Anakku kepingin keluar dari pekerjaannya

Dalam riwayat pekerjaan, setidaknya aku sudah pernah ganti juragan sampai empat kali. Bahkan diusia sudah gawat "middle aged" aku masih sering berakrobatik mencari peluang-peluang. Mencari jati diri bahwa menjadi tua, tidak berarti berakhirnya suatu karier.


Tahun 2002 setelah wisuda dari sebuah Universitas Negeri di Singapore, anak sulungku langsung bekerja pada perusahaan garmen sebut saja HT. Sebagaimana layaknya perusahaan di luar, lulusan Universitas Terbaik negeri ini tetap wajib menapak karir mulai dari penjaga Outlet, bergeser naik ke posisi Supervisor atau Koordinator. Apalagi pesaingnya adalah orang Filipina, Malaysia dan Singapore sendiri yang kondang dengan ethos kerja tinggi.


Nampaknya ia sangat menyukai pekerjaannya, terkadang jam 11 malam kami masih mendengar suaranya diujung tilpun yang riang disela gemuruh MRT Singapore yang membawanya pulang dari kantornya yang berlokasi di Geylang ke Apartemennya di Holland Drive. Lantaran masih lajang, rizki di perantauan mulai dinikmati adiknya, tetangga, keponakan sampai ke pembantu rumah tangga menikmati hasil jerih payahnya dengan menggunakan barang-barang "buatan luar." 


Sebagai orang tua dadaku-mongkok manakala aku berdiri didepan Mal Lucky Plaza lalu kulihat anakku mengawasi dua outlet sekaligus ambil berceloteh dalam bahasa Inggris yang sagat lancar memberi instruksi kepada bawahannya yang rata-rata orang Pilipina atau Singaporean. Tak sia-sia semenjak kecil sering kubawa dalam lingkungan berbahasa Inggris sampai menimbulkan minat menguasai bahasa itu yang amat besar.


Setahun lalu ia dipercaya untuk melakukan quality control di Taiwan, Hongkong dan betapa bahagianya ketika kantornya menugaskannya selama beberapa minggu di Jakarta. Tugasnya adalah menilai mengapa penjualan yang dinegara lain sangat pesat, namun di Indonesia cenderung jalan ditempat bahkan mendekati tiarap. Sebelum ke Jakarta ia dibekali laptop perusahaan yang hanya bisa dibuka dengan menempelkan jempol ke layar agar dipindai sidik jarinya. Layaknya perusahaan Singapore, maka anakku dilarang pakai Taxi, harus menggunakan mobil perusahaan dan beberapa fasilitas lainnya. Sekalipun di Singapore, mempercayakan Laptop kepada pegawai adalah simbol tanggung jawab managerial mulai diserahkan kepada penerima laptop. Sekaligus bersiap menerima terpaan angin yang lebih kencang.


Masuk kantor jam 8 pagi, Jemputan datang sejam kemudian


Namun teori lain dengan kenyataan, mobil perusahaan ternyata terlalu sibuk untuk mengurus keperluan di luar dinas sehingga diberikan kebijaksanaan untuk "menumpang" kendaraan seorang pegawai yang kebetulan kos di kawasan Grogol tak jauh dari kediaman kami. Hari pertama sulungku sudah mulai menggerutu lantaran sang kawan "sudah terbiasa" keluar pagar rumah jam 09.00 dan tiba dikantor di kawasan Gunung Sahari sekitar jam 10 kadang lebih lambat lagi mengingat kemacetan lalu lintas yang susah diduga. Sampai dikantor, yang dilakukan temannya adalah membuka "bontot" makanan karena "tak sempat sarapan di rumah.." - itu berarti paling tidak 30 menit digunakan untuk bersantap. Padahal menjelang jam 12 mereka sudah harus berkemas untuk keluar makan siang.


Daripada melihat anak stress lantaran sistem kerja yang berbeda, maka kami mengalah. Mobil pribadi dipakai untuk melayani keperluan anak sehingga sebelum jam 8 ia sudah bisa sampai di kantor. Problem timbul ia belum bisa stir sendiri sehingga dicarikan supir "pocokan" yang notabene karyawan Gajahsora. Ini cara bisnis yang salah ketika perusahaan bercampur dengan milik pribadi, namun dengan alasan "cuma beberapa hari" - pak Tasum sang supir mengantarkannya ke kantor dan menjemputnya saat jarum pendek menunjukkan pukul 6 dan jarum panjang ke angka 12. Begitulah setiap harinya.


