Artikel #897 Habis Cabut Gigi Jangan Kumur
Ini nasehat dari dokter gigi senior. Habis cabut gigi, biarkan 24 jam jangan berkumur. Hari berikutnya hanya boleh kumur lalu "lepeh" - alias di keluarkan lagi.
Gigiku othek kata komedian Untung. Lalu saya menilpun langganan saya puluhan tahun. Sebut saja drg Endah. Waktu mulai praktek dulu ia mencari pelanggan dengan mengingatkan pasien untuk periksa gigi, sekarang sudah jadi dokter laris bukan alang kepalang sampai buka klinik dimana-mana. Ketika dihubungi melalui tilpun, menurut pembantunya sedang pakansi ke Amerika dan tidak jelas kapan kembali. Padahal gigi geraham belakang sudah "nyut nyut." tidak bisa menunggu lagi.
Lalu ada yang menyarankan untuk menyoba di klinik gigi Trisakti. Saya langsung menolak kuatir dijadikan kelinci percobaan para mahasiswa/i ditambah lagi mengantri panjang. Rupanya ada pelayanan eksekutip ditangani dokter senior dan tidak perlu mengantri.
"Wah ini kejutan, biasanya orang ke malas periksa gigi lantaran terlalu lama antriannya."
Sekitar jam 8 pagi saya ke Trisakti sebuah sekolah waktu saya mahasiswa imejnya adalah borjuis. Kendati sekarang saya tambahkan "gemar tawuran." Rupanya saya harus ke lantai enam dengan menggunakan lift. Selama perjalanan menggunakan lift, tidak hentinya para calon dokter dengan kamerjas putih wajah segar, masuk keluar lift, menebar aroma wangi dan penuh percaya diri. Betul-betul unjuk gigi.
Waktu masuk di ruangan sejuk eksekutip yang saya temui hanya TiPi yang menayangkan sinetron Setan, tak nampak seorang pasienpun. Membersit lagi keraguan. Apa saya urungkan saja niat ini. Logikanya restoran sepi, tanda tak laris.
Tapi niat ingsun sudah muanstab (mantab) wal nekat. Apalagi menyadari teroris sakit gigi bisa meledak kapan saja.
Di ujung ruangan seorang sedang berbicara di tilpun. Kata orang dia adalah resepsionis, fungsinya mirip dengan frontline sebuah perusahaan. Tetapi dimata saya ia sedang memperdalam dan memperhalus ilmu cek&ricek ala infotemen. Saya beri isyarat mata, “ada pelanggan nih, yang membayari gaji kamu”, dari ujung matanya ia balik kirim isyarat seakan menjawab nanti dulu, maaf tunggu sebentar saya sedang sibuk antara hidup dan mati nih. Lalu beliau meneruskan pergunjingannya. Lagi-lagi telinga saya menguping “Si Adek ya.. blabla..bla.. Kalau aku jadi dia bla..bla.. bla..”
Setelah menunggu mbak Gunjing menaruh tilpun pertanda usai hajatnya menjadi konsultan rumah tangga orang. Saya segera mendaftarkan diri. Paling ditanya nama, alamat, umur dan keluhan. Tetapi rasanya ini kok lebih menyerupai interogasi, mulai dari pertanyaan apakah gigi masih ada mahkotanya, gigi yang mana sakit dia mau periksa, apakah membawa foto rontgen gigi dan beberapa pertanyaan lagi.
Jarum ampere kesabaran saya mulai naik.
"Mbak saya bukan mahasiswa gigi, aku kemari karena gigiku sakit, panggilkan dokter bisa..?" - saya kuatir kalau didiamkan bakalan tanya kode lokasi gigi ku yang sakit. Setelah menyerahkan formulir barang dua halaman, kelihatannya ia menilpun dokter yang piket. Dokter gigi sebut saja dr. Agus langsung datang.
Gigi saya diperiksa. Disuruh nggeget (menggigit) sendok gigi, saya bilang linu sedikit. Dia bilang sudah infeksi, makanya timbul rasa linu. Walaupun kelihatannya cuma linu dikit sebetulnya sudah abses bernanah. Di bius juga percuma. Alhasil bengkaknya harus hilang dulu agar saat dicabut efek bius cepat bekerja. Dia kasih antibiotik Lincomycin 500 mg buat 4 hari @ 3 kapsul.
