807- Tiada hari (hampir ) tanpa Semburan Liar
Tahun 1985-an (lebih dikit) perusahaan mudlogging kami mendapatkan pekerjaan untuk penyediaan jasa MudLogging di pedalaman Kalimantan Barat, lokasinya Nanga Pinoh. Namun karena di perut bumi sana, para ahli Geologi "poenya koewasa" membuat semacam RT,RW,Kecamatan yang perbatasannya amat berbeda dengan yang dipermukaan tanah. Disini tidak ada patok, tugu selamat datang dan selamat jalan seperti yang dilihat dipermukaan tanah. Salah satu kapling adalah Blok Melawi.
Dari Jakarta kami menumpang pesawat komersial paling pagi ke Pontianak, lalu digantikan dengan pesawat berbaling-baling kecil charteran ke airstrip Nanga Pinoh. Dari Nanga Pinoh kami dijemput dengan helikopter ke lokasi pengeboran, atau "site" atau situs.
Melihat lokasinya, berhutan, rawa, topografi yang terjal, curam silih berganti, maka dukungan logistic diberikan oleh satuan udara "helikopter." Cabin peralatan kami rata-rata bobotnya mencapai sembilan ton diluar kemampuan helikopter, sehingga dirancang cabin khusus (Heli Portable) yang terbuat dari alumininum sehingga bobot bisa turun menjadi 4 ton. Dan cabin "normal" ini masih dipotong dua sehingga bobot menjadi 2 ton agar mampu diangkut helikopter. Sementara logistik yang berat-berat jauh-jauh hari ditransportasi melalui sungai. Begitu yang "debrief" yang saya terima dari Jakarta.
Saat tiba di lokasi, situasi tidak seperti yang saya banyangkan. Justru yang tampak mata adalah episode tayangan jaman Romawi, tatkala beberapa peralatan Rig diseret ditumpuk diatas balok kayu lantas diseret ke situs. Rupanya helikopter yang diandalkan untuk daya dukung udara sedang mengalami masalah "hilang daya" - sehingga beberapa tranportasi mengandalkan tenaga mesin 2WD berbahan bakar "nasi pecel"
Perusahaan Perancis yang menyewa kami (ini agak diluar kebiasaan sebab perusahaan Perancis umumnya lebih sreg menggunakan produk berasal dari mereka) - menengarai bahwa daerah pengeboran disini akan memasuki kapling yang penghuninya sangar, tidak ramah dan mudah naik darah.
Maka nyerocoslah istilah membingungkan awam seperti "gas kick," "blowout," "well control" dan tak lupa BOP alias Blow Out Preventer.
Kementrian Geologi menyebutnya "Zona Bertekanan Tinggi" - cirinya adalah rawan "semburan-liar" sehingga kami diminta mengaktipkan peralatan yang disebut Peringatan Dini Semburan Liar. Sebut saja "Early Kick Detection."
Saya sendiri miskin pengalaman dalam mengoperasikan peralatan yang kalau di bengkel, para montir menyebutnya kelas "Mersi (Mercy)." Alat ini memang ampuh, lantaran kalau ada gejala perut bumi mual-mual kami yang duduk diruang ber-AC sudah bisa melihat grafik anomalinya. Lalu informasi ini diteruskan ke juru bor (driller). Mudlogger di rig memang sering diledek NATO, sebab tugasnya memang hanya "memberi informasi" terutama kepada juru bor yang memegang kendali operasi mesing pengeboran (Rig).
Hari pertama pengoperasian alat, biasanya para Juru Bor gantian melongo melihat kami para mudlogger seakan "bomoh bin paranormal" - kok bisa-bisanya meramal "anda diberi waktu 20 menit sebelum sumur memuntahkan isi perutnya. Angka duapuluh menit adalah waktu yang
diperlukan dari perut bumi ke permukaan, dan ini bukan "mambo jumbo timlo" melainkan perhitungan volumetrik yang kami sebut sebagai "lag time".
Ternyata ramalan pihak Elf, benar sumur Melawi-1 (angka kecil menunjukkan sumur taruhan atau expllosari memang "agak" sangar, saat memasuki kedalaman diatas 1200 meter kami mengalami semburan "setengah" liar. Artinya muntahan lumpur sempat terpelanting ke udara sampai ketinggian 2-3 meter dari lantai bor. Tetapi dengan cepat keadaan aman dan terkendali.
Semburan terhebat biasanya terjadi mengiringi operasi ganti pahat.
Pahat yang dipakai disini kelewat boros. Lantaran satu pahat secara teori bisa mengebor ratusan meter, ini baru 25 meter sudah "nggedibel" tidak bisa maju-maju.
Struktur Geologi dikawasan ini memang unik. Umumnya orang mengebor batu pasir kecepatannya akan melonjak dua kali lipat lebih ketimbang mengebor lapisan batu lempung. Alasannya, batu lempung lebih liat (iyalah namanya juga tanah liat), sedangkan batu pasir, mak-prol, karena pasir lebih porous (berongga). Waktu mahasiswa, pertanyaan sederhana ini pernah menjungkelkan saya, logika saya tidak bisa menjelaskan fenomena tersebut. Akibatnya saya tidak lulus dalam ujian lisan pelajaran Teknik Pemboran. Sial bener.
Tapi di Melawi, keadaan berubah 180 derajat. Pasirnya seliat lempung tapi Tanah liatnya seempuk pasir. Gara-gara tidak sesuai dengan buku panduan, maka interpretasi bawah permukaan (tanah) rada kedodoran. Pingin saya rasanya "halo-halo" kepada bapak dosen yang dulu begitu dogmatis bahwa selalu ada anomali di permukaan bumi ini.
