Ada Gempa Di Kotaku (3) featuring Yusuf Iskandar
Beberapa puluh menit kemudian ketika suasana hati mulai agak tenang. Saya kembali melakukan inspeksi ke dalam rumah. Kali ini saya memberanikan diri untuk naik ke lantai atas. Sekedar untuk memastikan bahwa dinding-dinding rumah dan struktur rumah dalam kondisi aman, sehingga saya yakin bahwa kondisi rumah masih layak untuk ditempati. Tidak satupun benda-benda yang berserakan di lantai atas saya sentuh. Sengaja saya biarkan untuk sementara waktu. Pintu dan jendela-jendela di lantai atas saya buka agar udara segar dapat masuk ke dalam rumah.
Dari hasil inspeksi saya menemukan fakta, bahwa semua benda-benda yang tergantung di dinding dalam keadaan utuh pada tempatnya. Foto-foto, gambar dan piring-piring keramik dan cendera mata yang tergantung di dinding tidak satu pun yang terjatuh. Semua benda-benda yang tergeletak di atas lantai juga tidak ada yang terguling, termasuk guci-guci kecil. Sebaliknya hampir semua benda yang tergeletak di atas tumpuan seperti meja, almari, dapur, nyaris semua berantakan berjatuhan, termasuk televisi, monitor komputer, akuarium, guci, piring dan segala macam. Herannya kendati pesawat televisi dan monitor komputer jatuh tersungkur dengan posisi layar kaca menghadap dan menyentuh lantai, tapi tidak satu pun yang retak atau pecah.
Sejenak saya berdiri pada posisi persis seperti ketika saya baru loncat dari tempat tidur lalu bertepuk tangan dan memanggil anak-anak saya tadi pagi. Tepat di bawah gawang pintu kamar sambil berpegangan tiang sebelah kiri. Tiba-tiba saya merinding sendiri. Di tempat itulah, beberapa puluh menit yang lalu saya menyaksikan rumah bergoyang-goyang seperti mau roboh dan anak-anak saya sempoyongan menuju pintu belakang. Di tengah suara gemuruh yang memekakkan telinga dan terdengar menakutkan.
Kejadiannya sangat cepat, menegangkan dan mencekam. Belum pernah saya berada dalam situasi seperti itu.
Kalau seandainya pada saat itu rumah kami roboh, maka kami bertiga pasti terjebak di dalamnya. Entah sebuah kebetulan atau keberuntungan, saya hanya ingat bahwa hanya Tuhan yang mampu melindungi kami dari ancaman bahaya pagi itu. Saya sadar betul, tidak satu oknum pun mampu membekingi saya pagi itu. Tidak satu rupiah pun dari sisa tabungan saya mampu saya belanjakan untuk mencari perlindungan pagi itu. Tidak juga jabatan CEO "Madurejo Swalayan" dapat saya banggakan untuk lepas dari teror alam yang mencekam. Tak satu pun!. Kecuali kuasa dan kebesaran Ilahi yang ada. Sang Pemilik Bumi yang sengaja "mencandai" mahluk-mahluk lemah ciptaan-Nya. Karena itu, hanya menyebut nama-Nya dengan penuh harap dan kepasrahan yang dapat saya lakukan.
Hal terbaik dan terburuk punya peluang yang sama untuk terjadi. Sekiranya Sang Penguasa Bumi menganggap keberadaan saya di atas dunia ini hanya menuh-menuhin saja, tidak membawa manfaat apapun, atau dianggap sudah cukup. Maka, tidak ada yang mustahil bagi-Nya
karena memang tidak ada yang dapat menghalangi-Nya. Ada "alasan" kuat bagi Sang Penguasa Bumi untuk terjadinya hal yang terburuk. Demikian pula sebaliknya.
Saya tidak sedang mendramatisir cerita saya. Ketika saya bersujud dan bersyukur telah lolos dari ancaman bencana yang demikian dahsyat, tanpa saya sadari air mata saya menetes. Sebagai seorang muslim tiba-tiba saya ingat, bukan tanpa alasan kalau sampai tigapuluh satu kali Tuhan menyampaikan sindiran-Nya : "Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang hendak kalian dustakan?" (QS. 55 : 1-78). Saya yakin di agama lainpun pasti ada pesan-pesan semacam ini.
***
Menurut berita di koran, momen goyangaan bumi yang mencekam itu berlangsung selama 57 detik, meskipun menurut perasaan saya pasti lebih lama dari itu. Katakanlah, benar selama 57 detik, maka saya sangat menyadari bahwa itulah "injury time" yang akan menentukan apakah saya masih akan menyaksikan jarum panjang menggapai angka 12 atau tidak, di hari Sabtu pagi itu.
