Ada Gempa di Kotaku (2) - featuring Yusuf Iskandar
Sebenarnya cerita ini hanyalah sebagian kecil saja dari ribuan kisah yang barangkali akan dapat diceritakan dengan lebih rinci dan dramatis oleh ribuan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Belum lagi ribuan kisah tragis dan mengharukan yang akan dapat dikisahkan oleh ribuan masyarakat lainnya yang kebetulan menjadi korban.
Sebenarnya tidak ada hal yang istimewa dari kisah pengalaman kami sekeluarga pada Sabtu pagi 27 Mei 2006 yang lalu, selain ekspresi suasana tegang dan panik di tengah bencana gempa bumi, lalu..... Alhamdulillah, kami semua selamat. Belakangan saya membaca di surat kabar-surat kabar, ada banyak kisah lebih dramatis yang dialami oleh sebagian masyarakat korban gempa lainnya.
Namun toh, kalau saya ingin menceritakannya juga, itu karena saya menemukan pelajaran sangat berharga yang sebenarnya telah lama saya ketahui tapi tidak pernah saya sadari benar akan betapa pentingnya. Sampai akhirnya saya benar-benar mengalaminya sendiri.
Seperti telah sering dikatakan orang bijak. Kalau mau dikatakan bahwa gempa bumi adalah sebuah bencana atau musibah, maka di balik setiap musibah pasti ada hikmah.
Di balik setiap kejadian pasti ada ibrah ataupun pelajaran yang dapat dipetik. Pelajaran itulah yang secara tersurat ingin saya berbagi cerita melalui beberapa catatan ini. Tuhan Sang Maha Pencipta tentu tidak sedang "iseng" menggoyang-goyang bumi-Nya. Pasti semua acara goyang-menggoyang bumi itu terprogram sedemikian sistematis dan rapinya. Pasti ada maksud tersirat yang hendak dituju-Nya. Kenapa goyangannya mesti menerus dalam beberapa detik atau menit. Kenapa bukan goyang patah-patah atau goyang ngebor. Kenapa mesti digoyang pada saat orang-orang masih pada enak-enakan di rumah menjelang memulai aktifitas hidupnya. Kenapa mesti banyak orang miskin dan orang ndeso yang jadi korban. Semua adalah menjadi misteri "the X-File"-nya Tuhan yang sulit terpecahkan.
Namun, jangan berhenti sampai di situ, jangan berhenti sampai di situ saja...! Begitu yang sampai sekarang selalu terngiang di telinga saya. Pasti ada sesuatu yang dimaui-Nya. Entah apa, melainkan terus dan teruslah berpikir untuk menemukan jawabannya sampai ke relung hati yang paling dalam. Selembar daun kering jatuh saja Tuhan urus sedemikian detil, terencana dan terukurnya. Setetes embun pagi saja Tuhan kelola dengan sedemikian indahnya. Apalagi goyangan sebongkah bumi dan isinya.
***
Beberapa menit setelah gempa berhenti, ketika kesadaran kami mulai pulih, ketika kepanikan mulai mereda, barulah kami mulai saling bicara. Gempa Merapi..., Merapi meletus..., begitulah umumnya pertama kali yang terpikir oleh hampir setiap orang. Maklum, beberapa minggu terakhir ini memang masyarakat Yogyakarta sedang "demam" Merapi dengan awan panas wedhus gembel dan mBah Marijannya.
Tapi dalam hati saya ragu. Gempa Merapi artinya gempa vulkanik. Dan gempa vulkanik tidak akan sekuat itu. Kalau begitu berarti gempa tektonik. Dan kalau gempa tektonik berarti pusatnya berada di sekitar palung Jawa di laut kidul (selatan). "Tsunami...!", begitu yang kemudian terlintas di pikiran. Namun saya tidak berani mengucapkannya. Khawatir akan menjadi penambah kepanikan, terutama bagi anggota keluarga saya.
Kami saling berkumpul dengan sesama tetangga dengan aneka komentar masing-masing. Sampai akhirnya ada yang bercerita bahwa dia mendengar dari radio, katanya bukan Merapi melainkan gempa bumi yang berasal dari laut selatan. Ya, radio!. Itulah satu-satunya sumber informasi paling mudah dan murah. Tapi dimana ada radio? Ya! Radio di mobil adalah yang paling praktis.
Untuk itu mobil harus dikeluarkan sekalian diamankan dari kemungkinan kerobohan sesuatu di dalam garasi. Bukan tidak mungkin gempa susulan akan terjadi sementara saya belum tahu bagaimana kondisi rumah pasca gempa yang baru saja terjadi.
