828 - Resto Padang dan daun singkong rebus
Berita di Warta Kota Kamis 9 Nopember 2006, sebuah cabang Rumah MakanPadang (RMP) yang terkenal di Ibukota telah dirampok pada pukul 04:30 dinihari. Perampok yang menurut saksi mata berbadan tegap, berkaos hijau dan hitam seperti layaknya petugas keamanan kita rupanya mengikuti mobil supplier bumbu dan sayur yang memang selalu datang setiap pagi.
Setelah mengikat lima karyawannya, brandkas dibongkar pakai linggis dan 114 juta rupiah amblas dipagi buta. Belum termasuk uang didalam dompet para karyawan yang malang itu.
Rumah makan legendaris ini didirikan pada dua puluh lima tahun lalu di kawasan Bendungan Hilir. Setelah berkembang mereka bergerak ke arah barat di kawasan Roxy. Sekarang puluhan RMP serupa didirikan dengan sistem waralaba.
Rupanya setelah menjadi besar, maka banyaklah para investor mempertaruhkan modalnya di bidang jasa boga. Apalagi diprovokasi koran maupun tabloid bahwa berinvestasi dengan cara Franchise Rumah Makan adalah cara jitu mengeruk uang. Pemeo, siapapun Presidennya, Rumah Makan Padang makanannya memperkuat cara pikir sementara orang.
Pendeknya asal punya duit, cari tempat yang strategis, sebar investasi. Selanjutnya duduk berkipas menuai rupiah demi rupiah. Anak cucu tinggal meneruskan warisan usaha kita kelak.
Paling tidak terjadilah seperti yang dikehendaki oleh penulis buku manajemen dalam buku-buku larisnya.
Tahun 2005 di kawasan Jakarta Barat, tempat saya biasa jalan kaki pagi, berdirilah sebuah cabang RMP terkenal. Menilik sukses yang dipetik sebelumnya. Berbekal nama besar perusahaan dan reputasinya. Saya teramat percaya bahwa daerah kami akan bertambah ramainya daerah kami dengan lalu lalang pelanggan RMP tersebut. Bayangkan dikepung paling tidak 3 universitas swasta terkenal, 4 buah mal, sebuah pasar tradisional, perkantoran dan tidak terhitung pelaku bisnis seperti ikan, percetakan yang tersebar di sana.
Dan Radio Dengkul kawasan kami mulai mewartakan keberadaan tempat makan tersebut.
Sayangnya, yang saya peroleh adalah mulut menyungging cibir "nggak enak, kadang basi".
Busyet.. apa aku tertipu lagi (oleh artikel bisnis di majalah dan tabloid)..
Yang membuat saya kawatir separuh tidak percaya, lawan bicara saya adalah para maniak RMP yang rela ngelaju (pergi jauh) hanya untuk menikmati makanan kesayangannya.
Cerita miring selalu cepat beredar sampai suatu saat saya menyoba sendiri. Suasana RMP termasuk sepi untuk sebuah nama besar. Kami satu-satunya pengunjung saat itu. Sementara petugas berseragam birulangit seperti terganggu acara wisata channel TV yang banyak menghidangkan acara semi mistik ketimbang melayani seorang wisatawan kuliner kelas cecere.
Lalu saya pesan rendang, gulai ayam, sayur nangka, semua saya libas. Gleg Nyem Nyem. Kehebatan masakan padang memang "ngadep-adepi" alias luar biasa. Tambah lagi nasi putih, baru nyadar sekalipun saya kurang sreg akibat nasi masih menggumpal, tetapi masih dalam koridor toleransi.
Sepiring daun singkong nampak menggairahkan. Saat mencocol lembar daun singkong yang luar biasanya seperti baru dipetik saking warna kehijauannya sekalipun sudah di rebus, mulai tercium bau seperti masakan "nget-ngetan" disamping sayur mulai "ngiler" - rupanya inilah "tumpah darah" beredarnya respon negatip dari para penikmat masakan padang van Grogol. Padahal kalau dipikir berapa sih harga daun singkong seharusnya karyawan segera mencium atau merasakan apabila ada yang tidak beres dari barang dagangannya. Memang benar daun singkong, potongan ketimun segar, sambal cabe hijau dianggap sebagai bonus. namun tidak berarti mengabaikan kualitetnya. Mengapa tidak diganti dengan yang lebih segar?. Kesalahan setitik namun menuai gossip sebelanga.
