannya sehingga terdengar derak buku tangan beradu dengan dinding baja, diiringi seringai kesakitan sang lokal sambil menggoyangkan tinju yang kini nampak memerah bengkak. Peristiwa sekitar 1975-an berawal dari keinginan Lokal, sebut saja demikian mengutarakan keinginannya segera mengganti posisi mudlogger dari Jakarta. "Cuma intip batu kami anak desa juga bisa..."
Sang senior ingin menjelaskan dengan contoh bahwa sesuatu yang sepintas nampak sepele, bukan berarti bisa disepelekan. Pekerjaan orang lain selalu nampak mudah dipelupuk mata kalau belum disentuh tangan.
PEKERJAAN SEMI TUKANG ?
Demikian kesan yang tertangkap ketika seseorang memasuki wilayah kerja sebuah rig pengeboran entah di laut maupun darat, lalu mampir "numpang-ngadem" kedalam data-unit atau mudlogging yang berupa bangunan mirip container-rombakan ala "direksi kit" plus beberapa buah komputer menyala disana-sini. Apalagi tatkala mereka melihat petugas yang mengawaki peralatan tersebut ada yang nampak santai, baca "one hand magazine", bahkan ada yang ketahuan sedang bermain game, atau membaca internet.
Seorang company-man bahkan berujar, "kalau sehari sewa data unit sekitar 1000 US, saya bisa impas dengan mengeluarkan uang sekitar 5000 dollar untuk membeli peralatan komputer". Maka "yen pangsiun mbesuk" dia berniat bikin usaha unit-data atau mudlogging. Saya jadi kepikiran apa beliau kira ini usaha ketik skripsi, cukup modal komputer berkecepatan tinggi dan awak pandai mengetik, semua urusan beres. Semoga cita-citanya tercapai setelah ia pensiun, menambah lapangan pekerjaan. Mudah-mudahan sebelum dia di Bezuk orang.
Tamu lain bahkan langsung bilang, 12 jam yang ia butuhkan langsung mampu mengoperasikan peralatan ini. Mereka tidak percaya bahwa cerita anak magang lulusan universitas Tov-Tov banget di Indonesia, yang setahun lebih dilatih, masih belum mampu dilepas bekerja tanpa pengawasan. Dia dikeluarkan dari perusahaan dan kalau ketemu sekarang, pangkatnya sudah bertitel Deputy anu.... sementara saya masih Deputy
(under) Dog.
Tak heran kalau banyak yang bosan karena bekerja selama 12 jam hanya melihat batuan yang itu-itu saja. Padahal dalam ilmu persilatanpun, siswa yang jadi Pendekar bisa berkelebat naik wuwungan, menekuk lengan lawan ala Steven Seagel, semula belajar memukul dan menendang yang itu-itu saja sampai terbentuk reflek atau sifat alami yang kedua. Kalau masih "gundul plontos" langsung disuruh menentukan pemasangan titik selubung (casing), merekomendasikan berat lumpur yang harus dipakai agar sumur tidak meledak, atau menyetop pemboran lantaran kawasan minyak sudah dilewati, memerlukan jam terbang yang tinggi. Sayangnya, kita keburu kerasukan "mie instant" - budaya "tinggal eleb" sehingga kurang sabar menekuni pekerjaan yang monoton.
SAMPLE CATCHER
Di pengeboran darat, ada semacam kebijakan untuk memanfaatkan penduduk lokal menjadi semacam pesuruh yang dipanggil dengan kata keren "sample-catcher". Tujuannya mengajak keikutsertaan masyarakat menikmati nikmatnya kegiatan pemboran. Beberapa diantaranya memang bisa menunjukkan kinerja yang baik. Namun tidak jarang saya mendengar bisik-bisik "masak bekerja begitu saja perlu tukang insinyur dari Jakarta, cuma ambil tanah, disaring, dikeringkan, dipak, dikirim."