Saya lalu mulai mencoba memberanikan diri mendekati rumah. Melakukan inspeksi secara visual terhadap kondisi fisik rumah. Mulai dari kenampakan luarnya. Lalu membuka pintu depan yang ternyata tidak terkunci. Menatap berkeliling memeriksa dinding-dinding ruang tamu. Tampak barang pecah belah berserakan jatuh dari atas meja dan dari dalam lemari kaca. Menuju ruang tengah tampak televisi dan dispenser bergulingan. Guci, piring dan benda-benda keramik pecah di mana-mana. Meja dan lemari bergeser dari posisinya. Sedikit retakan baru muncul di beberapa tempat.
Saya belum berani menuju ke lantai atas. Saya hanya menginspeksi dan memutuskan untuk tidak melakukan apapun sampai nanti situasi benar-benar tenang. Acara inspeksi pun dilaksanakan dalam suasana hati was-was. Ketika tiba-tiba terdengar suara gemuruh lembut, entah dari mana sumbernya dan terasa ada gempa susulan, secepat kilat berlari ke luar rumah. Kemudian masuk lagi ketika gempa susulan berhenti. Dalam suasana seperti itu, perasaan menjadi sangat sensitif terhadap getaran dan suara gemuruh betapapun lemah dan lembutnya. Anak laki-laki saya tertawa, karena seperti sedang bermain petak umpet.
Lalu saya lihat jam meja tertelungkup di atas kulkas.
Ketika saya lihat ternyata jamnya mati dan jarum jamnya tepat menunjukkan waktu pukul 05:54 WIB. Itulah saat getaran kuat gempa terjadi dan menjatuhkan jam meja yang berdiri di atas lemari pendingin. Jam itu mati tepat menjelang enam menit yang semula saya merencanakan hendak bangkit dari tempat tidur. Ternyata Tuhan menyuruh saya bangkit lebih cepat.
Tiba-tiba saya ingat : "Lho, saya kan belum sholat subuh...?". Waktu itu kira-kira sudah lewat jam enam seperempat. Lalu dengan nyali diberani-beranikan, saya mengambil air wudhu, menggelar sajadah lalu subuhan alias subuhe wis awan (sholat subuhnya kesiangan). Dalam hati saya menyesal, jelas ini perilaku salah. Tapi sesalah-salahnya saya, rasanya masih lebih salah kalau saya tidak sholat sama sekali. Biarlah, sholat subuh yang mestinya qoblal-gempa (sebelum gempa) berubah menjadi badal-gempa (sesudah gempa). Tentu saja ini bukan terminologi agama, melainkan terminologi plesetan gaya Jogja yang baru saja terpeleset gempa.
Usai sholat, kemudian saya membuka garasi dan mengeluarkan mobil untuk diparkir di luar, di tempat yang lebih terbuka. Maka radio di mobil segera disetel keras-keras agar dapat didengarkan bersama-sama. Hanya ada beberapa studio radio yang memancarkan siarannya.
Barangkali karena listrik mati atau studio yang lain juga rusak terkena gempa. Entahlah, pagi itu suara penyiar radio Sonora cabang Jogja sepertinya menjadi akrab di telinga. Sang penyiar mengudarakan pesan-pesan tilpun yang datang dari para pendengarnya.
Dari radio jugalah akhirnya saya tahu bahwa telah terjadi gempa tektonik berkekuatan 5,9 skala Richter, dengan pusat gempa berada di selatan Yogyakarta pada jarak 38 km dari pantai dan pada kedalaman 33 km. Dari radio juga akhirnya saya tahu bahwa telah terjadi kerusakan hebat di mana-mana dan mulai dilaporkan banyak jatuh korban.
Hal yang terlintas pertama kali di pikiran saya setelah mendengar info pergempaan yang baru terjadi itu adalah bahwa sumber gempanya berada di dekat pantai dan dangkal. Informasi awal yang kata penyiarnya bersumber dari Badan Meteorologi dan Geofisika itu belakangan sangat membantu saya memahami apa artinya. Terutama ketika gencar merebak isu terjadinya tsunami yang kemudian menimbulkan kepanikan yang luar biasa.
Umbulharjo, Yogyakarta
Yusuf Iskandar
-------
Jika ada yang berniat menyumbangkan sesuatu bagi korban gempa Jogja dan sekitarnya, apapun bentuknya, dan belum menemukan tempat untuk menyalurkannya, Insya Allah saya dapat membantu menyalurkannya langsung kepada yang membutuhkan -- yi
Comments