Mengantuk

"Bu, aku agak mengantuk," seru saya memecah keheningan lantaran seisi mobil kecuali saya sedang terlelap dalam mimpi dan kelelahan setelah perjalanan dari Yogya menuju Jakarta.

"Ya berhenti dulu sebentar...," kata ibunda. Namun melihat sekitar penuh sawah dan keadaan gelap gulita pada 02:00 dinihari di tahun 1975, saya jeri jangan-jangan ada yang berniat jahat sekalipun seorang anggota polisi (aseli) tidur ada didalam kendaraan.

Sebetulnya yang paling melelahkan adalah saat berpapasan dengan iringan truk gandeng atau mobil yang tertib, lalu bis malam dibelakangnya mulai tak sabar untuk berada dalam antrian lantas menyerobot barisan didepannya tanpa mau perduli bahwa jalan hanya pas dua jalur. Dengan sorotan lampu tinggi yang amat menyilaukan. Maka berlakulah hukum rimba, siapa yang besar dan nekad dia yang memang.

Namun disuatu persimpangan saya bingung kemana arah ke Jakarta sehingga perlu meminggirkan kendaraan (untuk menyegarkan diri), dan memasuki warung remang-remang untuk meminta pengemudi membimbing kembali kembali ke jalan yang benar.

Hanya beberapa menit berlalu, kelopak mata seperti membeku dingin dan berat. Satu tangan mulai gerayangan kearah kuduk sambil memijat agar mengalirkan darah lebih kencang, lalu telinga saya jewer agar kesadaran pulih. Sia-sia. Kantuk tetap membandel.

Usaha lain, penutup jendela mobil saya buka, agar udara segar menerpa wajah dan jadi segar. Celakanya adik mengeluh "palaku pening" - maksudnya kepala pusing terkena angin. Yang lebih seru adalah serangga kecil yang ikutan terhisap kedalam kendaraan.

Kita bicara tahun 1975 dimana kendaraan belum memiliki pendingin, dan sawah-sawah masih terbentang luas dengan penghuni sang "samber mata" yang meraja lela menyerbu dimana lampu bersinar.

Bagaimana kalau mampir ke warung kopi berdinding bambu dipinggir jalan untuk para supir ?

Niat inipun saya urungkan, pasalnya dijalur Pantura yang masih melek pada jam begini ? sekalipun mesin kendaraan berat sudah dipadamkan, namun ada aktifitas lain dalam bilik yang lebih membara karena menggunakan busi engkel yang lain. Tentu bukan tontonan konsumsi ibunda dan adik perempuan saya.

Akhirnya kendaraan melaju terus. Lama-kelamaan suara ban beradu dengan aspal mulai seperti nyanyian merdu peri dalam cerita Sinbad.

"Ya Tuhan .... ada apa ini," saya tersentak (rupanya tertidur diatas stir) diiringi suara benturan keras. Mobilpun tak terkendali. Dalam hitungan detik, kami sudah bergulingan di pinggiran jalan.

Diantara teriakan histeris ibu dan adik, tiba-tiba kendaraan para supir truk yang perasaan baru diajak bicara beberapa detik lalu (mana mungkin, namanya saja perasaan) seakan menjadi matahari yang bersinar terang dibelakang kami untuk memberikan pertolongan. Tanopa banyak bicara, tambang dikeluarkan, dan mobil ditarik tanpa kerusakan berarti.

Pertolongan yang tulus, sebab saya dipersilakan berjalan duluan dan mereka mengawal dari belakang. Tentunya berdasarkan pengalaman bahwa seseorang yang baru saja mengalami kecelakaan kendaraan, walaupun kelihatannya sehat, namun terkadang menderita luka dalam yang serius.

Setelah, beberapa menit nampaknya jalan mobil (dan supir) tetap stabil, para supir truk mendahului saya dan kami berpisah.

"Edan... orang yang selalu saya tuding sang Yamadipati alis pencabut nyawa jalanan, ternyata dalam kesehariannya adalah malaikat penolong..."

Mengherankan para supir yang lembut, penolong, kadang terkesan malu-malu kalau diajak berbicara. Saat berada dikursi kendaraan bisa berubah watak menjadi agresip bak kesetanan. Apalagi kalau kernet mengompori keagresifitasannya.

Sejak itu, setiap kali bertugas menjadi kopilot, tak hentinya saya memperhatikan laju kendaraan.

Bila supir nampak tak sabaran untuk menyalip kendaraan lain, atau kadang jalan terseok, menguap, berkali-kali menggoyangkan kepala. Pertanda mereka dilanda mengantuk. Dan obatnya kalau tidak tidur adalah , mengaso sebentar.

Lucunya sang supir sendiri kalau ditanya mengantuk apa tidak, jawabnya selalu "tidak".

Ini hal yang serupa dengan petinju yang mengalami mabuk pukulan, selalu menjawab "Saya tidak Apa-apa" sehingga penumpang yang berfungsi menjadi wasit untuk menghentikan jalannya sang supir yang sedang bekerja ke luar kota, mengajaknya bercakap seperlunya sekalipun dulu ada tulisan dilarang berbicara dengan supir.

Atau biarkan supir membuka kendaraan sejenak mematikan ac dan membiarkan pergantian udara segar.

Sungguh, bepergian melalui darat sekarang kompleks. Penumpang dilarang menggantungkan keselamatan penuh kepada supir. Mereka harus menjadi wasit. Berteriak dan galak bilamana perlu.

Sampai-sampai kalau anak-anak mengatakan minta ijin "mengikuti study tour atau piknik ke luar kota beserta sekolah," bawaannya seperti mendengarkan perjalanan penuh resiko membawa maut.


Mimbar Bambang Saputro
mimbar [dot] saputro [at] gmail [dot]com
+62 811806549 - TEXT PLEASE

Comments

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

774-Tongseng Serambi (masjid) Sunda Kelapa