Sampai di rumah kelihatan sekali tenaganya sudah terkuras habis. Padahal sekalipun usai jam kantor pesawat handphonenya  di Jakarta selalu berteriak melaporkan penjualan di Mal A, Mal B, Mal C dst, kadang ini berlangsung sampai jam 11 malam. Dia mengeluh cara kerja karyawan yang sering telat, dan sistem keluarga yang kadang menempatkan orang bukan berdasarkan keahliannya.


Pada hari menjelang kepulangannya, anakku mulai mengurus "fee" selama di Indonesia yang menurut perjanjian dibayar per jam selama berada di kantor. Jawaban direktur sekaligus pemilik perusahaan "kas bon ajah duluk!" - anak mulai meradang, istilah kasbon atau advance adalah hutang, dan dia tidak merasa berhutang kepada perusahaan sebab ia meminta haknya. Di Singapore, berhutang (kasbon) kepada perusahaan adalah aib yang harus dihindarkan. - Di belakang hari baru saya tahu bahwa PT di Indonesia meminta anakku membuat proposal bahwa pembuatan garment sebaiknya dilakukan di Indonesia sehingga bisa memproduksi sebanyaknya. Namun atas dasar kekuatiran pembajakan, Lia tidak menyetujui usulan ini. Lia pikir dia akan mendapatkan penghargaan, sekalipun pengalaman saya mengatakan dia akan mendapatkan celaan dan percobaan. Istilah "sinis" dalam dunia nyata adalah kalau kita berbuat salah orang tidak bisa melupakan, tetapi kalau kita berjasa orang sukar mengingatnya.


Percikan api gesekan sudah mulai nampak...


Sore hari ia pulang dengan mata seperti mau menangis. Ternyata dia mendapat "bocoran berita" bahwa direktur Jakata membuat laporan yang mengatakan bahwa  anakku sebetulnya hanya bekerja 1 jam (60 menit) sehari, sehingga mereka hanya mau membayar satu jam saja dari 9 jam pekerjaannya dari jam 8 hingga jam 19 . Kami sekeluarga tentu saja geram mendengar fitnah yang tidak seyogyanya dilontarkan oleh seorang pemilik perusahaan yang ingin perusahaannya maju setarap mitra bisnisnya di luar negeri. Prihatin akan nasib anakku saya hanya bilang "kamu ternyata bekerja dengan bandit. Stiker sepasang burung merpati putih yang dipasang dibelakang kendaraannya tak ubahnya menjadi Nazar pemakan bangkai..." 


Saya menambahkan, biasanya fitnah akan lebih menusuk dan didengarkan oleh kantormu di Singapore, ketimbang kebenaran yang terjadi. Ini perlambang bahwa kamu sudah harus melirik perusahaan lain...


Betul saja, ketika teman-temannya pada naik gaji ia mendapati hanya mendapat kenaikan sedikit sehingga majulah ia ke direktur Singapore, dan jawabannya adalah kamu pernah mendapat problem (kerja seharian dibilang cuma sejam) di Jakarta, kami yang membela kamu, apa itu tidak cukup.


"Oh sangat cukup, dan saya minta berhenti..." jawabnya ketus.


Kata berhenti ditanggapi dengan sinis "berhenti sekarang saja....kami bisa cari orang dengan gaji lebih murah."  Mulailah pertengkaran demi pertengkaran seperti tak terelakkan sampai terucap kata dari Lia "you pay peanut, you got monkey..." - maksudnya tentu saja, kamu bisa cari pekerja yang lebih muda dan lebih murah, tetapi kualitasnya tentu berbeda. 


Ternyata melihat gertakannya tidak berhasil, pemilik perusahaan menggunakan pendekatan lain, seperti biasa berjanji gaji akan dinaikkan. Tapi saya hanya bilang, kalau sudah bekerja dengan perusahaan dikepalai oleh pemilik culas bin nil-integritas, apa lagi yang kamu harapkan.


Tmtgl bulan ini resmilah anak saya keluar dari perusahaannya setelah 4 tahun mengabdikan dirinya. Intimidasi, halus kasar masih didapatkannya. Intinya dia harus mau balik, tapi dengan penghasilan sedikit naik sebelum pertengkaran.


Tapi saya bilang, papamu mengalami ini berulang-ulang, gaji harus diperjuangkan, jangan percaya omongan "soal uang gampang itu, kerja yang baik, nanti kita perhitungkan, uang datang mengikuti ..." - mendapatkan gaji layak tanpa sedikit "udhur-udhuran" dewasa ini hanya ada di alam dunia serba sempurna.


Lho kok Mimbar lain sudah bertunas....



Jam 11 sampai jam 12 malam, handphonenya  di Jakarta selalu berteriak melaporkan penjualan di Mal A, Mal B, Mal C dst.



Comments

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

Menu Makanan Kantin di Rig Terapung