Menjual EsKrim kepada Eskimo
Niat ingsun, dalam hati bergabung dengan Jurnalistik Publik di Wikimu.Com adalah untuk meluruskan teknik menulis agar tidak mencang mencong seperti yang saya alami selama ini.
Maka terasa aneh ketika pengurus Wikimu meminta saya menjadi pembicara untuk berkisah mengenai bagaimana saya menulis di Wikimu selama ini. Padahal anggota wikimu yang aktip umumnya profesional yang memang pekerjaannya tidak jauh dari kegiatan menulis. Sebut saja wartawan TV, Tabloid, Koran, Majalah Otomotif yang notabene dari merekalah saya menggali atau istilahnya meniru, mengklipping penggalan kalimat yang mereka gunakan untuk menjadi perbendaharaan saya sendiri.
Tapi mungkin unik, kalau seseorang awam, yang sehari berkecimpung dalam dalam dunia industri pengeboran minyak lalu berbicara soal olah menulis mirip halnya dengan mendongeng dinginnya eskrim didepan orang Eskimo. Inilah sejarah hidup seseorang, kadang kita tidak bisa meramal apa yang akan terjadi. Maka, serentak mendapat order mendongeng, saya mempercepat perjalanan saya dari Jakarta ke Yogyakarta dan kembali sehari sebelum hari "h" yang dinantikan. Lantas saya membayangkan puluhan tahun lalu bagaimana antusiasnya saya mendengar ceramah dari Ashadi Siregar, atau Wonohito dari Harian Kedaulatan Rakyat Yogya yang selalu menggunakan samaran Tjiptoning. Setiap kalimat Ashadi dan Wonohito seperti selalu terngiang ditelinga. Ashadi menyebut penulis harus menyetel rasa pekanya lebih tajam, Wonohito menyebut kalau mengerti tulisanmu, artinya tulisan tersebut sudah siap terbit.
Sebagai persiapan saya menulis makalah singkat terutama bagaimana saya selama ini menulis, maklum kalau sudah bicara saya cenderung keluar garis patok. Lantas saya cari cara yang tidak umum. Misalnya selalu orang berpendapat bahwa menulis selembar memerlukan bahwa membaca paling tidak sepuluh lembar. Saya akan menyebut, itu tidak perlu. Cukup dengarkan "buser," sinetron, dan baca Poskota sudah cukup menulis sebuah artikel.
Hari yang dinanti datang. Giliran saya menjadi pembicara pertama. Lalu saya menjelaskan bahwa dalam usia sudah diatas setengah baya ini seseorang harus melatih otaknya. Misalnya berbahasa asing, yang sepatah katapun tidak tahu artinya atau cara mengucapkannya. Namun saya melatih mengingat masa lalu, melatih menulis buku harian secara berlaku mundur, dan menuangkannya dalam tulisan di blogger atau Wikimu. Yang saya tidak sangka, beberapa diantaranya menggemari tulisan saya yang jauh dari kesan serius.
Lalu bagaimana dengan mengolah kata, sampai kadang ada kata-kata yang baru tercipta. Padahal kata-kata ini sudah saya dapatkan dari majalah misalnya Tempo, Gatra, Kontan yang memang piawai memilin sebuah kalimat. Lalu saya menyebut bahwa ketika menulis, tidak pernah terlintas mau diapakan tulisan ini. Pokok menulis. Untuk mendasarkan kekuatan menulis saya ambil Ade Rai yang saat ia berlatih angkat beban, tidak pernah terpikirkan olehnya akan dijadikan apa bentuk tubuhnya kelak. Kadang Adepun bosan dengan repetisi angkat beban yang itu-itu saja, selain menyakitkan tentunya. Seperti kita ketahui, sekarang, Ade Rai terkenal karena berubah menjadi pria yang tubuhnya dipuja banyak orang.
Tapi. Kalau mengingat bahwa didepan saya berbicara adalah para wartawan muda yang penuh semangat, cerdas dan lebih berpendidikan, kadang saya geli sendiri. Seperti menjual eskrim kepada orang Eskimo. Jadi harus pandai-pandainya kita menguntai pembicaraan. Tepat seperti slogan Wikimu, yang penting bisa-bisanya kita....
