830- Hak Azasi Manusia jaman baheula
Raden Wiro Sastro masih jelas saat ia masih usia belasan. Hari pertama masuk Sekolah Menengah Pertama yang disebut MULO Meer Uitgebreid Lagar Onderwijs. Ini sekolah bagi para piyayi atawa menak. Muridnya hanya 29 orang, dan ia yang termasuk pribumi sekalipun keluarga terpandang tapi belum bisa menghilangkan rasa minder, lantaran bergaul dengan orang Belanda. Tiba-tiba seorang Belanda yang gendut bak Bajuri tapi menang tinggi besar, masuk ke kelas berteriak lantang "goede morgen, dames en heren."
Langsung dia merasa mak nyes, ketakutannya memudar. Bagaimana tidak seorang inlander bahan olokan sebagai bangsa yang malas, tiba-tiba dipanggil "Tuan dan Nyonya" oleh meneer Belanda. Alamak, betapa menggelembung hatinya lantaran raden Wiro Sastro dianggap dewasa. Mungkin dalam sejarah sekolahnya, Meneer van der Arpen cuma sekali menyebut mereka sebagai dabes en heren mungkin sekedar basa basi. Namun ucapan sang wali kelas mereka yang mendewasakan anak SMP dengan cara pendekatan yang ciamik tercor sekuat landasan helipad George Bush. Sampai menjelang ajalpun saat ingatan mulai copot satu persatu, nama meneer der Arpen tetap diingat. Kata kuncinya cuma satu "memanusiakan manusia.."
Mencapai tingkatan MULO, bukan urusan enteng. Pertama harus "Tajir wal kaya" kedua harus keluarga bangsawan. Dan Raden Wiro termasuk bangsawan dan tajir. Namun saat memasuki LANSIA, perlahan-lahan anaknya membuang tubuh tua ini ke panti jompo. Kini dengan usia merangkak 80, satu-satu kekayaan dan keluarganya adalah "Pus" - kucing kesayangannya.
Sembari mengelus si "pus" dipangkuannya ia mengenang, pernah terlambat 30 menit ke sekolah. Bukan apa-apa, daerahnya berjangkit penyakit menular sehingga sering diadakan razia oleh Departemen Kesehatan (Gezonheids-dienst) untuk di cacar atau di suntik TCD (Typhus Cholera Dysentry).
Saat ia masuk sekolah, gerbang sudah tertutup sehingga ia harus mengetuk pintu dan menghadap direktur sekolah dan menceritakan alasan terlambat. Ia diperbolehkan masuk setelah diberi wejangan. "Lain kali kalau kamu dipaksa disuntik di jalanan, kamu wajib menolak. Ini masalah Recht (hukum) dan Plicht (kewajiban). Camkan sekali lagi, kamu bisa menolak. Aku akan protes kepada pihak terkait atas kesewenang-wenangannya mereka.."
Sejak itu Raden Wiryo mengenal ada konsep HAM, yang diterimanya dari orang Belanda yang notabene kolonial, penjajah, penghisap darah dan mengeruk kekayaan bumi Pertiwi.
Maka amatlah menyedihkan ketika menjelang peringatan Hari Pahlawan, saya melihat anak SMA di Lampung di gunduli oleh aparat keamanan yang kurang kerjaan dan guru-gurunya, hanya karena mereka berambut mulai menyentuh kerah baju.
Ketika di SMU Tanjung Karang - Bandar Lampung seorang guru Civic (sekarang PMP), mengajar moral Pancasila dengan mencari-cari murid tak berseragam, berambut mulai menyentuh bahu, tidak pakai dasi lalu memberi nilai merah pada pelajaran Civic bagi murid yang pandai namun berambut panjang atau perilaku yang dirasanya "indisiplioner". Kata "indisiplioner" memang selalu didengungkan setiap upacara.