Empat hari kemudian, saya ke klinik Trisakti lagi yang berlokasi di Kiyai Tapa. Masih bertemu bau wangi dan wajah segar dan mooi. Jam 8 tepat doktere masuk, saya langsung dikerjai.
Disuntik bius yang pahit rasanya (plus sakit dikit), lidahku kelu, bibirku semuten.
Dia bicara waktu mahasiswa di Grogol pada 1965 keadaan masih sepi.
Setelah aku beri tanda bibir terasa semuten. Mungkin kalau saya perempuan, bibir ini pas untuk membawa acara "setajam silet," yang tata rias wajah membuat bibir tebal dan mengundang apalagi gaya penuturan yang mendramatisir.
Barang dua menit dia tanya, sakit?
Saya memberi kode tangan seperti menyetop bajaj, maksudnya tidak. Eh dia mengerti.
Nasehatnya, sejam kasa digeget lalu dibuang, nggak usah kumur, nggak usah sikat gigi selama seharian. Lupakan masalah dengan tahi gigi. Besok paginya boleh kumur tapi tidak boleh diarahkan ke luka, cuma kumur lepeh, maksudnya tidak perlu diguncang-guncang, jangan mendorong luka dengan lidah, apalagi menyedot luka. Kalau terasa amis, itu biasa.
Aku mengangguk karena masih nggeget kassa. Dia menulis resep, obat pembunuh rasa sakit, Ponstan 500 gram untuk mengurangi rasa sakit dan Antibiotik Lincomycin kalau terasa gusi infeksi. Namanya luka, palagi sudah usia (tuwir maksudnya).
Billing saya lihat Rp. 200.000 kelas eksekutip. Bandingkan di Australia sekali datang minimal 200 dollar lewat (1,4 juta). Padahal kalau sakit gigi dua kali datang sudah tergolong cepat. Belum lagi harus membuat perjanjian jauh-jauh hari.
Saya angkat stempel “recommended”
Dan pikir-pikir kiss goodbye kepada ibu dokter lama.
Gigiku othek kata komedian Untung. Lalu saya menilpun langganan saya puluhan tahun. Sebut saja drg Endah. Waktu mulai praktek dulu ia mencari pelanggan dengan mengingatkan pasien untuk periksa gigi, sekarang sudah jadi dokter laris bukan alang kepalang sampai buka klinik dimana-mana. Ketika dihubungi melalui tilpun, menurut pembantunya sedang pakansi ke Amerika dan tidak jelas kapan kembali. Padahal gigi geraham belakang sudah "nyut nyut." tidak bisa menunggu lagi.
Lalu ada yang menyarankan untuk menyoba di klinik gigi Trisakti. Saya langsung menolak kuatir dijadikan kelinci percobaan para mahasiswa/i ditambah lagi mengantri panjang. Rupanya ada pelayanan eksekutip ditangani dokter senior dan tidak perlu mengantri.
"Wah ini kejutan, biasanya orang ke malas periksa gigi lantaran terlalu lama antriannya."
Sekitar jam 8 pagi saya ke Trisakti sebuah sekolah waktu saya mahasiswa imejnya adalah borjuis. Kendati sekarang saya tambahkan "gemar tawuran." Rupanya saya harus ke lantai enam dengan menggunakan lift. Selama perjalanan menggunakan lift, tidak hentinya para calon dokter dengan kamerjas putih wajah segar, masuk keluar lift, menebar aroma wangi dan penuh percaya diri. Betul-betul unjuk gigi.
Waktu masuk di ruangan sejuk eksekutip yang saya temui hanya TiPi yang menayangkan sinetron Setan, tak nampak seorang pasienpun. Membersit lagi keraguan. Apa saya urungkan saja niat ini. Logikanya restoran sepi, tanda tak laris.
Tapi niat ingsun sudah muanstab (mantab) wal nekat. Apalagi menyadari teroris sakit gigi bisa meledak kapan saja.