Dengan kecepatan rudal beredar kemana-mana. Biasanya berkembang dari isue "factual" adalah daun singkong basi, menjadi fiksi terusan seperti banyak lalat ijo, tikus berkeliaran, bahkan yang ambil kuliah extension dari TV Seram bin mistis, akan menambahkan ada buto ijo berkeliaran sekitar restoran menyoba mempengaruhi para penikmat warung.
Sejak itu karyawan restoran nampak lebnih banyak memegang gitar dan koran ketimbang piring. Saya menduga bakalan "kukut-kukut" sebentar lagi. Benar saja. Memasuki tahun 2006, mereka terpaksa lempar handuk putih dan usung kopor dari sana. Namun belum menyerah telak sebab, beberapa waktu kemudian pelang nama diubah dengan nama masakan yang sama namun merek bukan terkenal. Sayang, bak iklan para dokter urusan esek-esek. Resto ini tak ubahnya orang berbaris, "baru lancang depan keburu siap grak" - Restoran kedua inipun bubar jalan.
Saya kembali ke warung-warung lama, nasi padang aroma Lebaksiu Tegal.
****
Tilpun saya berdering, menilik nomornya saya tahu dari Jakarta sementara saya ada di Perth. Biasanya tidak saya jawab (kecuali SMS), supaya penilpun tidak terlibas ongkos roaming. Tapi ini dari keluarga dan belum tentu satu kali puasa satu kali lebaran mereka menilpun saya.
Mungkin isu keluarga. Saya angkat pesawat, suara anak anak terpatah-patah, beritanya "semua sakit perut, papa sakit perut, mama sakit perut mbak Meg sakit, Fadel sakit...dst"
Lalu putus...
Saya SMS balik, siapa yang sakit perut dan gara-gara apa.
Gantian pemilik tilpun keheranan karena dia tidak merasa menilpun saya. Dan gantian tanya darimana saya tahu bahwa mereka sekeluarga sakit, lalu mestinya diobati apa. Bola panas rupanya. Saya kebingungan. Pertama suami dan isteri adalah dokter yang tak perlu mendengar nasihat soal pengobaan, kedua kok ada suara anak kecil lelaki menilpun di luar jalur BKO.
Maaf untuk urusan cerita esoteris, atawa telepati. Saya kesampingkan dulu.
Ternyata mereka sedang berlibur di Bandung, sekalianmenengok anak-anaknya yang kuliah di sana. Lalu kebersamaan diakhiri dengan makan malam di sebuah RMS (Sunda). Beberapa masakan sudah bekas diaduk-aduk pembeli terdahulu (maklum semi prasmanan, dan hari sudah sekitar jam 8 malam), dan ada yang sudah mulai "ngiler" - tapi adik maupun saya "adalah lelaki" dan pantang menyerah dengan masakan ngiler.
Maka inilah cerita keluarga dokter terkena sakit perut sampai 3 hari. Baru sembuh setelah di roket dengan rajanya obat sakit perut.
Di Bekasi beberapa masakan ngiler dari RMS langganan juga kerap ditemui. Toh kalau ini terjadi biasanya saya hanya berbisik kepada sang pemilik warung. Reaksi mereka, meng-ainul sampai ke haqul diperlukan 10 detik`saat hidungnya mulai disengat bau tak sedap. Biasanya masakan dilorot dari tangga teratas turun sedikit 25cm. Rumah makan Sunda biasanya memajang makanannya diatas panggung setinggi 25cm dari meja panjang.
Tiada bonus untuk sang relawan "QC". Tidak perduli pesanan segar atau ngiler sampai tidak bisa dimakan harus bayar full. Sial bener. Pasalnya kalau sudah begini nafsu-nafsi makan sudah buyar.
