Dulu Kartini memang sering dilecehkan

Keponakan saya (6 tahun) sedang berusaha menghapal lagu Ibu Kartini. Matanya yang rada zippit nampak kriyap-kriyep (merem melek) mencoba mentransfer aba-aba ibunya kedalam otaknya. Kadang saya kasihan dengan anak kecil yang hidupnya dari (PR) pekerjaan rumah sampai ke Les privat yang lain. Saat masuk ke bait "harum" namanya," lalu saya mengganggunya dengan; "namanya Ibu Kartini, bukan Ibu Harum." Langsung ibunya ngedumel "Jangan ngajarin yang nggak-nggak dong, kemarin di sekolah disuruh nyanyi nenek moyangku orang pelaut, dia bilang "Nenek moyangku ya nenek-nenek"- waktu gurunya bilang salah, keponakan polos menjawab: "yang ngajarin pakDe."

Saya pikir mereka terlalu "memompakan" segala pengetahuan kepada anaknya, termasuk kemampuan membaca dan menghapal lagu anak-anak. Pernah sekali pulang sekolah ia diomeli oleh ibunya lantaran nilainya cuma delapan. Ketika ibunya menggeram, si anak enteng menjawab, "mama pekerjaanya memasak tiap hari, mengapa tidak pernah jadi juara dalam lomba memasak?" - atau kadang ia memaksa kepingin tahu "rapot mama waktu sekolah dulu bagaimana sih?."

Memasuki bulan April, selain April Mop tentunya negeri ini memiliki persiapan untuk merayakan hari Kartini, dua pekan lagi. Apalagi kalau bukan kaum perempuan pakai kebaya, lomba pasang dasi, memasak nasi goreng dst.

Menurut sejarahnya, RA Kartini terlahir di desa Mayong, Jepara pada 21 April 1879. Ia yang berbakat menulis dan "biasanya" berbakat "ngeyel" alias membangkang ini menjadi terkenal gara-gara kumpulan suratnya kepada Stella Zeehandelaar di bukukan oleh sahabatnya Abendanon-Mandri dan diberi judul "Habis Gelap Terbitlah Terang."

Dikatakan bahwa ia adalah anak Asisten Wedana onderdistrict Mayong, Kabupaten Jepara, cuma tidak lahir di rumah pendopo yang luas melainkan dibelakang rumah Asisten Wedana tersebut. Harap maklum ibunya berstatus selir, harus bersaing dengan istri utama ayahnya yang memang masih keturunan Ratu Madura, terang saja ibunya ngeper.

Setelah lahir, Kartini diasuh oleh emban Rami, sementara ibunya "menghilang," pergi dari rumah setelah melahirkan. Demikian tata cara bangsawan Jawa menghargai perempuan dalam status sosial sebagai selir. Lebih celaka lagi ibu (alm) saya pernah bercerita yang serupa atas dirinya sebagai cucu seorang selir Wonosari lagi. Sementara embah putri (alm) lebih suka menutup cerita tersebut kepada saya, tidak perduli bagaimana gencar saya merayunya agar ia menceritakan kehidupan perkawinannya. Beliau masih beranggapan bahwa apa yang ditempat tidur, tinggal ditempat tidur.

Ibu juga mengatakan bahwa ia jarang sekali melihat figur ayah yang katanya menjadi Demang di Gunung Kidul (Tapi bukan Demang Sarayuda pesaing Mahesa Jenar dalam merebutkan Rara Wilis). Yang ia tahu, semasa kecil, nenek berkunjung ke pendopo, tidak lama kemudian hamil, pulang kedesa sambil membawa anak.

Konsekwensinya, embah puteri tidak pernah memiliki apa yang disebut "tanah warisan," semua jatuh pada istri yang syah saja. Satu-satunya warisan yang jatuh adalah ia masih boleh pakai gelar "Rr" yang tentunya tidak berarti apa-apa jaman sekarang.

Terus terang, saya jarang membaca bagaimana "sengsaranya" jadi perempuan masa itu yang cuma boleh jadi "kanca wingking" dengan alasan satu dan lain hal. Kecuali ya suratnya RA Kartini kepada Stella. Salah satu suratnya berbunyi: "adalah satu keberuntungan untuk anak negeri ini, jika perempuan menerima pendidikan yang sejajar dengan lelaki. Pasalnya gadis Jawa selama ini cuma punya satu pendidikan tertinggi, yaitu kawin. Untuk melepaskan belenggu ini perempuan harus bersikap independen," tulisnya pada 1901.