Kalau sudah 9 dari tamu mengatakan bahwa mudlogger adalah pekerjaan "Manusia Bodoh" - maka tidak heran dalam rapat lelang para negosiator kerapkali menekan harga agar masuk akal menurut pertimbangannya, sekalipun mencekik leher menurut pertimbangan para mudloggerwan. Di beberapa tempat malahan tercetus, kalau dihitung depresiasi maka sewa mudlogging unit harusnya 100 US (bukan US 1000) paling untuk bayar gaji pegawai yang terbilang kecil dilingkup perminyakan.
BANYAK YANG TERTARIK LUARNYA
Apalagi melihat kenyataan bahwa banyak manager mudlogging yang teriak, pasaran sepi, rugi, sehingga susah menaikkan gaji pegawai kenyataannya bergolf-ria "hole to hole" keluar kota naik Garuda Istimewa pada hari minggu, ganti kendaraan berkelas minimal BMW tiap berganti kalender, ber-pena Maung Blecky,dan atribut asesori papan atas. Sementara pegawainya tetap "bus to bus" atau bahasa mas Cahyono dari ESI "Lempar Lembing" di Bus Kota dan KRL.
Tahun 1987-an, muncul sebuah mudlogging kelas ruko atau rukan. Namanya saya samarkan ROSALINDA. Dengan mengibarkan slogan "kami nasional, tapi kami lebih baik, mampu bersaing, asal diberi kesempatan..." - begitu pekerjaan diberikan dan alat dipasang, baru ketahuan bahwa yang kelihatan tidak susah ternyata tidak dapat dibuat lebih mudah. banyak komponen tidak berfungsi setibanya di tanah air. Padahal pemboran sudah berjalan.
Dengan modal KKN, perusahaan kami dihubungi untuk memberikan bantuan kepada pesaing. Mata para pemain baru sekarang terbelalak bahwa perusahaan mudlogging dasarnya "menciptakan" peralatan secara khusus, tidak menjual suku cadang dipasar. Ada perusahaan yang masih menggunakan peralatan yang sudah tidak ada suku cadangnya, namun kebijakan ini harus didukung oleh bagian riset yang handal dan koneksititas yang luas agar tetap mampu mengakali kesulitan yang diatasi. Sementara perusahaan yang kurang kompeten akan menjadi frustrasi. Apalagi kalau mencoba menyari suku cadang di Glodok misalnya. Alat yang waktu ditest pertama menunjukkan angka yang diharapkan misalnya 100 ohm, boleh jadi test kedua menunjukkan 90 ohm, lalu test berikutnya makin tidak akurat (repeatabilitas).
Beberapa kali saya terima tilpun dari pojok Kalimantan, atau Irian, ada mudlogging lokal yang kesulitan menyediakan alat misalnya gas detektor untuk CO2 dan ingin pinjam kepada kami. Masalahnya, alat kami tersebut bakalan tidak kompatibel dengan alat miliknya. Belum lagi kadang saya menjadi konsultan gratis kepada teman Geologist yang sedang menghadapi problem dengan peralatan unit-data ditempat kerjanya.
Konsep yang sering menyesatkan adalah iming-iming "kami lebih murah" apalagi kalau berlindung dibalik kata "nasional" harusnya disikapi dengan bijak. Dunia Pertambangan bukan untuk murah-murahan, sebab kenyataannya selain waktu terbuang, ujungnya kita harus mengeluarkan ongkos lebih besar lagi. Berapa banyak lagi cerita sebuah perusahaan memenangkan lelang, lalu di subkan kepada perusahaan lain akibat ketiadaan peralatan.
Barangkali itu pula menyebabkan saya mengkeret berniat bikin usaha mudlogging tandingan. Tidak cukup bermodal kata sakti "Pribumi" dan lebih murah!
Sunday, April 02, 2006
http://mimbar2006.blogspot.com
Comments