Memindahkan Taman Sriwedari

Beberapa hari ini putri Citradewi sang pengantin baru sering nampak murung di istana Maespati. Para dayang dan emban menjadi berduka lantaran nasi liwet Solo dengan areh ayam tidak disenggolnya. Dipesankan Wedang Ronde dengan butiran beras ketan isi kacang ijo, juga ditampiknya. Mau dibilang hamil, lha wong baru kawin belum genap sebulan, emangnya selebrities kita , yang berani sumpah tetapi ditanggung hamil duluan. Apalagi tadi pagi mbok emban masih menemukan potongan plester Body Charm dalam keranjang sampah tuan puterinya.


Selidik punya usut rupanya Citradewi kangen dengan keadaan Taman Sriwedari di kerajaan Magada tumpah darahnya. Padahal gazebo taman sering bau pesing lantaran orang istana lebih suka menuruti guru "animal instinct" kencing berdiri "kealingan" dibalik tembok atau dibawah pohon rindang, ketimbang mendatangi toilet yang sudah dijaga para janitor sambil mengharap "uang kecil". Masih bagus kencing tidak sampai menekuk lutut dan mengangkat sebelah kaki. Konon hanya berseni dengan cara demikian mereka mendapatkan sensasi "merinding" usai berhajat "hiiih".


Begitu kerasnya rasa rindu Citrawati, sampai rela berdesakan pakai minibis tanpa AC tidak mengapa, yang baku bisa mudik. Apalagi sang istri mulai mengisi kopor dengan pakaian, sepatu, dan tas bekas. Untuk oleh-oleh paklik, buklik, pakde, bude, di kampung, demikian alasannya.


Ternyata alasan mudik belum harga mati, Citrawati setuju untuk tetap tinggal di Maespati dengan syarat taman Sriwedari dari tanah leluhurnya Magada harus dipindahkan ke Maespati, termasuk media tanaman pot Adenium yang barusan diganti "cocopeat"nya sebulan lalu.


Begitu sabda pandita ratu di dengungkan, apapun yang terjadi perintah raja harus dilakukan dan yang ketiban pulung berupa SPK alias Surat Perintah Kerja adalah Bambang Sumantri.


Sumantri, sekalipun sakti, namun kalau soal "jebol taman" terang dia bakalan jeblok. Seumur-umur, memelihara tanaman pot saja ia bermodalkan jari tangannya alias cuma tunjuk sana sini. Soal mengelap dedaunan pakai minyak ikan, mencari kutu daun, mengganti media tanaman, semua "pasrah bongkok" diserahkan kepada pak Bon.


Karena sudah judeg alias bingung mencari kontraktor pindahan yang ternyata tak seorangpun sanggup mengerjakan "bestek" lelang yang diminta, maka pulanglah ia ke pertapaannya. Inilah asal usul mengapa sebagian penduduk pulau Jawa diberi nama dengan Bambang, konon sebagai jati diri berasal dari pertapaan di lembah gunung a.k.a cara urbanisasi model wayang.


Saat duduk di teras depan sambil memegang dengkul merenung rupanya tingkah lakunya diamati sang adik, Sukrasana. Bila ada istilah pinang dibelah dua, maka Sukrasana kebagian pinang diinjak gajah. Wajahnya raksasa, namun badannya kerdil, jadi kurang "match". Iapun agak "ahterlek"sehingga oleh resi Bragawa karena karena begitu kasihnya Sukrasanapun diberi kesaktian yang tidak dimiliki oleh Sumantri kakaknya maksudnya sebagai bekal hidupnya kelak.


Ternyata dewa penyelamat masih dipihak Sumantri. Sukrasana menyatakan memiliki kemampuan memindahkan taman, asalkan bisa ikutan menjadi Yuppi di kota. Perjalanan memindahkan Taman sebetulnya tergolong cepat, hanya dalam perjalanan menemui hambatan beberapa warga nelayan memiliki karakter menngebutkan serok (jala kecil) untuk menangkap ikan di tengah jalan raya beraspal dengan menaruh tong-tong dan barikade lainnya yang memaksa kendaraan harus ganti perseneling rendah (sambil mengumpat). Sulitnya karena terbiasa diberi ikan bukannya kail, maka jumlah nelayan kian hari makin membengkak.

Citrawati bersorak dengan gembira melihat tanaman kesayangannya bisa berada didekatnya kembali. Namun saat ia menikmati keindahan tersebut, tiba-tiba ia menjerit "sekuriti sekuriti," lantaran didalam taman ditemukan raksasa kerdil, ya Sukrasana, tadi. Namun satpam istana bahkan para bala tentara bukan tandingan Sukrasana yang memiliki kulit "ora tedas tapak palune pande" alias tidak mempan senjata buatan para pande besi.

Sumantri langsung membujuk adiknya untuk segera meninggalkan taman. Namun Sukrasana adalah manusia lugu. Ia hanya berpegang kepada janji kakaknya bahwa bila tugasnya berhasil akan diajak melihat istana Maespati ketika kakaknya mengingkari janji, ia "mbegegek" mogok ngegelosor di tanah sambil menangis gegaokan.

"Aku bukan mau bikin isu separatisme kakang, cuma sekedar menagih janji, setelah semua pengorbanan yang aku berikan," kata Sukrasana.

Sumantri ingat, masa kecil dulu, kalau Sukrasana nakal, lantas ditakut-takuti akan disunat dengan ujung panah yang lancip, biasanya ia akan ketakutan. Bahkan dengan isyarat menengadahkan tangan kiri keatas lalu menggesekkan sisi tangan kanan berulang-ulang diatas telapak tangan kiri, Sukrasana sudah lari pontang panting.

Lantas resep lama dicobakannya, dengan menarik anak panahnya. Sayang takdir berkata lain "ada setan liwat" panahpun melesat menancap di jantung Sukrasana. Ini anak panah jenis bor beton, begitu masuk ke dada belum berhenti menusuk sampai tembus ke belakang.

Sebelum menemui ajal, Sukrasana sempat berpesan bahwa kelak, kematian Sumantri akan ditunggui oleh Sukrasana di alam sana. Juga dia berpesan bahwa nama Sriwedari, kalau digunakan sebagai nama taman oleh kerajaan Antah Berantah dikemudian hari, bakalan tidak terurus dan tempat judi dan mesum lainnya.

Comments

Anonymous said…
nuwun mbah, lagi nengok blognya
Anonymous said…
kulonuwun mbaaaah
Woow ada tamu.. silahkan..silahkan , anggap rumah sendiri ya
Mimbar

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

Menu Makanan Kantin di Rig Terapung