Maka terasa aneh ketika pengurus Wikimu meminta saya menjadi pembicara untuk berkisah mengenai bagaimana saya menulis di Wikimu selama ini. Padahal anggota wikimu yang aktip umumnya profesional yang memang pekerjaannya tidak jauh dari kegiatan menulis. Sebut saja wartawan TV, Tabloid, Koran, Majalah Otomotif yang notabene dari merekalah saya menggali atau istilahnya meniru, mengklipping penggalan kalimat yang mereka gunakan untuk menjadi perbendaharaan saya sendiri.
Tapi mungkin unik, kalau seseorang awam, yang sehari berkecimpung dalam dalam dunia industri pengeboran minyak lalu berbicara soal olah menulis mirip halnya dengan mendongeng dinginnya eskrim didepan orang Eskimo. Inilah sejarah hidup seseorang, kadang kita tidak bisa meramal apa yang akan terjadi. Maka, serentak mendapat order mendongeng, saya mempercepat perjalanan saya dari Jakarta ke Yogyakarta dan kembali sehari sebelum hari "h" yang dinantikan. Lantas saya membayangkan puluhan tahun lalu bagaimana antusiasnya saya mendengar ceramah dari Ashadi Siregar, atau Wonohito dari Harian Kedaulatan Rakyat Yogya yang selalu menggunakan samaran Tjiptoning. Setiap kalimat Ashadi dan Wonohito seperti selalu terngiang ditelinga. Ashadi menyebut penulis harus menyetel rasa pekanya lebih tajam, Wonohito menyebut kalau mengerti tulisanmu, artinya tulisan tersebut sudah siap terbit.
Sebagai persiapan saya menulis makalah singkat terutama bagaimana saya selama ini menulis, maklum kalau sudah bicara saya cenderung keluar garis patok. Lantas saya cari cara yang tidak umum. Misalnya selalu orang berpendapat bahwa menulis selembar memerlukan bahwa membaca paling tidak sepuluh lembar. Saya akan menyebut, itu tidak perlu. Cukup dengarkan "buser," sinetron, dan baca Poskota sudah cukup menulis sebuah artikel.
Hari yang dinanti datang. Giliran saya menjadi pembicara pertama. Lalu saya menjelaskan bahwa dalam usia sudah diatas setengah baya ini seseorang harus melatih otaknya. Misalnya berbahasa asing, yang sepatah katapun tidak tahu artinya atau cara mengucapkannya. Namun saya melatih mengingat masa lalu, melatih menulis buku harian secara berlaku mundur, dan menuangkannya dalam tulisan di blogger atau Wikimu. Yang saya tidak sangka, beberapa diantaranya menggemari tulisan saya yang jauh dari kesan serius.
Lalu bagaimana dengan mengolah kata, sampai kadang ada kata-kata yang baru tercipta. Padahal kata-kata ini sudah saya dapatkan dari majalah misalnya Tempo, Gatra, Kontan yang memang piawai memilin sebuah kalimat. Lalu saya menyebut bahwa ketika menulis, tidak pernah terlintas mau diapakan tulisan ini. Pokok menulis. Untuk mendasarkan kekuatan menulis saya ambil Ade Rai yang saat ia berlatih angkat beban, tidak pernah terpikirkan olehnya akan dijadikan apa bentuk tubuhnya kelak. Kadang Adepun bosan dengan repetisi angkat beban yang itu-itu saja, selain menyakitkan tentunya. Seperti kita ketahui, sekarang, Ade Rai terkenal karena berubah menjadi pria yang tubuhnya dipuja banyak orang.
Tapi. Kalau mengingat bahwa didepan saya berbicara adalah para wartawan muda yang penuh semangat, cerdas dan lebih berpendidikan, kadang saya geli sendiri. Seperti menjual eskrim kepada orang Eskimo. Jadi harus pandai-pandainya kita menguntai pembicaraan. Tepat seperti slogan Wikimu, yang penting bisa-bisanya kita....
Comments
Saya juga bukan orang pers pak, jadi sangat senang dapat tambahan ilmu dan penambah semangat.
Terkadang orang Eskimo itu sudah kebal dengan dinginnya es, sehingga tidak tahu lagi dimana seninya membuat es krim. Jadi bolehlah sekali-kali kita sumbang saran...