RTRW Net - cari pemasok

Dua tahun sudah saya berlangganan email "lumpsum" (harga putus) melalui CDMA. Seperti cerita bersambung mengenai ISP (Internet Provider) lainnya, main lama kualitas mereka semakin lama semakin tiarap sehingga berulangkali sebuah email harus kembali, atau email yang datang berulangkali di download dari servernya lantaran terputus ditengah jalan. Tetapi saya tidak memiliki pilihan lain.

Sementara ide berlangganan Speedy, terpaksa harus dikubur dalam-dalam. Pasalnya Telkom sudah hilang selera untuk menanam modal dengan pembelian tiang tilpun, menanam kabel tembaga yang rawan putus. Ingin berlangganan Kabelvision, entah kapan kabel tersebut singgah di daerah saya yang relatif baru.

Lho kok sekarang ada kegiatan internet keroyokan model RT/RW-Net. Semacam usaha membuat "HotSpot" yang dikelola swadaya RTRW.

Di kawasan seperti Villa Nusa Indah Bekasi, kegiatan macam ini menjamur. Lalu saya ingat pada tahun 1985-an ketika bersama teman se RT menariki kabel Coaxial hanya untuk mendapatkan sambungan Parabola seperti CNN. Yang tidak disadari, satu parabola dibuat "bancakan" oleh sekian puluh pelanggan, akhirnya gambar hanya sayup-sayup sampai. Nampaknya kegiatan akses internet RTRW akan mirip evolusi akses TV Parabola seperti dulu.
Maka saya segera menghubungi nomor tilpun yang tertera dalam iklan yang tertulis di Website.

Minggu pertama sekalipun saya memberikan nomor tilpun dan email address, belum ada yang memberikan respons. Biasanya saya mengirimkan SMS kepada nomor tilpun tersebut sebelum ditindak lanjuti dengan menilpun mereka. Hampir semua tilpun tidak diangkat atau hanya pesan untuk meninggalkan pesan dan hilang tanpa kesan.

Sampai akhirnya saya menerima sms-balasan dari seorang "Icang" - saya lihat ia seorang Sarjana Komputer yang mencari tambahan setelah jam kantor. Jadi semua transaksi dilakukan setelah jam 17 ke atas.

Mula-mula ia hanya ber-elo-guwe kepada saya sebagai pengganti anda atau saudara. Ini hal biasa bagiku. Maklum pemain RTRWnet biasanya anak-anak pelajar atau mahasiswa sehingga bahasanya model Qeknya (kiranya), secara gw gaul (menurut saya), Qrain (kirain), AP (Access Point), DC (Drop Connection), BW (Band Width) dan banyak slank-slank yang membuat rambut saya tumbuh sehelai demi sehelai dahulu (namun rontok berhelai kemudian) hari yang dijanjikan, saudara Icang datang dengan bercelana pendek.

Seperti yang saya duga ia kaget terkaget ada orang berambut putih, tuwir, dan hampir gundul menyambutnya di pintu pagar. Saya sendiripun kaget sebab ia hanya membawa sebilah antene YAGI (doang). Lalu kemana laptopnya?

Sebentar ia mencoba melongok posisi pemancar Antene setinggi lima meter yang ia pasang di rumahnya. Sekalipun menurut Yahoo Map, jaraknya 1,7 kilometer, kami tidak bisa "nyambung" dengan pemancarnya. Sayang GPS-nya ketinggalan di rumah.

Lalu ia mencoba menghubungi temannya yang memiliki GPS untuk menentukan lokasi (Lintang Selatan dan Bujur Timur) arah pemancar. Sialnya sang teman sedang "naar boven" dengan keluarganya untuk mencari kedamaian dan kenyamanan di puncak, yang biasanya mendapat bonus jalanan macet dan mangkel.

Keesokan harinya ia datang membawa teman dan GPS untuk menentukan pemancar Antenenya. Tenyata jaraknya 1,7 kilometer, masih dalam rentang siaran mereka yang 2,4 MHZ signal masih samar-samar tertangkap.

Dugaan penyebab buruk adalah sebatang pohon mangga besar yang kerap ditunggui oleh burung hantu yang kelihatan, dan hantu-hantu lain yang tidak kelihatan ternyata mampu menahan gelombang elektromagnetik. Sambil mencari akses, mas Icang cerita di kantornya pakai dua ISP Broad Band kelas jempolan. Ternyata dengan biaya hampir duapuluh juta perbulan, akses internet di kantornya masih sering mampet.

Terpaksa antene diarahkan ke PA (Point Access) yang lain di kawasan Poris-PasarKecapi, sekalipun jaraknya lebih jauh tetapi bebas pohon sehingga antene menangkap signal cukup kuat. Tiba-tiba ia berteriak "dua belas." - artinya ada signal nirkabel bisa diterima, sekalipun masih samar-samar.

Tetapi saya belum boleh berkipas sumringah sebab ketika berada di lantai atas, saya mendengar suara mengorok keluar dari tenggorokan TV satelit pertama kita. Nampaknya ada gangguan intervensi signal radio terhadap penerimaan Indovision sekalipun dibantah habis-habisan oleh pengelola RTRWNet.

Bagi saya tidak masalah, gampang saja, matikan IndoVision. Tetapi para Kitchen Kabinet didukung Kartini rumah, bisa berontak ultra keras lantaran kehilangan tontonan SinemaArt dan sinetron besutan Leo Sutanto yang menimbulkan rasa gemes kenapa Aldo dan Intan selalu sial. Lalu diam-diam saya menyediakan alternatif TV Satelit yang memang "ngedrop" kalau disambar hujan lebat, tetapi bergeming disapu gelombang 2,4MHZ. Kelemahannya tombol remote cara pengoperasiannya kurang ramah pakai.

Sekarang para teknisi sedang pulang untuk menyiapkan tiang dan antene grid. Lalu ia berjanji akan kembali besok pagi setelah jam kantor. Sekalipun berharap cemas, mudah-mudahan kedepan sambungan internet saya lancar.



Mimbar Bambang Saputro
mimbar [dot] saputro [at] gmail [dot]com
+62 811806549 - TEXT PLEASE

Comments

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

Menu Makanan Kantin di Rig Terapung