Artikel #903 Bermain Saxophone pakai tas kresek
Apa yang terbayang dalam benak sementara orang ketika mendengar kata "bonek"atau "hooligan" -Sekelompok pendukung fanatik-abis olah raga Sepakbola yang berbaju warna warni, tingkah laku aneh-aneh doyan teriak-teriak dengan mulut bau alkohol, muka di coreng moreng dan umumnya tidak padat bekal. Maklum mereka sekedar penggemar olahraga dan bukan anggota DPR sedang studi banding.
Namun mantan bonek kelahiran Biak, hampir 40 tahun ini kehadirannya ditunggui banyak orang, sebab ia mampu bermain musik dengan alat non musik tradisional. Tatkala teman-temannya membawa terompet, genderang untuk mendukung kesebelasan pujaannya, maka ia cuma punya sisir dan sebuah kantong kresek.
Diantara riuh rendahnya para penggemar sepak bola menunggu pertandingan, ia mengambil sisir berbalut tas belanja plastik yang dikenal sebagai tas kresek. Dari mulutnya terdengarlah suara mirip saxophone namun bernada lebih riang. Seperti riangnya anak-anak di pulai Mundi tempat kelahirannya di Papua ketika mereka mencari ikan, kepiting kecil. Kadang suaranya meninggi seperti laut yang sedang penuh amarah. Atau kadang lirih seperti juga alam yang mulai nampak tersenyum usai membuang kekesalannya. Bakat alam ini pemuda yang juga pernah menjalani hidup sebagai petinju amatir ini diasahnya dan mencoba mengais rejeki di Jakarta.
Masa kecilnya sering ia habiskan untuk mencari ikan dipantai sambil bermain-main alat musik terbuat dari daun pisang atau kerang. Frans demikian nama pria ini atau lengkapnya Frans Rumbinu ketika ia memberikan kartu nama berwarna kuning keemasan saat ia berada di belakang panggung meramailkan sebuah perayaan di Sahid Jaya tiga tahun silam. Logo sisir tertera dikiri atas kartu namanya tak heran kondanglah ia dengan nama Frans Kenny "G" Sisir. Untuk ukuran orang Papua, ia memang tergolong tampan. Jangan lupa ia punya reputasi pemain bola selain petinju sekaligus. Jadi dari tubuhnyapun membantu penampilan di panggung.
Malam itu ia membawakan musik "spiritual" instrumental "Danny Boy" yang mengalun indah dari sisir kecil berwarna putih milik seorang tamu undangan yang ia pinjam. Pembawa acara berkomentar "sisir hotel" sebab warna sisir ini memang khas hotel. Kalau saja pembawa acara penggemar Dangdut, kebiasaan merapikan rambutnya mirip Oma Irama.
Tepuk tangan makin keras diberikan hadirin ketika ia menyanyikan lagu tersebut sambil kadang-kadang bersaut-sautan dengan suara saxophone anggota band. Sungguh suatu pertunjukan kemampuan musikal yang tinggi sehingga penonton tiada henti-hentinya bertepuk mengikuti penampilannya sampai saat Frans mengakhiri shownya. Seisi hall nampak tersihir sejenak lalu saat "mendusin" langsung berteriak "lagi-lagi!."
Latin Night yang dijagokan dalam acara ini malahan seperti tenggelam dibawah sisirnya Frans.
Padahal segudang gadis semampai berbetis bak padi membunting dengan baju aduhai tak henti-hentinya menghampiri hadirin turun menari.
Selain beberapa kota di Jakarta, ayah dua anak yang memulai kariernya dipaduan suara dikomunitasnya ini pernah ditanggap di Belanda. Ia kini berlatih saxophone secara serius dan belajar menyanyi. Siapa tahu dilirik produsen rekaman.
Selain beberapa kota di Jakarta, ayah dua anak yang memulai kariernya dipaduan suara dikomunitasnya ini pernah ditanggap di Belanda. Ia kini berlatih saxophone secara serius dan belajar menyanyi. Siapa tahu dilirik produsen rekaman.
Jadi siapa bilang main musik harus mahal.
Comments