Gara-gara batu pasir begitu kompak dan keras, maka daya abrasivenya juga nggegirisi. Mengebor bisa dapat 25 meter, mata bor sudah tumpul dan harus dicabut ke permukaan untuk diganti.
"Yen dipikir-pikir" ini batuan apa amplas besi nomor 3 (paling kasar), lantaran setiap matabor yang masuk lubang secara alon-alon namun meyakinkan, dikikis sampai menjadi aus. Jadi kalau rencananya membuat lubang bergaris tengah 12,25inci lantaran aus, lubang yang terbentuk bisa jadi ukuran banci.
Dalam teknik pengeboran hal ini tidak bisa ditolerir sehingga harus dilakukan pembesaran lubang atau bor ulang dengan mata bor baru. Pertamina menamakan operasi ini sebagai "rembis."
Mengganti mata bor berarti pengeboran harus distop. Operasi pemboran ganti mode ke operasi cabut-masuk.
Setelah pompa lumpur dimatikan. Otomatis sirkulasi lumpur terhenti.
Ada fenomena dimana isi formasi termasuk gas, dan minyak masuk kedalam sumur dan mengendap didasar lubang. Saat pompa dihidupkan, gas dibawa lumpur ke permukaan, dipermukaan lalu melakukan expansi dan pada konsidi tertentu menyembur. Orang pengeboran menamakan ini sebagai Tripping Gas Fenomena.
Juru bor atau driller yang "juga manusia", memiliki alat deteksi sendiri, namun karena kurang sensitip (pakai P), seringkali mereka keteter mendeteksi kemungkinan semburan liar. Tapi dasar nasib mudlogger, sekalipun berkali-kali memberitahu akan bahaya semburan liar, entoch pak jurubor Perancis itu sering mengumpat "stupid mudlogger do not know whats he talking about.." .
Nah setelah lantai bor belepotan "blethok" tanah liat dan pasir dan lumpur sejalan dengan waktu mereka percaya ramalan dari "stupid mudlogger."
Karena semburan liar masih tetap ngeyel juga, lumpur yang dipakai diperberat dengan penambahan bahan kimia semacam barite sehingga berat jenis lumpur bobotnya mencapai 1,3 kali lebih berat ketimbang berat air.
Anda seperti mengangkat air raksa (adiknya), kelihatannya cairan tapi berat. Tapi cara inipun punya batasannya sebab kalau lumpur dinaikkan terus menerus, gantian batuan pasir yang diperut bumi bakalan retak bin resam tidak kuat menahan lumpur yang beratnya mendekati air raksa (kurang dikit). Untuk membayangkan bedanya air dengan lumpur berat ini, dilakukan percobaan di rig. Kedalam tangki lumpur secara perlahan-lahan dinaikkan lumpur bor dari berat jenis air sama dengan 1 gram per cc (gr/cc), perlahan diaduk dengan barite dari satu koma lima (1,5). Untuk mengetahui berat lumpur, secara berkala ada timbangan manual yang mudah dioperasikan dilapangan.
Saat berat lumpur mencapai 1,5 gr/cc tangki baja setebal 12mm perlahan menggelembung sehingga percobaan dihentikan, beberapa rangka baja ditambahkan untuk memperkuat perut tangki. Perusahaan sudah puas saat tangki mampu menggendong lumpur 2 gr/cc. Dengan melihat bagaimana dahsyatnya kekuatan lumpur bor. Terjadi dilema, sebab kalau lumpur dinaikkan terus menerus, bakalan meretakkan batuan dan ujung-ujungnya lumpur yang mahal bakal hilang "nlesep" kedalam celah batuan. Lebih apes lagi kalau terjadi komplikasi retaknya menembus sampai permukaan nun jauh dari lubang bor. Lalu disusul dengan gas bertekanan tinggi. Bisa berabe.
Dilain pihak, kalau lumpur kurang berat, gantian semburan gas mendesing ke udara disertai suara gemuruh bak mesin jet. Tapi dasar orang minyak, deru dan desing bising begini dibilang "sumur bernyanyi." - bahkan ketika terjadi "tendangan gas" - orang minyak akan mengatakan "well is talking" - sumur sedang berdialog kepada kita, bahwa ada yang tidak beres didalam lubang sana. Kalau masih ngeyel tidak memperbaiki keadaan, akibatnya ditanggung sendiri.
Akhirnya dicari jalan tengah.
Lumpur dipakai yang sedang-sedang saja. Sementara gas dan cairan yang mendorong-dorong dibiarkan mengalir melalui pipa kepermukaan. Saat peristiwa ini terjadi, tentunya diskusi, rapat dilakukan secara intensip sebab resiko semburan liar bisa menakutkan.
Mula-mula diukur dengan cara "sederhana" sekitar 3 drum besar perhari. Tentunya semprotan lumpur ini tergolong kelas teri-nasi van Krueng Raya ketimbang muntahnya gadis Sidoarjo alias mbak Banjar-Panji-1 yang memuntahkan Lumpur Volcano sampai lima ribu kubik perhari yang setara dengan volume sampah Jakarta yang ditumpuk ke Bantar Gebang- Bekasi setiap harinya.
Kenangan lain yang masih membekas adalah pohon Pinang Merah Kalimantan Cystostachys lakka yang sampai sekarang sudah besar. Kami biasanya membeli di Airport Pontianak. Sayang kalau anakkannya mau dipecah, selalu gagal. Mereka tetap dalam koridor Pinang Merah Bersatu. Jadi tidak mau dipecah-pecah, sekalipun dalam bentuk Federasi Pinang..
Die Hard mudlogger..
Tuesday, September 12, 2006
http://mimbar2006.blogspot.com
Comments