795- Nenek Pisang

Ada pemandangan yang hilang di kantor pos Grogol berkode 11450. Padahal ada puluhan senior dan seniorita duduk manis-manis menunggu giliran dipanggil namanya. Sebuah pengeras suara nampak disiapkan untuk menyampaikan pengumuman atau memanggil sebuah nama.

Biasanya seorang ibu manis, ramah, melayani penjualan benda pos sambil berdiri sementara anaknya, Rahmat, yang usia 4 tahunan duduk dikursi ibunya. Bisa jadi ibu muda ini belum punya pembantu sehingga terpaksa ke kantor sekalian momong anak (dan boleh). Yang bikin tidak nahanin, tega-teganya perutnya gendut lagi.

Awal bulan begini kegiatan kantor pos Grogol, seperti juga kantor pos yang lainnya di Indonesia disibukkan dengan pelayanan para pensiunan yang mengambil jatah bulanannya. Sebetulnya saya, seperti sebagian besar penduduk Indonesia, sudah jarang berurusan dengan kantor pos. Mengingat jasa perbankan sudah ditangani bank swasta seperti BCA atau Mandiri, sementara pengurusan dokumen dipercayakan kepada Tiki-JNE, TIKI kadang Pandu Siwi. Kalau saja pengambilan uang pensiun dialihkan ke Bank Swasta, Mungkin kantor pos akan sesepi kuburan. Atau kalau ikut filem. Bak Dunia Tanpa Kata.

Namun sesekali mendatangi kantor pos. Obat kangen dengan bunyi gedebak-gedebuk beradunya bantalan tinta dengan logam stempel. Biasanya gebukan ini terdiri dari 3 kali. Gebukan pertama ke bantalan tinta, lalu dokumen atau surat, Terakhir dengan suaranya agak lemah lantaran kembali ke bantalan tinta.

Kadang ingatan kembali masa sekolah di Yogya. Terbayang betapa berbunganya saat menguangkan wessel (soal loket berbau Koantas saya sisihkan sebab ada pembaca berkode Bianglala Jingga, bakalan protes).

Di awal bulan biasanya mengirimkan wessel untuk orang tua dan adik di Lampung. Hare geneh pakai wessel?

Kebetulan rumah kami berhadapan persis dengan Kantor Pos Lampung sehingga saya cukup menulis nama orang tua, lalu alamatnya Depan Kantor Pos dan Giro (lama) Teluk Betung, serta saya imbuhkan nomor tilpunnya. Tigapuluh tahun lalu, daerah ini cuma penimbunan aspal. Satu-satunya landmark adalah kantor pos.

Maka petugas pos menghapal nama pak Rateman ini gaya Lampung menyebut nama Suratman, pak Albuni, Pak Mangsyur, Pak Cecep, pak Heri tanpa perduli nomor rumahnya. Karena nama-nama diatas adalah sesepuh sebelum kampung ini terbentuk. Lalu belakangan datang ibu Marpaung yang jago memasukkan buah-buahan impor, herannya malahan dipanggil Ibu Batak, sementara ketika pak Usman yang Marinir, dipanggil pak KKO. Yang konsisten napa.

Cara penulisan alamat diluar pakem per-posan ternyata lebih praktis ketimbang kalau saya menulis alamat lengkap seperti jalan Hasanudin Kelurahan Gunung Mas dengan segala tetek bengek RT/RW biasanya surat mblandang salah wesel. Malah berabe.

Selalu mengisi berita dengan kata "untuk ganti oli" - sehingga lama kelamaan petugas nyeletuk "ganti oli untuk saya mana?" Wah petugas tanya jatah.

*****

Sambil menunggu giliran, saya tebar pandangan ke arah loket pengambilan pensiunan. Beberapa nama dipanggil lengkap, nampaknya petugas kesulitan mengejanya. Di barisan belakang nyeletuk "panggil saja kuli Sindang Napa?" - temannya nimpali "grrr"

Seorang sepuh sebut saja Ibu Eep entah sudah dipanggil pakai pengeras suara ternyata masih belum datang jua sampai seorang keluarganya membisikkan bahwa gilirannya tiba. Tapi nenek ini tidak segera bergegas maju sebab ia masih disibukkan sesuatu. Ternyata tubuh tua terbungkuk ini membawa sesisir pisang ambon dan mungkin sekitar 10 buah lepat (makanan dari ketan yang dibungkus daun kelapa). Cukup merepotkan bagi serenta dia, namun ia nampak sumringah membagi kebahagian bersama petugas Pos.