Sebagai penggemar pepes jamur, jerohan ikan dan telurnya, yang umumnya hanya diperoleh di rm Sunda maka satu-satunya cara adalah kendorkan rem lalu pindah lahan dan berburu ke lain boga. Mencari RMS dengan masakan segar.
Mimbar Bambang Saputro
Setelah mengikat lima karyawannya, brandkas dibongkar pakai linggis dan 114 juta rupiah amblas dipagi buta. Belum termasuk uang didalam dompet para karyawan yang malang itu.
Rumah makan legendaris ini didirikan pada dua puluh lima tahun lalu di kawasan Bendungan Hilir. Setelah berkembang mereka bergerak ke arah barat di kawasan Roxy. Sekarang puluhan RMP serupa didirikan dengan sistem waralaba.
Rupanya setelah menjadi besar, maka banyaklah para investor mempertaruhkan modalnya di bidang jasa boga. Apalagi diprovokasi koran maupun tabloid bahwa berinvestasi dengan cara Franchise Rumah Makan adalah cara jitu mengeruk uang. Pemeo, siapapun Presidennya, Rumah Makan Padang makanannya memperkuat cara pikir sementara orang.
Pendeknya asal punya duit, cari tempat yang strategis, sebar investasi. Selanjutnya duduk berkipas menuai rupiah demi rupiah. Anak cucu tinggal meneruskan warisan usaha kita kelak.
Paling tidak terjadilah seperti yang dikehendaki oleh penulis buku manajemen dalam buku-buku larisnya.
Tahun 2005 di kawasan Jakarta Barat, tempat saya biasa jalan kaki pagi, berdirilah sebuah cabang RMP terkenal. Menilik sukses yang dipetik sebelumnya. Berbekal nama besar perusahaan dan reputasinya. Saya teramat percaya bahwa daerah kami akan bertambah ramainya daerah kami dengan lalu lalang pelanggan RMP tersebut. Bayangkan dikepung paling tidak 3 universitas swasta terkenal, 4 buah mal, sebuah pasar tradisional, perkantoran dan tidak terhitung pelaku bisnis seperti ikan, percetakan yang tersebar di sana.
Dan Radio Dengkul kawasan kami mulai mewartakan keberadaan tempat makan tersebut.
Sayangnya, yang saya peroleh adalah mulut menyungging cibir "nggak enak, kadang basi".
Busyet.. apa aku tertipu lagi (oleh artikel bisnis di majalah dan tabloid)..
Yang membuat saya kawatir separuh tidak percaya, lawan bicara saya adalah para maniak RMP yang rela ngelaju (pergi jauh) hanya untuk menikmati makanan kesayangannya.
Cerita miring selalu cepat beredar sampai suatu saat saya menyoba sendiri. Suasana RMP termasuk sepi untuk sebuah nama besar. Kami satu-satunya pengunjung saat itu. Sementara petugas berseragam birulangit seperti terganggu acara wisata channel TV yang banyak menghidangkan acara semi mistik ketimbang melayani seorang wisatawan kuliner kelas cecere.
Lalu saya pesan rendang, gulai ayam, sayur nangka, semua saya libas. Gleg Nyem Nyem. Kehebatan masakan padang memang "ngadep-adepi" alias luar biasa. Tambah lagi nasi putih, baru nyadar sekalipun saya kurang sreg akibat nasi masih menggumpal, tetapi masih dalam koridor toleransi.
Sepiring daun singkong nampak menggairahkan. Saat mencocol lembar daun singkong yang luar biasanya seperti baru dipetik saking warna kehijauannya sekalipun sudah di rebus, mulai tercium bau seperti masakan "nget-ngetan" disamping sayur mulai "ngiler" - rupanya inilah "tumpah darah" beredarnya respon negatip dari para penikmat masakan padang van Grogol. Padahal kalau dipikir berapa sih harga daun singkong seharusnya karyawan segera mencium atau merasakan apabila ada yang tidak beres dari barang dagangannya. Memang benar daun singkong, potongan ketimun segar, sambal cabe hijau dianggap sebagai bonus. namun tidak berarti mengabaikan kualitetnya. Mengapa tidak diganti dengan yang lebih segar?. Kesalahan setitik namun menuai gossip sebelanga.