Kalau saja sewaktu saya membangun rumah dulu, struktur fondasinya dan tulangannya tidak cukup kokoh, pasti pagi itu rumah saya sudah rata dengan tanah. Kalau saja pasangan batanya asal-asalan, pasti rumah saya roboh. Terbukti saya menyaksikanya pada bangunan-bangunan yang roboh akibat gempa di beberapa lokasi.
Sekencang apapun saya mampu berlari saat menyadari sedang terjadi gempa hebat, rasanya tidak akan mampu melebihi kecepatan robohnya rumah di saat "injury time", kalau memang rumah yang saya tempati akan roboh oleh gempa. Maka saat "injury time" pagi itu, saat saya berdiri, bertepuk tangan dan berteriak memanggil anak-anak saya, saat anak pertama saya turun dari lantai atas dan saat anak kedua saya gelagapan bangun dari tertidurnya di depan televisi, adalah saat yang tepat untuk robohnya rumah kami. Semua persyaratan untuk roboh dan merobohi penghuninya sudah terpenuhi. Tinggal tombol "red light" menunggu dipencet oleh Sang Penguasa Bumi.
Barulah saya benar-benar menyadari, bahwa adalah sangat penting memperhatikan kekuatan struktur sebuah rumah pada saat rumah itu dibangun. Sudah lama saya tahu hal ini, tapi tidak pernah menganggapnya penting. Maka kalau ada pembangun rumah memanipulasi kekuatan strukturnya untuk apapun alasannya, maka sesungguhnya dia sedang "merencanakan" untuk mencelakai calon penghuninya. Terutama kalau kita tahu bahwa lokasi bangunan itu berada di kawasaan rawan gempa.
Sebelum membangun sebuah rumah atau bangunan apapun, tidak ada salahnya untuk sedikit meluangkan waktu mengetahui kondisi geologi kawasan itu. Terutama bagi mereka yang tinggal di kawasan rawan gempa, seperti sepanjang pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa hingga Nusa Tenggara dan Maluku-Papua. Itulah kawasan jalur gempa, dekat garis pertemuan lempeng tektonik Eurasia dan Indo-Australia yang perlu diwaspadai. Tidak ada salahnya untuk sekedar ngobrol-ngobrol dengan mereka yang pernah kuliah ngelmu Geologi Struktur dan lulus murni (bukan nyontek). Tidak ada salahnya juga mencari tahu dimana berada sesar atau patahan aktif di kawasan tertentu. Setidak-tidaknya kita akan tahu seberapa besar potensi kerusakan bisa ditimbulkan kalau-kalau gempa bumi berkekuatan besar terjadi.
Bagaimana kalau kita tidak membangun sendiri rumahnya melainkan beli rumah di kompleks perumahan, misalnya di Bumi Gempa Permai atau Pantai Tsunami Indah? Saya tidak tahu jawabannya. Tapi pasti ada caranya.
Oleh karena itu bagi mereka yang membangun bangunan di kawasan rawan gempa, menurut saya bukanlah pemborosan kalau kita berlaku tidak terlalu pelit untuk membelanjakan uang lebih banyak guna memperkuat struktur bangunan. Juga bukanlah tindak ngoyoworo (membuang-buang waktu) kalau kita meluangkan waktu untuk sedikit mengetahui kondisi geologi suatu kawasan.
Sebab fakta membuktikan, setidak-tidaknya itulah yang saya lihat dan alami, kalau memang rumah kita memenuhi syarat untuk roboh diterpa gempa berkekuatan besar, maka tidak ada satu hal pun yang mampu menundanya. Tidak juga karena menunggu anak-anak kita bangun dari tidur atau sedang berlari keluar dari rumah. Kecuali Sang Maha Penggoyang Bumi berkehendak sebaliknya.
Sayangnya, saya sangat percaya bahwa apa yang dikehendaki oleh Sang Penggoyang Bumi akan berbanding lurus dengan apa yang sudah diikhtiarkan oleh penghuni bumi-Nya. Selebihnya di luar pemahaman ini, maka akan tetap menjadi misteri "The X-File"-nya Sang Pencipta..... Wallahu a’lam!
Umbulharjo, Yogyakarta
Yusuf Iskandar
---------------
WORO-WORO :
Jika ada yang berniat menyumbangkan sesuatu bagi korban gempa Jogja dan sekitarnya (sembako, tenda, alas tidur, selimut, pakaian, obat-obatan, alat tulis/sekolah, atau apapun bentuknya), dan kesulitan menemukan tempat/lembaga untuk menyalurkannya, Insya Allah saya dapat membantu menyalurkannya langsung kepada mereka yang membutuhkan. Sasaran saya adalah kawasan desa-desa terpencil di lereng-lereng bukit di sebelah timur desa Madurejo yang berbatasan dengan kabupaten Klaten. Kawasan ini relatif kurang "populer" dibanding wilayah kabupaten mBantul lainnya, sehingga tidak mudah tersentuh bantuan sebagaimana kawasan mBantul selatan. (Yusuf Iskandar -- HP. 08122787618).
Comments