Waktu diminta tanda tangan, ia meraba-raba permukaan meja loket, rupanya matanya agak buta, sehingga kesukaran menggapai bantalan tinta stempel dan celakanya ia buta hurup sehingga tangannya harus ditangkap petugas dan diambil sidik jarinya.

Melihat jumlah angka pecahan lima puluhan, saya perkirakan nenek Eep ini mendapat pensiun sebesar 600 ribuan. Uang sebanyak itu dijentrek-jentrek di depan loket sehingga saya agak kuatir apalagi sekitar seratus meter dari situ terdapat Terminal Bis Grogol. PUJASERA (Pusat Kejahatan Serba Rupa). Pernah sekali, pak Diyo, baru ambil pensiun, ditepuk dan diajak bicara bahasa Jawa mlipis, ia terpesona dan setelah sadar uang pensiun sebulan sudah ganti tuan. Ada beberapa bulan ia sakit antara sekok, mendongkol dan gegetunan.

Uang selesai direken dan masuk dompet, namun nenek belum beranjak dari antrian, bahkan sekarang pindah channel ke bahasa Sunda. Mulailah menanyakan keadaan keluarga petugas pos dan entah apa lagi, sehingga barisan panjang dibelakangnya tidak sabaran.

Untung petugas waspada. Ia tidak melayani pembicaraan nenek Pisang sehingga perlahan nenek beringsut. Selesai satu episode singkat. Sementara wesel selesai diproses, saya di charge sepuluh ribu rupiah untuk pengiriman yang sekadar ganti oli mesin dan bensin sebulan. Menurut petugas Wessel Prima, perlu waktu sehari bisa dua hari untuk sampai ke alamat yang dituju.

Padahal dengan jasa BCA, bisa dilakukan dari handphone, dalam hitungan detik dan gratis lagi. Persaingan makin tajam, Bank swasta adu cepat, namun PT Pos masih jalan ditempat. Kios ATM seperti rumah jaga monyet para serdadu Belanda. Menjadi tempat angker untuk didatangi. Anak saya sejak SMA mempercayakan tabungannya ke Bank Pos sayangnya saat membutuhkan dana, ATMnya sering ngadat.

Tetapi saya tetap setia kepada POS Indoensia.
Selamanya
Kau tetap milikmu
(ini jelas lagu KD)


Mimbar Bambang Saputro

Comments

Anonymous said…
Gile! Ternyata IDE yang BESAR itu datangnya dari ADA yang KECIL.
Cuman gara2 netron "Tersayang"

Aduuuhhh... Jadi pingin punya usaha sendiri.
Tapi apa ya mas? Siap2 buat setelah pensi nih...
Baca tentang super marketnya mas Y.I. juga jadi berangan2!
Bisa nggak ya aku buka di Indo setelah pensiun mbesok?

Di Amrik ini pegawai2 bisa dipecat tanpa ba bi bu dalam waktu 5 menit.
Dikasih waktu 10 - 30 menit buat boyong2.
Berita pemecatan kadang langsung face to face, kadang pake telpon or
email.
Uang goodbye nya kalau beruntung bisa sampai 3 minggu gaji.
Kalau nggak beruntung = nol gaji.

Jadi pingin siap2 buat... "you'll never know" such like "sudden
jobless".
Aku sih bisanya melukis (oil painting) abstrak or bunga or
pemandangan...
Graphite drawing (foto wajah), pake crayon juga OK... & buat patung dari
clay.
Tapi... Pingin mendalami oil painting aja deh...
Tapi... Kursus di sini muahal banget. 2x datang = $300 :o(

Bravo buat mas2 yang tulisan2nya selalu menginspirasi kami2 ini.

Salam kangen!
Maurisca
Houston
Anonymous said…
Mbak Ita yang baik,
Anda adalah sedikit orang yang beruntung mempunyai orang tua yang begitu “indah “ . Indah di hati anak2 dan keluarga,indah dihati masyarakat, dan yang penting indah di mata Sang Pencipta.
Titip salam hormat untuk bapaknda dan ibunda yang berhasil berkelit dari deraan harubirunya sebuah system yang sengaja di bikin untuk menampung segala bentuk ke serakahan manusia.

