Ada Gempa di Kotaku (1) featuring Yusuf Iskandar
Oleh Yusuf Iskandar
Slamat datang di kota kami,
Yogyakarta indah dan permai
Begitulah bunyi bait pertama lagu "Mars Yogyakarta" yang suka dinyanyikan dengan irama riang dan bersemangat sambil menghentakkan kaki... prok... prok... prok..., seperti tentara sedang berbaris. Mencerminkan derap kebanggaan masyarakat kotaku, Yogyakarta (terkadang saya singkat dengan Jogja saja), hingga sebelum Sabtu pagi kelabu yang lalu.
Yogyakarta "Berhati Nyaman". Bersih, sehat, indah dan nyaman.
Demikian tulisan semboyan kota yang akan banyak dijumpai di sepanjang jalan-jalan di kota Yogyakarta, terutama di kawasan pedagang kaki lima. Semboyan kebanggaan masyarakat kotaku, Yogyakarta, hingga sebelum Sabtu pagi haru-biru yang lalu.
Sabtu pagi, 27 Mei 2006. Tiba-tiba kotaku Yogyakarta menangis sesenggukan, seperti anak kecil yang sampai kehabisan napas dan kehilangan suara tangisnya. Tiba-tiba saja sang naga yang ada di dalam bumi kotaku mengeliat kencang dan memporak-porandakan sebagian penghuni yang selama ini petentang-petenteng di atasnya. Semua sebutan indah, permai dan berhati nyaman seperti ikut tiarap, terhempas beserakan.
***
Beberapa hari terakhir ini, maksudnya minggu lalu sebelum terjadi gempa bumi hebat di Yogyakarta, saya sering kerja lembur di rumah hingga larut pagi. Terkadang jam setengah dua atau setengah tiga pagi baru nggeblak tidur. Bersyukurlah saya, meskipun nganggur tapi masih ada yang dilemburi. Bukan, bukan karena kehabisan waktu, melainkan karena waktu siangnya saya pergunakan untuk menyelesaikan urusan lain yang ringan dan yang lucu. Sedangkan urusan yang rada pakai mikir biasanya saya selesaikan di malam hari pada saat sunyi-sepi-sendiri berkonsentrasi.
Jumat malam hingga Sabtu dini hari yang lalu saya baru mematikan laptop selewat jam 2. Lalu ndlosor tidur. Sekitar jam setengah enam pagi lebih sedikit saya terbangun. Sambil melihat jam dinding di depan tempat tidur, saya sempat teringat bahwa waktu sholat subuh sedang di ambang batas penghabisan. Namun karena masih rada ngantuk plus agak malas (sebenarnya ya memang dasarnya rada malas...), saya nawar pada diri sendiri... "Mau leyeh-leyeh dulu sebentar, ah...! Biar jarum panjangnya sampai ke angka 12 dulu".
Tepat jam enem kurang enem pagi (05:54) tiba-tiba tempat tidur seperti ada yang menggoyang-goyang. Spontan saya berpikir : "Ono lindu" (ada gempa).
Berbekal pengalaman lebih sembilan tahun tinggal di tanah Papua, dimana Papua adalah salah satu tempat di muka bumi yang termasuk paling sering dilanda gempa, maka goyangan-goyangan gempa awal pada detik itu rasanya bukan hal yang luar biasa. Sampai kemudian saya rasakan ternyata bukan hanya tempat tidur yang bergoyang, melainkan juga lemari, dinding kamar, lalu rumah seisinya ternyata juga serentak turut bergoyang terus-menerus, bukan patah-patah.... Goyangan semakin kuat dan suara gemuruh semakin memekakkan telinga dan terdengar menakutkan.
Serta-merta saya loncat dari tempat tidur, berdesah menyebut asma Allah tiada henti, lalu berdiri tepat di bawah gawang pintu kamar. Hanya berdasarkan feeling saja, sepertinya itulah tempat paling aman saat itu untuk berhenti sejenak sambil menyapukan pandangan berkeliling dengan cepat. Di tengah goyangan hebat dan suara bergemuruh, saya lihat anak kedua saya masih tidur di lantai di depan televisi. Lalu saya ingat anak pertama saya tentu masih tidur di kamarnya di lantai atas. Sementara ibunya berada di belakang sedang beres-beres.
