Artikel #896 - Pulau Solomon ternyata sebuah negeri


Ketanggor juga akhirnya. Pengetahuan ilmu bumi saya ‘kecangar’ – gara-gara surat elektronik memenuhi inbox dengan laporan gempa bumi berasal dari pulau Solomon (Sulaiman) dilaporkan berulang kali, yang berarti gempa yang hebat sedang terjadi. Ternyata tsunami menyerang kawasan tersebut. Bahkan pantai Australia seperti Sydney dan Queensland dipenuhi mobil patroli pantai mirip ‘baywatch’ – sibuk melarang pelancong turun ke pantai. Pelang-pelang besi (entah kapan dicatnya) sudah terpancang dengan tulisan Pantai ditutup. Dibeberapa tempat orang mulai mengungsi ke tempat lebih tinggi. Rupanya peringatan dini tsunami yang terpasang disana aktif dan mengirimkan SMS ke handphone pihak terkait. Untunglah yang dikuatirkan tidak sempat terjadi.

Disaat demikian terlintas ingatan kepada teman bernama Agustine yang tinggal di Solomon. Buru-buru saya menyebarkan email ke teman-teman di PNG menanyakan keadaannya sebab saya pernah diperlihatkan foto rumahnya dipinggir pantai. Bahkan kepada saya diperlihatkan filem suasana sebuah perayaan dimeriahkan oleh musik terbuat dari pipa-pipa pralon yang dipukuli anak-anak remaja, gadis-gadis telanjang dada dengan menggunakan rok terbuat dari rumput kering. “Indah,” katanya. Entah indah nadanya atau indah dada penarinya.
Email bersahut. Jawaban datang segera dari Port Morresby, Papua Niugini, ‘sorry bro’ – mereka selalu memanggil saya bro(thers), yang terkena tsunami itu sebuah negara Pasifik dengan nama Negara Solomon Island dengan perdana mentrinya Manasseh Sogavare. Sementara Agustine, yang sampeyan tanyakan adalah warga kota kuno Solomon, yang masuk wilayah Propinsi Bouganville. Dan propinsi Bouganville ini masih masuk Papua Niugini dengan perdana menteri Michael Somare. Kalaupun sama, dua-duanya fasih menyanyikan lagu "God Save The Queen," yaitu Elizabeth II. Saya bingung sebab secara geografis dan sejarah mereka dulunya satu. Lalu Jerman, Amerika dan Inggris memisahkan mereka. Bouganville (Solomon) ini masuk sejarah pada seputar 1990-an ketika rakyat setempat meransak pertambangan negara (PNG), sehingga militer melakukan tindakan represif dan berakhir dengan 20 ribu perusuh (atau pejuang, tergantung), tewas didor militer PNG. Dan baru aman lagi setelah kekuatan asing seperti Australia datang berkunjung.

Perkenalan dengan Agustin(e), berawal pada tahun 1992-an saat bertugas di proyek gas Kutubu, Papua Niugini (PNG). Sebagai partner kerja ia menyenangkan. Ramah, dengan kulit gelap, mirip negro.

Kalau pulang kerja dari Rig untuk menuju ke BaseCamp, kami menyari tumpangan kendaraan proyek yang lalu lalang sebab kami sering dianggap "lelet" sehingga truk (bukan bis lho) angkutan tidak sabar menunggu. Pasalnya saat pergantian shift, selain catatan tertulis berupa handover, kami juga menyampaikan pesan secara lisan. Akibatnya kami sering ketinggalan kendaraan maklum kalau sudah waktunya pulang, semenitpun menjadi urusan besar.

Mengingat si Agustine ini orang Solomon - PNG, dia saja saya minta yang menyetop kendaraan, apalagi badannya tinggi besar, rambut keriting. Dari jauh hanya kelihatan bola mata putih saja.

Tetapi ada masalah baru, saat distop oleh Agustin, para pekerja bangsa Australia ini mengkeret melihat penampilannya yang seram sehingga walaupun truk masih kosong mereka membiarkan kami berdiri di jalan. Sudah lebih sejam menungggu sementara kendaraan lalu lalang malahan seperti diuber hansip begitu melihat Agustine. Akhirnya saya ambil alih posisi, dia saya suruh sembunyi di semak, saya yang berdiri di jalan. Taktik ini ternyata cespleng. Begitu melihat saya dengan wajah dicuning memelas, pengemudi memperlahan kendaraannya dan mempersilahkan saya melompat ke bak belakang. Saat itulah saya beri tanda kepada Agustin untuk ikut naik truk batu. Sempat saya lihat wajah pengemudi tegang sejenak. Mungkin dikira kawanan begal melakukan ambush.

Lalu sekali tempo dia mengajak jalan kaki dari lokasi pemboran ke perkemahan dengan menembus hutan dan kali kecil.

Paling setengah jam sampai ,’ katanya. Kenyataannya hampir satu jam lebih belum kelihatan juga atap perkemahan. Apalagi sepatu boot rig yang dipakai makin lama makin terasa berat maklum bukan dirancang untuk trecking. Sementara Agustin tidak mengalami kesulitan berarti.

Yang unik, saat gajihan tiba, sekalipun Agustin sudah jatahnya untuk "Off" atau bebas tugas, namun ia tetap memohon pengelola kemah untuk berdiam barang sehari dua, alasannya menunggu teman lainnya untuk ke kampung halaman bersama. Persis para pembantu kita menunggu teman-temannya mudik pulang menjelang lebaran. Ternyata cara tersebut dipakai untuk menghindari gangguan perampok yang tentu saja segan kalau melihat orang bergerombol.

Sejak itu kami berpisah, dan namanya teringat kembali ketika ada bencana Tsunami.

Walaupun pertanyaan saya salah alamat, tetapi senang juga mendengar Agustin dalam keadaan baik-baik saja.

Bila tertarik dengan informasi lindu yang terjadi di seantero dunia, anda bisa berlangganan gratis disini:

http://earthquake.usgs.gov/eqcenter/ens

Dilengkapi dengan peta lokasi dari google.


Mimbar Bambang Saputro

Comments

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

Menu Makanan Kantin di Rig Terapung