Tetapi niat itu bukan berjalan mulus, lantaran orang Belanda pun masing memandang rendah golongan pribumi. Salah satu kemarahannya atas diskriminasi guru-gurunya dituangkan dalam suratnya :"Orang Belanda itu mentertawakan dan mengejek kebodohan kami, tapi kami berusaha maju, terakhir mereka malahan mengambil sikap menentang kami. Aduhai! betapa banyak duka cita masa kanak-kanak kami di sekolah, para guru dan kawan mengambil sikap bermusuhan kepada kami..."

Bahkan ada "raja-tega" jaman sekarang yang bilang Kartini itu ibu rumah tangga pengangguran lantaran kerjanya "cuma" menulis surat. Rupa-rupanya yang disebut bekerja dari dulu ya harus bersifat fisik, seperti harus bawa tas, pagi-pagi keluar rumah, pulang bawa tas dengan muka kucel, dan tas menggelembung bawa berkas dari kantor.

Bagaimana bentuk penilaian terhadap perempuan kala itu bisa dibaca dari tulisan seorang tokoh masyarakat yang dimuat oleh koran setempat.

Ceritanya, pada Januari 1903, Kartini dan saudaranya Rukmini berniat menimba ilmu di Leiden yang suasananya lebih kondusif untuk mengembangkan diri. Lagian pemerintah Hindia Belanda sudah memberikan bantuan untuk biaya hidup di Belanda bagi anak bangsawan ini berdua. Yang mau memodali beasiswa sudah mengedipkan lampu hijau, tetapi di tanah airnya ia mendapat tanggapan miring terutama dari kaum lelaki.

Tanggal 18 Januari 1903, sebuah artikel kontroversial muncul di courant "Bromartani" sekalipun judulnya sederhana tetapi menjadi perbincangan luas di kalangan masyarakat. Judulnya "Kamadjoeannja Prampoean Boemipoetera."

Adalah seorang Raden Mas Tirto Adhi Soerio, demikian nama penulisnya beropini bahwa:"Kepandaian dua puteri ini tidak menanam bibit yang berfaedah bagi saudara-saudaranya anak negeri."

Lebih lanjut Tirto membandingkan kemampuan keduanya masih dibawah level ilmunya Raden Ajeng Lakminingrat, isteri Adipati Garut. Alasannya, tulisan RA Lakminingrat (dalam bahasa Sunda) sudah diterbitkan oleh oleh pemerintah Hindia Belanda sementara Kartini belum. Tirto lalu menyebut kedua kakak beradik sebagai :"belon mateng ingetannya" maksudnya belum pakar tetapi sudah ingin membagikan kepandaiannya. Ia juga mengkritik niat Mr. Abendanon direktur Onderwijs (Pengajaran), untuk membuka sekolah bagi kaum perempuan sebagai niat yang sia-sia sebab para Bupati tidak setuju.

Memang diakui, banyak pihak yang marah akan sikap para Bupati yang dipandang merendahkan kaum perempuan, namun sekali lagi dengan pedas Tirto mengulasnya sebagai:" Tetapi sekalian mereka yang murka itu tiada beringat panjang dan menandakan belon lebar ruang pengetahuannya."

"Dengan sesungguhnya, sekarang belon datang waktunya untuk mengadakan sekolahan buat putra putri priyayi, teristimewa dari putera puteri yang (akan) bertempat tinggal jauh dari ayah bundanya." Kaum puteri seharusnya lebih baik belajar "adat sopan santun, pekerjaan pegang rumah tangga dan kemudian (baru) belajar menulis dan membaca agar berfaedah."

Kartini dan Rukmini dikabarkan merasa terpukul akan sikap Tirto dan masyarakat lainnya. Maka beasiswa f 4.800 segera dikembalikan ke Hindia Belanda.

Ironisnya Kartini justru sangat mengidolakan pria Tirto ini sebagai "Lelaki Pribumi yang berbakat dan terpelajar."

Setahun kemudian, 17.9.1904 dalam usia 25 tahun, Kartini meninggal dunia 4 hari setelah melahirkan anak lelakinya dari dengan kedudukan sebagai selir, suatu hal yang sangat ditentangnya. Mungkin ia kecewa terhadap sikap masyarakat "beradab dan berbudaya adiluhung" waktu itu.

Comments

Anonymous said…
mengenai pendidikan Anak di Indo ... katanya kurikulum Indo itu tergolong kuruikulum berat dibanding banyak negara lain .. cocok buat anak jenius ... jadinya ya gitu ... banyak anak kecil yang kreatifitasnya terhambat ..h
Dulu Kartini memang sering dilecehkan tapi jaman sekarang saat banyak "Kartini" yang telah merdeka secara pendidikan, mereka masih sering dilecehkan dalam beberapa aspek kehidupan

Serupa tapi tidak sama?

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

Menu Makanan Kantin di Rig Terapung