Dengan sekuat tenaga saya berteriak memanggil-manggil dan membangunkan kedua anak saya, sambil bertepuk tangan sekuat-kuatnya. Tentu bukan tepuk tangan kegirangan, melainkan saya bertujuan agar tercipta suara kejutan dengan nada berbeda. Namun sesungguhnya semua tindakan saya bertepuk tangan dan berteriak keras memanggil kedua anak saya agar segera bangun dan lari keluar rumah adalah sia-sia belaka.
Suara yang saya ciptakan itu sepertinya hilang tertelan suara gemuruh yang memekakkan telinga. Anak kedua saya terbangun justru karena nyaris kejatuhan pesawat televisi 21 inch yang loncat dari tempatnya dan dispenser yang ambruk menumpahkan galon beserta isi airnya. Sedangkan anak pertama saya di kamarnya di lantai atas terbangun karena monitor komputer di kamarnya terjungkal menimbulkan bunyi hempasan cukup keras.
Ketika saya lihat kedua anak saya sudah menyadari apa yang sedang terjadi dan bergegas menuju ke luar rumah, terdengar suara pesawat televisi 25 inchi di lantai atas terbanting dari singgasananya (bukan lengser). Padahal untuk mengangkat pesawat kuno itu sendirian pun saya tidak mampu ketika memasangnya. Rak kaset dan CD setinggi 2 meteran terhempas. Lemari kaca berisi bolo-pecah seperti dikocok dan berhamburan isinya. Guci dan piring keramik pecah bergulingan terhempas ke lantai. Akuarium pun tumbang membebaskan seekor arwana di dalamnya.
Suara gemuruh semakin kuat dan menakutkan.
Rumah tembok dua lantai yang baru satu setengah tahun yang lalu saya tempati nampak dindingnya bergetar-getar seperti ada yang sedang berusaha merobohkan dengan menggoyang-goyangkannya. Tanpa pikir panjang, tetap dengan terus mendesahkan asma Allah tiada henti, sambil saya berterik : Cepat...cepat... keluar dari rumah lewat pintu belakang...!. Saya lihat pintu belakang sudah terbuka, sementara pintu depan rumah masih tertutup, dan saya masih sempat berpikir untuk tidak mengambil resiko jangan-jangan pintu depan masih dalam posisi terkunci.
Di belakang rumah sebenarnya juga bukan tempat yang sangat aman, karena kemudian kami masih harus berlari sipat-kuping menyusuri lorong samping kiri rumah untuk menuju halaman depan. Namun setidak-tidaknya kami lebih cepat berada di luar rumah, memperkecil resiko kejatuhan sesuatu di dalam rumah. Saat tiba di depan rumah, barulah getaran gempa dan suara gemuruh sudah menurun dan akhirnya berhenti.
Sungguh sebuah fragmen tragedi menyeramkan berdurasi sekian detik atau sekian menit yang begitu menegangkan. Semuanya berlangsung dengan sangat cepat. Saya tidak tahu persisnya kapan getaran kuat dimulai dan kapan akhirnya benar-benar berhenti. Tahu-tahu sudah berkumpul dengan orang lain di depan rumah dalam suasana tegang, sejak sebelumnya leyeh-leyeh di atas peraduan menunggu jarum panjang menggapai angka 12.
Di luar, di gang depan rumah, sudah ada ibunya anak-anak yang saat gempa pertama kali terjadi merasa panik sehingga langsung berlari menyusuri lorong samping rumah menuju depan. Itu karena hampir kejatuhan genting rumah kost di belakang rumah induk yang berjatuhan merosot ke bawah, deretan sepeda motor yang bertumbangan dan pecahan-pecahan tembok yang berhamburan. Sepercik pecahan dinding yang jatuh dari puncak wuwungan rumah sempat singgah di jidat kanan ibunya anak-anak dan menimbulkan sedikit luka memar. Anak-anak kost di belakang rumah juga sudah pada ngumpul di depan rumah. Semua orang masih tampak shock, tanpa sepatah katapun keluar dari mulut, selain desahan asma Allah yang masih menggetar di bibir.
Nyaris seperti tidak percaya bahwa kami semua bisa lolos dan selamat dari gempa bumi hebat yang baru saja menyerang tiba-tiba di saat kami semua masih terlena.
Alhamdulillah..., Puji Tuhan...
Umbulharjo, Yogyakarta
Yusuf Iskandar
Comments