Satu ketika teman saya jengkel setengah mati. Guru tadi dihadang untuk diajak berkelahi. Sebab guru kami mentang-mentang dari daerah yang terkenal banyak jagoannya, sering menyelipkan lading "garpu" - ini pisau dapur bergagang kayu bermerek Solingen Jerman, disela kaos kakinya, lalu menantang murid kalau tidak suka dengan kebijakannya boleh "bicara" di jalan atau dimana saja.
Nah tawaran ini di amini oleh teman yang memang rada berobat jalan. Lantaran "ambush" dilakukan didepan rumah, maka yang pertama kali sembunyi dibawah pagar beluntas adalah saya sembari ketar-ketir takut terlibat menjadi saksi kemudian tersangka. Teman tadi memang sudah "sampai sini nih" sambil memeragakan telapak menghadap kebawah dan ditempelkan di bawah hidung tanda hampir tenggelam. Teman tadi merasa HAM-nya diusik.
Saya mendengar "bapak harus membedakan hukuman disiplin karena tak seragam putih-putih saat hari Senin, dengan nilai pelajaran Civic, ini tidak ada hubungannya. Katanya anti komunis, tapi memaksa murid seragam, berambut cepak seperti Tentara Merah saya pikir tiru-tiru orang Cina Komunis." - ini cerita tahun 1970-an lho ketika isu Komunis masih ampuh. Bukannya isu komunis yang sekarang malahan makin "bener" sepak terjangnya, makin memutar 360derajat dari sumbunya. Sekarang lakone miturut pak mantheb "Suharto always wrong loh."
Memang tidak terjadi drama penusukan seperti yang saya kuatirkan, sebab guru mulai menyadari kekeliruannya dan berakhir dengan salaman. Cuma yang nggak nahan, di upacara bendera nama saya disebut: "di depan rumah Mimbar, saya diajak bicara sambil berdiri olah seorang teman yang salah paham akan tindakan saya yang menyetrap para pelaku "indisplioner"..."
Langsung kepala saya berkunang-kunang, terbayang angka Civic diraport bakalan merah karena ikut mengompori perbuatan "indisiplioner". Padahal ndak perlu digunduli, nanti salah satu pelaku "pura-pura HAM" sudah gundul sendiri.
Mimbar Bambang Saputro
mimbar-list@yahoogroups.com
Langsung dia merasa mak nyes, ketakutannya memudar. Bagaimana tidak seorang inlander bahan olokan sebagai bangsa yang malas, tiba-tiba dipanggil "Tuan dan Nyonya" oleh meneer Belanda. Alamak, betapa menggelembung hatinya lantaran raden Wiro Sastro dianggap dewasa. Mungkin dalam sejarah sekolahnya, Meneer van der Arpen cuma sekali menyebut mereka sebagai dabes en heren mungkin sekedar basa basi. Namun ucapan sang wali kelas mereka yang mendewasakan anak SMP dengan cara pendekatan yang ciamik tercor sekuat landasan helipad George Bush. Sampai menjelang ajalpun saat ingatan mulai copot satu persatu, nama meneer der Arpen tetap diingat. Kata kuncinya cuma satu "memanusiakan manusia.."
Mencapai tingkatan MULO, bukan urusan enteng. Pertama harus "Tajir wal kaya" kedua harus keluarga bangsawan. Dan Raden Wiro termasuk bangsawan dan tajir. Namun saat memasuki LANSIA, perlahan-lahan anaknya membuang tubuh tua ini ke panti jompo. Kini dengan usia merangkak 80, satu-satu kekayaan dan keluarganya adalah "Pus" - kucing kesayangannya.
Sembari mengelus si "pus" dipangkuannya ia mengenang, pernah terlambat 30 menit ke sekolah. Bukan apa-apa, daerahnya berjangkit penyakit menular sehingga sering diadakan razia oleh Departemen Kesehatan (Gezonheids-dienst) untuk di cacar atau di suntik TCD (Typhus Cholera Dysentry).
