Penumpang Garuda Bersepatu Merah Darah
Kamis, 05-07-2007 02:42:29 oleh: Mimbar Saputro
Di ruang tunggu Airport Perth wanita muda ini duduk satu deretan bangku dengan saya. Tas tangannya diselempangkan sejajar pinggang kanan lalu ia duduk sambil menyilangkan kakinya. Hemm, nampaknya menggunakan celana legging hitam sampai mata kaki, sepatu merah dan rok merah diatas lutut. Sebuah peragaan busana yang lumayan berani dan mengundang tsk...tsk mengingat udara Perth sampai menggeletarkan tulang sumsum saking dinginnya.
Beberapa detik kemudian, tangannya menyambar handphone dalam tas coklat sambil membuka kata "hallo darling." Saat mengucap kata “darling” ia menekan hurup "r" seperti mengajar balita bernyanyi lagu berdarah "Potong Bebek Angsa." Dengan penekanan pada hurup “r” pada bait akhir tralala...
Wanita muda bertubuh langsing ini tingginya sekitar 155cm, saya taksir usianya mendekati seperempat abad. Rambut hitam lurusnya dibiarkan berponi dengan ujung rambut belakang menyentuh ruas kelima tulang belakangnya. Kulitnya kehitaman tumbuh sehat didukung deretan tulang kuat hasil kerja keras sehari-hari. Kalau rambut ini digelung secara asal kebelakang, wajahnya, mudah dijumpai sembilan dari sepuluh para penjual sayur di pasar Kramat Jati. Raut muka keras akibat tempaan hidup.
Deretan gigi atas depannya sedikit maju dan bibirnya diolesi gincu berwarna ungu tua. Tatapan dan cara ia melirik, sangat profesional. maksudku berani menatap lawan bicara.
"Darling, I use baju merah, sepatu merah, so beautiful.." katanya dalam percakapan yang didengar oleh hampir segenap penumpang Garuda GA731 sore itu. Kata use baju merah sekalipun kurang sreg untuk pengganti "mengenakan" namun yang penting mudah dimengerti.
Diantara pembicaraannya ia bercerita usaha mendapatkan tiket pulang kampung dengan bantuan "Garuda People... " sebagai terjemahan Orang Garuda.." - maksudnya tentu pegawai Garuda yang membantunya mendapatkan tiket mudik.
Pembicaraan dengan “darling “ nya ditutup dengan sapaan penutup I lap yu, lalu "ring-ring" ia menilpun teman yang lainnya.
Sekali lagi ia mendeskripsikan baju merah, celana legging, dan sepatu merah serta "gile, kaki gue kedinginan, legging kan cuma sampai diatas mata kaki.." - diantara cekikikan yang rada-rada nakal, ia menyebut kegalauan hatinya akan menjelaskan di formulir pabean, soalnya "gimana ya, sepatu gue kan harganya lima ratus dollar, bisa kagak percaya nanti petugasnya.."
Sekalipun kebiasaan orang Osie menyebut adalah beib (babe) atau (haniy) honey kepada pasangannya, namun yang mengganggu adalah volume suara speaker tenggorokan disetel sama kerasnya dengan menyapa teman selemparan batu jauhnya.
Lalu ia menitip pesan kalau ada diskon pakaian, sepeninggalnya kelak ia minta dibelikan agar ditalangi terlebih dahulu. “Entar gampang gua bayar, jangan takut!” Lagi-lagi dengan suara mengalir rata ke seluruh penjuru ruang tunggu.
“Bilang sama si Asih, kalau kerja jangan banyak bengong, jadi si Boss tidak gampang naik darah”. Diikuti cekikikan. Ada beberapa nama dipesan agar bekerja rajin.
Kalau saja ia masih belum puas dengan mengumbar semua kekayaannya, saya kuatir di airport kelak ia menjadi bulan-bulanan orang bandara dan para calo pelabuhan.
Yang jelas tingkah lakunya segera mengundang seorang pemuda mengaku pelaut dari Nabire, yang duduk disebelahnya dengan pertanyaan lugu "mbak Orang Jawa, kerja di Australia ya.." – Saya tidak tahu apakah pemuda ini termasuk sebagian orang yang susah membedakan antara kata Indonesia dengan kata Orang Jawa.
Dengan suara rada sedikit ketus si Putri Sepatu Merah menjawab bahwa ia orang Banjar(masin?), tinggal di Perth bersama "suami". Mempunyai rumah di Perth sekaligus di Kemang, Jakarta. Hanya ketika pelaut bukan Orang Jawa tadi mendedas pertanyaan “Kemang, itu Jakarta Utara atau Timur si pemilik Sepatu Merah memilih satu dari jawaban yang menyebabkan saya ragu pengetahuan ilmu buminya sebab dari dahulu kala Kemang masih kawasan Jakarta Selatan.
Lalu ia bercerita bahwa "suami" melarangnya naik Garuda Indonesia dengan alasan keselamatan penerbangan, tetapi atas bujukan “orang Garuda” akhirnya ia pulang menggunakan perusahaan penerbangan Garuda.
Sementara ini TKW Indonesia selalu digambarkan sebagai disiksa, tidak digaji sampai pelbagai perlakuan tidak manusiawi dari majikannya. Namun teman seperjalanan saya seperti menampilkan sosok sukses dari wajah TKW kita.
Beberapa waktu di Jakarta saya mendengar bahwa Eropa melarang Garuda melintas diseluruh Eropa membuat saya teringat kembali kepada mbak bersepatu merah. Jangan -jangan sang "suami" yang tidak sempat mengantarnya ke bandara , memiliki bakat paranormal.
Mimbar Bambang Saputro
mimbar [dot] saputro [at] gmail [dot]com
+62 811806549 - TEXT PLEASE
Comments