Salam hangat,
Endang.
( sambil menghapus airmata )
Anonymous said…
Disaat liburan di desa dan bertepatan dengan tgl 4 saya pasti mengantar Ibu ke kantor pos kawedanan yang berjarak sekitar 7 km dari rumah kami. Ibu dandan mlipis, kain wiron dan berkonde klimis, tidak lupa selendang batik di sampirke pundak. Binar2 di wajah Ibu, tadinya saya kira karena akan gajian yang 600 ribuan itu, rupanya lebih karena kegembiraannya bertemu dengan sesama pensiunan.
Setelah mengambil tempat duduk, saling bertanya kabar masing-masing, up date cucu dan buyut, kemudian bernostalgia masa lalu . Antri lama di tempat yang kurang nyamanpun tidak mengurangi kegembiraan Kata Ibu disaat seperti itu sekalian buat mengabsen teman yang sudah di pundhut Yang Kuasa. Masih kata Ibu setiap bulan ada saja teman yg mendahului perjalanan.
Biasanya acara temu kangen ini di tutup dengan jajan sego pecel di warung langganan mereka. Kenapa harus sego pecel ?. Karena sebagian besar pengidap DM, dar-ting, asam urat , ginjal dan banyak lagi dimana pantang makan mutlak harus di turuti.
Saya mengenal sebagian besar teman Ibu para pensiunan guru desa, yang juga adalah guru2 saya. Mereka orang2 besar di mata saya, mengabdikan diri di desa seumur hidup berusaha membuat orang lain jadi “pintar”.
Akhirnya saya paham kenapa Ibu lebih menikmati antri mengambil pensiun di kantor pos kumuh, di banding saran saya agar diambil di BRI unit desa kami.

Salam,
Endang.
Rasanya terharu membayangkan Ibu ngagem kain rapi, lengkap dengan selendang batiknya, tindak kantor pos, dengan hati bahagia karena bisa bertemu para sahabat dan mengambil dana pensiun. Gara-2 tulisan mas Mimbar, saya jadi teringat 'nuansa' Kantor Pos desa, Pegadaian, warung soto di tengah pasar, yang disajikan dengan mangkok kecil dan sendok bebek (pendek), juga rumah Pak Mantri Garem (garam). Benar kata mas Nur Wid tempat-2 ini merupakan 'warisan' yang mesti dipertahankan.
Saya teringat almarhum Bapak yang setiap hari tertentu, bersama para Purna Karya se-kecamatan (pamong desa, guru, peg. kecamatan dll) bersepeda keliling desa dengan kaos seragam. Mereka bikin arisan. Hidangannya ya yang ringan-2. Kalau di rumah kami, almarhum Bapak minta dibuatkan garang asem daging ayam. Beliau-2 yang usianya diatas 70 th mempunyai semangat tinggi. Kalau cerita Jaman Belanda, Jaman Jepang dan jaman gerilya (ngasih makan para TNI dan pejabat karesidenan Solo) menjadi ramai. Kalau ada salah satu anggauta yang sakit, mereka selalu membezook. Biasanya yang dibezook hanya bisa menangis terharu. Katanya suguhannya hanya teh atau air putih dan pisang rebus atau pisang yang baru ditebang dari pohon. Saat ambil pensiunan (almarhum Bapak saya mendapat tunjangan Veteran, karena sawah lungguh sebagai pensiunan sudah berakhir) adalah saat bahagia karena bisa bertemu dengan kawan-kawan.
Setelah Bapak sedo, urusan ambil pensiunan diteruskan almarhumah Ibu. Beliau ya bisa saja berkomunikasi dengan sesama purna karya yang jumlahnya semangkin menyusut karena dipanggil Sang Khalik. Kalau menguangkan pos wesel, rupanya Ibu diperlakukan istimewa: tidak perlu stempel Lurah atau Camat. Begitu datang ke loket langsung dibayar. Walaupun seorang Ibu, dan tidak bisa baca tulis, beliau (seperti pada umumnya wanita Jawa) banyak ide berbisnis (walaupun hanya ukuran desa) dan pegang roda ekonomi keluarga. Banyak bapak-bapak yang hanya bekerja, tetapi urusan mengerjakan sawah, sekolah anak-anak dll. dll urusan Ibu.
Tidak terasa yha, kita-2 ini usianya merangkat pelan-2, melewati atau mendekati setengah abad. Kita jaga supaya tetap sehat walafiat.
Salam hangat dari Bangko-Jambi,
Sugeng
(Old mudlogger never dies)

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

774-Tongseng Serambi (masjid) Sunda Kelapa