Artikel #899 Melihat Oase di Pakistan

Ada nasihat berbunyi, bila di Roma berbuat seperti orang Roma. Kalau di Payakumbuh ada peribahasa di kandang kambing mengembik, di kandang harimau mengaum. Ternyata pepatah ini ada benarnya. Awal 1988-an saya ditugaskan ke Pakistan. Pada saat itu sedang maraknya perang Sovyet yang menginvasi Afganistan. Dengan bantuan Pakistan dan Amerika, akhirnya Sovyet hengkang dan harus mengakui Afganistan sebagai "Vietnam kedua". Dalam masa dua tahun pemerintahan Benazir Bhutto, kaum Taliban Afganistan menjadi kuat karena mendapat support Pakistan untuk melawan Uni Sovyet. Uniknya para Taliban tidak pernah mengakui perempuan menjadi pemimpin.

Saat berada di Islamabad supir Taxi mengira saya adalah salah satu pasukan milisi dari Indonesia, sebab, menurut mereka ada sekitar 200 mujahid asal Indonesia menginfiltrasi Afganistan melalui Pakistan. Ditanya soal pengiriman relawan perang tentu saja saya kelabakan karena waktu itu pemerintah kita selalu membantah bahwa ada orang Indonesia menyusup ke Afgan melalui Pakistan.

Di Islamabad menuju lokasi pengeboran kami diantar oleh mobil perusahaan POL (Pakistan Oilfield Limited). Perjalanan memakan waktu sekitar dua jam perjalanan. Supirnya anak muda bergamis (pakaian Pakistan), sudah jalanan sempit dan bercuaca buruk lantaran bergelombang dan berlubang, supir seperti kesetanan melarikan mobil Pajero baru dengan kecepatan tinggi. Bila bersisipan dengan kendaraan lain tidak ada satupun yang mau minggir sebelum jarak beberapa tombak baru "siut" dua kendaraan saling banting stir kekiri. Dasar orang Indonesia, sudah tahu ada bahaya di depan masih sempat jadul "ouch we missed again" - padahal kalau tabrakan terjadi saya bakalan jadi cicak kering terpanggang di padang pasir.

Namanya padang pasir. Suhu mencapai 50 derajat pada siang hari, tetapi dingin dikala malam. Kalau anda berniat mandi siang, anda harus mendinginkan air di ember agar bisa digunakan beberapa waktu kemudian.

Saat panas membara, untuk melepas dahaga, setiap siang datang seorang petugas pikul membawa air dan bongkahan batu es ke direksi kit kami. Suara air bergejolak dan irama es saling berdenting dalam tong plastik rasa-rasanya seperti mendengar lonceng kalung sapi yang menarik gerobak dibawah pohon bambu rindang. Luar biasa segarnya melihat air mengalir mengisi gelas sampai titik embun menetes.

Untuk kondisi padang pasir, ini adalah berkah yang patut disyukuri. Apalagi gaya pak pikul ketika bercerita soal hebatnya air yang ia ambil dari oase. Menurut mereka lantaran panasnya matahari. Maka mata air yang mengalir secara otomatis sudah difilter secara alami oleh pasir panas dan disuci hamakan oleh panggangan matahari. Mirip iklan perusahaan air kemasan di lereng gunung Salak.

Akhirnya dibela-belain kami berjalan kaki mencari "tuk" - alias mata air bernama oase, pasti berbeda dengan telaga ditempat kakek nenek saya di Wonosari mengambil air.

Begitu sampai disana, langsung rasa ingin tahu saya berubah menjadi kecewa ketika dari telaga berlompatan kecebong, binatang air lainnya, bahkan keledai melepaskan dahaga disana.
Apa saya masih percaya bakteri dan kuman pada terpanggang habis seperti diceritakan pak pikul.

Sejak itu kami tidak pernah minum air es karena harus memasak air terlebih dahulu. Daripada cari "diapet" di rantau orang.

Menjelang rembang saya biasanya naik bukit batu untuk tafakur di puncak bukit batu. Udara panas menyengat mulai terasa dingin. Kubayangkan berada di Jabal Rahmah- Saudi Arabia, ditemani batu hitam kecoklatan karena ditimpa terik gurun, angin sesekali membelai rumput yang tumbuh gersang diantara retakan batu. Kontras dengan bara api matahari yang akan mengaso di ujung barat.

Jangan-jangan kelamaan berada di puncak gunung batu saya bakalan berhalusinasi melihat seleret cahaya amat terang menerpa jantung sehingga secara spiritual saya mendapat pencerahan. Lalu bertekad memerangi kebathilan didunia yang sudah kotor. Eng ing eng namanya.

Layaknya area pengeboran dimana saja, lokasi kami tidak sembarangan boleh diakses oleh publik. Diantara tanah miskin ini, kadang ada para anak-anak gadis menggembalakan kambingnya mendekati menara minyak kami. Sebentar saja terdengar teriakan penjaga menghalau penggembala kambing. Seperti kurang puas mereka melempari batu anak perempuan yang sedang panik menghalau kambingnya. Untung tidak ada yang menerpa tubuh kurus hitam dibalik baju lusuh. Kok kebangetan.

Teman-teman bahkan sering menyaksikan sang suami naik keledai, sementara istri dan anaknya berjalan dibelakang keledai. Kami menghibur diri dengan menyediakan jawaban, kemungkinan sang suami sedang sakit karena kelelahan mencari nafkah keluarga.

Sampai lain waktu karena bosan tidak ada hiburan (TV Pakistan tidak seperti acara kita), maka setiap sore kami berjalan kaki berolah raga sambil melewati beberapa anak gadis gembala. Merasa bersalah atas perlakuan rekan di rig, dari jauh kami mendekati kelompok ini sambil maksudnya ingin bersilaturahmi.

Herannya mereka malahan menghilang kebalik batu dan saat kembali ketempat semula di tangannya masing-masing dipersenjatai batu sebesar kepalan tangan. Sekalipun batu tersebut tidak disambitkan kepada kami, tetapi cukup sebagai peringatan bahwa berani menegur mereka bisa berakibat fatal. Apa mereka kecewa atas sikap penjaga rig tadi, atau ada alasan lainnya.

Cuma gara-gara pasport pernah di cap di Pakistan, saya sedikit mendapat kesukaran tatkala hendak mendapatkan visa dari Kedutaan Amerika.

Dengan ceriwisnya mereka menginterogsi tujuan saya ke Pakistan, lalu sikap politik terhadap negeri tersebut. Biasanya interview berjalan sekitar 10-15menit, giliran saya satu jam.

Padahal bukankah Amerika juga ikut mengompori peperangan di Afganistan dengan memihak milisi Taliban walaupun sekarang saling baku bunuh. Waktu dua dekade bisa mengubah persahabatan mesra menjadi sabung nyawa.

Comments

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

Menu Makanan Kantin di Rig Terapung