Di ujung ruangan seorang sedang berbicara di tilpun. Kata orang dia adalah resepsionis, fungsinya mirip dengan frontline sebuah perusahaan. Tetapi dimata saya ia sedang memperdalam dan memperhalus ilmu cek&ricek ala infotemen. Saya beri isyarat mata, “ada pelanggan nih, yang membayari gaji kamu”, dari ujung matanya ia balik kirim isyarat seakan menjawab nanti dulu, maaf tunggu sebentar saya sedang sibuk antara hidup dan mati nih. Lalu beliau meneruskan pergunjingannya. Lagi-lagi telinga saya menguping “Si Adek ya.. blabla..bla.. Kalau aku jadi dia bla..bla.. bla..”
Setelah menunggu mbak Gunjing menaruh tilpun pertanda usai hajatnya menjadi konsultan rumah tangga orang. Saya segera mendaftarkan diri. Paling ditanya nama, alamat, umur dan keluhan. Tetapi rasanya ini kok lebih menyerupai interogasi, mulai dari pertanyaan apakah gigi masih ada mahkotanya, gigi yang mana sakit dia mau periksa, apakah membawa foto rontgen gigi dan beberapa pertanyaan lagi.
Jarum ampere kesabaran saya mulai naik.
"Mbak saya bukan mahasiswa gigi, aku kemari karena gigiku sakit, panggilkan dokter bisa..?" - saya kuatir kalau didiamkan bakalan tanya kode lokasi gigi ku yang sakit. Setelah menyerahkan formulir barang dua halaman, kelihatannya ia menilpun dokter yang piket. Dokter gigi sebut saja dr. Agus langsung datang.
Gigi saya diperiksa. Disuruh nggeget (menggigit) sendok gigi, saya bilang linu sedikit. Dia bilang sudah infeksi, makanya timbul rasa linu. Walaupun kelihatannya cuma linu dikit sebetulnya sudah abses bernanah. Di bius juga percuma. Alhasil bengkaknya harus hilang dulu agar saat dicabut efek bius cepat bekerja. Dia kasih antibiotik Lincomycin 500 mg buat 4 hari @ 3 kapsul.
Empat hari kemudian, saya ke klinik Trisakti lagi yang berlokasi di Kiyai Tapa. Masih bertemu bau wangi dan wajah segar dan mooi. Jam 8 tepat doktere masuk, saya langsung dikerjai.
Disuntik bius yang pahit rasanya (plus sakit dikit), lidahku kelu, bibirku semuten.
Dia bicara waktu mahasiswa di Grogol pada 1965 keadaan masih sepi.
Setelah aku beri tanda bibir terasa semuten. Mungkin kalau saya perempuan, bibir ini pas untuk membawa acara "setajam silet," yang tata rias wajah membuat bibir tebal dan mengundang apalagi gaya penuturan yang mendramatisir.
Barang dua menit dia tanya, sakit?
Saya memberi kode tangan seperti menyetop bajaj, maksudnya tidak. Eh dia mengerti.
Nasehatnya, sejam kasa digeget lalu dibuang, nggak usah kumur, nggak usah sikat gigi selama seharian. Lupakan masalah dengan tahi gigi. Besok paginya boleh kumur tapi tidak boleh diarahkan ke luka, cuma kumur lepeh, maksudnya tidak perlu diguncang-guncang, jangan mendorong luka dengan lidah, apalagi menyedot luka. Kalau terasa amis, itu biasa.
Aku mengangguk karena masih nggeget kassa. Dia menulis resep, obat pembunuh rasa sakit, Ponstan 500 gram untuk mengurangi rasa sakit dan Antibiotik Lincomycin kalau terasa gusi infeksi. Namanya luka, palagi sudah usia (tuwir maksudnya).
Billing saya lihat Rp. 200.000 kelas eksekutip. Bandingkan di Australia sekali datang minimal 200 dollar lewat (1,4 juta). Padahal kalau sakit gigi dua kali datang sudah tergolong cepat. Belum lagi harus membuat perjanjian jauh-jauh hari.
Saya angkat stempel “recommended”
Dan pikir-pikir kiss goodbye kepada ibu dokter lama.
Comments