Kopi Eva Riwayatmu Kini
Dalam perjalanan melalui darat dari Jakarta, menanjak di Bedono, Ambarawa kami menyempatkan diri beristirahat di sebuah tempat persinggahan legendaris, Kopi Eva. Pada masa Narayana (muda)1970-an, sebelum memarkirkan Honda S90Z, saya harus tepuk paha 3x untuk meyakinkan bahwa isi dompet masih bisa bertahan sebulan menunggu kiriman wesel orang tua selanjutnya.
Begitu "jleg" rem tangan diangkat, segera saya menuju peturasan yang langsung diikuti oleh seorang petugas berbaju putih. Rupanya begitu WC dipakai, mereka langsung menyiramnya mengingat kebiasaan sementara kita sekalipun air berlimpah ruah, tangan tinggal memencet tombolpun sering rasanya menyerahkan urusan "sentor-menyentor" kepada orang lain.
Masih terlalu sore untuk makan malam sehingga saya tidak mencoba Gudeg Manggar yang sering dibicarakan penulis kuliner. Gudeg "manggar" tidak dibuat dari buah nangka melainkan bunga pohon kelapa.
Kopi segera kami pesan dan tidak lama kemudian sudah terhidang kopi, ditambah "trasikan" makanan kecil berupa godogan tahu kulit yang kemepul (berkepul).
Rasanya memang pas betul, diudara dingin perbukitan Ambarawa, lalu disuguhi "TahuZilla" - sebab ukurannya bisa sepuluh kali lipat tahu yang dijajakan pengasong di tengah jalur HighWay kita dikala macet.
Rasa tahunya empuk dan gurih sehingga tidak perlu curiga akan campuran Formalinnya.
Kalau tahunya enak, apalagi kopinya, begitu saya berpromosi sambil menyeruput cairan hitam panas. Saya lirik anggota lainnya pada mengernyitkan kening pertanda sesuatu yang kurang beres sedang terjadi.
Lalu saya menaikkan kapasitas "kecerdasan lidah" dan yang terbayang adalah loncatan waktu di kereta api Senja Utama. Tepatnya saya tidak bisa membedakan apakah kopi ini saya pesan di restoran Kereta Api, atau penyeberangan Ferry Merak Bakahuni. Lantas kemana, rasa Kopi yang katanya super-duper lezat. Atau karena saya sudah mengalami distorsi Starbuck, Kopi Lampung, Kopi Aceh, Medan?
Sambil bertanya-tanya apa yang salah, saya menuju barang kerajinan yang dipamerkan disini. Sebuah patung seperti penggambaran dalam fiksi Da-Vinci dipajang disana, lalu wayang golek, peralatan minatur semacam kendang, bahkan replikasi "balung buto" - alias fosil gajah purba dijual disini dengan harga tidak terlalu murah, kadang bercampur dengan Es, maksudnya selain rupiah juga dinyatakan dengan dollar.
Saat akan membayar, di balik Kasir duduk seorang senior, jalannya terbungkuk didera usia. Kata petugas dia adalah pak Cip, sang Founder Kopi Eva. Di depannya terbentang buku "ledger" yang besar dengan angka yang rumit. Seorang petugas membacakan nota penjualan yang berwarna putih, nampaknya sangat tebal, sementara pak Cip (70-an) dengan tekun menuliskan deretan angka dari kiri ke kanan. Tangannya sedikit bergetar lantaran usia, namun yang luar biasa senior ini tidak menggunakan kacamata untuk membaca.
Jadi kepikiran, otak kalau teratur diperas, membuat seseorang menjadi lebih jernih ingatannya. Atau ini akibat sampingan mengonsumsi sirup kopi Eva.
mimbar [dot] saputro [at] gmail [dot]com
+62 811806549 - TEXT PLEASE
Comments