Dengan kecepatan rudal beredar kemana-mana. Biasanya berkembang dari isue "factual" adalah daun singkong basi, menjadi fiksi terusan seperti banyak lalat ijo, tikus berkeliaran, bahkan yang ambil kuliah extension dari TV Seram bin mistis, akan menambahkan ada buto ijo berkeliaran sekitar restoran menyoba mempengaruhi para penikmat warung.
Sejak itu karyawan restoran nampak lebnih banyak memegang gitar dan koran ketimbang piring. Saya menduga bakalan "kukut-kukut" sebentar lagi. Benar saja. Memasuki tahun 2006, mereka terpaksa lempar handuk putih dan usung kopor dari sana. Namun belum menyerah telak sebab, beberapa waktu kemudian pelang nama diubah dengan nama masakan yang sama namun merek bukan terkenal. Sayang, bak iklan para dokter urusan esek-esek. Resto ini tak ubahnya orang berbaris, "baru lancang depan keburu siap grak" - Restoran kedua inipun bubar jalan.
Saya kembali ke warung-warung lama, nasi padang aroma Lebaksiu Tegal.
****
Tilpun saya berdering, menilik nomornya saya tahu dari Jakarta sementara saya ada di Perth. Biasanya tidak saya jawab (kecuali SMS), supaya penilpun tidak terlibas ongkos roaming. Tapi ini dari keluarga dan belum tentu satu kali puasa satu kali lebaran mereka menilpun saya.
Mungkin isu keluarga. Saya angkat pesawat, suara anak anak terpatah-patah, beritanya "semua sakit perut, papa sakit perut, mama sakit perut mbak Meg sakit, Fadel sakit...dst"
Lalu putus...
Saya SMS balik, siapa yang sakit perut dan gara-gara apa.
Gantian pemilik tilpun keheranan karena dia tidak merasa menilpun saya. Dan gantian tanya darimana saya tahu bahwa mereka sekeluarga sakit, lalu mestinya diobati apa. Bola panas rupanya. Saya kebingungan. Pertama suami dan isteri adalah dokter yang tak perlu mendengar nasihat soal pengobaan, kedua kok ada suara anak kecil lelaki menilpun di luar jalur BKO.
Maaf untuk urusan cerita esoteris, atawa telepati. Saya kesampingkan dulu.
Ternyata mereka sedang berlibur di Bandung, sekalianmenengok anak-anaknya yang kuliah di sana. Lalu kebersamaan diakhiri dengan makan malam di sebuah RMS (Sunda). Beberapa masakan sudah bekas diaduk-aduk pembeli terdahulu (maklum semi prasmanan, dan hari sudah sekitar jam 8 malam), dan ada yang sudah mulai "ngiler" - tapi adik maupun saya "adalah lelaki" dan pantang menyerah dengan masakan ngiler.
Maka inilah cerita keluarga dokter terkena sakit perut sampai 3 hari. Baru sembuh setelah di roket dengan rajanya obat sakit perut.
Di Bekasi beberapa masakan ngiler dari RMS langganan juga kerap ditemui. Toh kalau ini terjadi biasanya saya hanya berbisik kepada sang pemilik warung. Reaksi mereka, meng-ainul sampai ke haqul diperlukan 10 detik`saat hidungnya mulai disengat bau tak sedap. Biasanya masakan dilorot dari tangga teratas turun sedikit 25cm. Rumah makan Sunda biasanya memajang makanannya diatas panggung setinggi 25cm dari meja panjang.
Tiada bonus untuk sang relawan "QC". Tidak perduli pesanan segar atau ngiler sampai tidak bisa dimakan harus bayar full. Sial bener. Pasalnya kalau sudah begini nafsu-nafsi makan sudah buyar.
Sebagai penggemar pepes jamur, jerohan ikan dan telurnya, yang umumnya hanya diperoleh di rm Sunda maka satu-satunya cara adalah kendorkan rem lalu pindah lahan dan berburu ke lain boga. Mencari RMS dengan masakan segar.
Mimbar Bambang Saputro
Comments
IKA Banjarmasin