Saat ia masuk sekolah, gerbang sudah tertutup sehingga ia harus mengetuk pintu dan menghadap direktur sekolah dan menceritakan alasan terlambat. Ia diperbolehkan masuk setelah diberi wejangan. "Lain kali kalau kamu dipaksa disuntik di jalanan, kamu wajib menolak. Ini masalah Recht (hukum) dan Plicht (kewajiban). Camkan sekali lagi, kamu bisa menolak. Aku akan protes kepada pihak terkait atas kesewenang-wenangannya mereka.."
Sejak itu Raden Wiryo mengenal ada konsep HAM, yang diterimanya dari orang Belanda yang notabene kolonial, penjajah, penghisap darah dan mengeruk kekayaan bumi Pertiwi.
Maka amatlah menyedihkan ketika menjelang peringatan Hari Pahlawan, saya melihat anak SMA di Lampung di gunduli oleh aparat keamanan yang kurang kerjaan dan guru-gurunya, hanya karena mereka berambut mulai menyentuh kerah baju.
Ketika di SMU Tanjung Karang - Bandar Lampung seorang guru Civic (sekarang PMP), mengajar moral Pancasila dengan mencari-cari murid tak berseragam, berambut mulai menyentuh bahu, tidak pakai dasi lalu memberi nilai merah pada pelajaran Civic bagi murid yang pandai namun berambut panjang atau perilaku yang dirasanya "indisiplioner". Kata "indisiplioner" memang selalu didengungkan setiap upacara.
Satu ketika teman saya jengkel setengah mati. Guru tadi dihadang untuk diajak berkelahi. Sebab guru kami mentang-mentang dari daerah yang terkenal banyak jagoannya, sering menyelipkan lading "garpu" - ini pisau dapur bergagang kayu bermerek Solingen Jerman, disela kaos kakinya, lalu menantang murid kalau tidak suka dengan kebijakannya boleh "bicara" di jalan atau dimana saja.
Nah tawaran ini di amini oleh teman yang memang rada berobat jalan. Lantaran "ambush" dilakukan didepan rumah, maka yang pertama kali sembunyi dibawah pagar beluntas adalah saya sembari ketar-ketir takut terlibat menjadi saksi kemudian tersangka. Teman tadi memang sudah "sampai sini nih" sambil memeragakan telapak menghadap kebawah dan ditempelkan di bawah hidung tanda hampir tenggelam. Teman tadi merasa HAM-nya diusik.
Saya mendengar "bapak harus membedakan hukuman disiplin karena tak seragam putih-putih saat hari Senin, dengan nilai pelajaran Civic, ini tidak ada hubungannya. Katanya anti komunis, tapi memaksa murid seragam, berambut cepak seperti Tentara Merah saya pikir tiru-tiru orang Cina Komunis." - ini cerita tahun 1970-an lho ketika isu Komunis masih ampuh. Bukannya isu komunis yang sekarang malahan makin "bener" sepak terjangnya, makin memutar 360derajat dari sumbunya. Sekarang lakone miturut pak mantheb "Suharto always wrong loh."
Memang tidak terjadi drama penusukan seperti yang saya kuatirkan, sebab guru mulai menyadari kekeliruannya dan berakhir dengan salaman. Cuma yang nggak nahan, di upacara bendera nama saya disebut: "di depan rumah Mimbar, saya diajak bicara sambil berdiri olah seorang teman yang salah paham akan tindakan saya yang menyetrap para pelaku "indisplioner"..."
Langsung kepala saya berkunang-kunang, terbayang angka Civic diraport bakalan merah karena ikut mengompori perbuatan "indisiplioner". Padahal ndak perlu digunduli, nanti salah satu pelaku "pura-pura HAM" sudah gundul sendiri.
Mimbar Bambang Saputro
mimbar-list@yahoogroups.com
Comments