851 - Ketika anak dilamar
Semula saya heran, ada seorang bapak terbengong selama beberapa detik dalam upacara pernikahan anaknya. Apa susahnya mengucapkan "aku terima dst..dst..." - perasaan lebih susah menghapalkan Pancasila (apalagi menjalankannya).
Itu duluuuuu....
Saya pikir, putri pertama [saya cuma punya dua anak] sudah rentang lima repelita digadang-gadang. Soal pangan, sudah bekerja di Singapore, soal calon mantu demikian juga. Lagi pula pada dasarnya saya penganut mahzab tidak terlalu "ndakik-ndakik" -angan-angan-muluk- memiliki mantu harus tiga B, bukan bahan berbau berbahaya, melainkan Bobot Bibit Bebet. Maka ketika ada bocoran bahwa anak akan di lamar. Pintu langsung dibuka ngablak-ablak -terbuka lebar-sampai-sampai kalau siang lalat masuk, kalau malam laron (anai-anai) yang menyerbu.
Hatta, setelah dicari hari baik. Yaitu saat saya dan Lia anak saya berada di tanah tumpah darahnya Maria Eva, 30 December 2006 hari Sabtu dipilih sebagai rendevous kami di jalan Pendidikan 73 Bekasi 17422. Pasalnya ada masukan bahwa sebaiknya 30 December dipakai untuk "laku" sebab itu hari baik. Namun, berdasarkan perhitungan hanya hari tersebut acara dilamar dapat dilakukan. Keburu kami (anak,bapak dan caman kembali menjadi TKI) kembali ke tempat kerja masing-masing.
Semula dikabarkan hanya sekitar 5 orang tamu yang datang. Hanya ayah, ibu dan kakak-kakak "calon-mantu" saja, namun menjelang minggu terakhir menjadi 10 orang, lalu mendaki menjadi 15 orang dan akhirnya pada kenyataannya ada 30 orang. Ternyata ini musim liburan, sehingga buat anak-anak yang tinggal di Surabaya, Palembang dan Jakarta sendiri, dijadikan momen silaturahmi sekalian berlibur. Kalau dari pihak sana menaikkan jumlah tamu seperti deret ukur (dan tanpa beban). Sebaliknya dari pihak saya sebagai penerima sampur. Terang kelabakan.
kurva stress macam kurva dollar terhadap rupian pada 1997-an menanjak menguat(irkan) . Rasanya dada seperti diimpit beras sekarung. Mengingat saya berada di tanah kelahiran Maria Eva, dimana soal lamaran, seminar, peringatan apa saja, nilai keberhasilan bertumpu pada hidangan. Bukan esensi dari suatu upacara itu sendiri. Terang yang "yak ubeng" - alias pusing tujuh pusingan (Palembang) adalah orang rumah terutama soal logistik, sementara pihak catering yang dihubungi menilai bisnis piring 50-100, adalah urusan tak-direken. Ada sabetan yang lebih besar lagi bagi mereka.
Terpaksa, urusan masak-memasak diolah swadaya keluarga. Reportnya kami ini terbiasa melakukan sesuatu tanpa mau dengar usulan orang lain. Saya anak tertua dari 10 bersaudara, sementara sisihan juga putri tertua dari 6 bersaudara. Biasa jadi komandan obat batuk. Merasa semua problem rumah tangga diselesaikan tanpa menerima bisikan dari "penasehat spiritual" atau "penasehat lainnya." - Maksudnya kalau salah langkah ya resiko sendiri. Sementara orang lain baru mau bergeser kaki setelah rembugan ini dan itu. Maka urusan masak memasakpun sekalipun berat dilakukan sendiri dengan bantuan beberapa tetangga. Tentunya setelah membuka lawon putih berisikan mantera resep restoran cepat saji yang lama tersimpan.
Cara nekad ini teruji sudah 27 tahun masuk ke tahun ke 28 kehidupan berkeluargan, ternyata metode ini lebih pas ketimbang mendengar bisikan kiri kanan yang terkadang pada hari H, justru mereka sibuk sendiri ke salon, menyiapkan suami ke kantor, anak sakit sehingga ujung-ujungnya "laat" dengan alasan jalan macet, klaher mobil patah, banjir dan segepok alasan lainnya.
Ramalan cuaca, hari ini Jakarta Bekasi akan turun hujan. Maka tanpa basa-basi kami cobakan seorang Kiyai merangkap paranormal dari Sukabumi untuk memindahkan hujan. Tak kurang dua batang JisamSoe dan Secangkir Kopi Pahit plus Kopi Manis sudah dihidangkan. Ritual pak Paranormal sih saya dengar menggunakan candu sebab saya bisa mencium baunya sebagai pengganti kemenyan. Entoch hujan tetap saja bandel mengguyur deras jalan tanah didepan rumah, segitunya sampai bisa ditebari bibit kenikir lantaran dibajak oleh roda Bridgestone, Dunlop, sampai GajahTunggal para tetamu.
Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan Gedung Kesenian (GK) di PasarBaru tempat mbak Maya Tamara mengadakan pergelaran dalam rangka 50 tahun berdirinya perguruan balet Namarina. Sebab ketika saya SMS ia sebetulnya sang pawang sedang teken-kontrak memindahkan hujan dari GK Pasarbaru pada malam harinya.
Jadi kedatangannya ke Bekasi sekedar bisnis kecil sambil silaturahmi.
Cuma yang diluar naskah adalah ketika pihak tuan rumah, maksudnya saya diminta kesanggupan menyerahkan anak wedhok yang walaupun gendut tetapi dimata bapaknya adalah malaikat cuantik luar biasa. Maka saya yang biasa bicara didepan umum, menjadi MC, seperti "Manusia Bodoh" - gagap seperti melihat "pelangi di matamu", dan lebih banyak berurai air mata ketimbang mengurai kata. Aji-aji melucu saya coba keluarkan, ternyata hasilnya fals dan garing sekali sebab saya malahan tambah tersendat suaranya terharu.
Ya sudah, selesai upacara dan makan siang mereka pamitan. Sambil mendorong mobil tamu yang kepater di tanah merah, keponakan pada ngeledek. "Baru begitu saja pakde Miem sudah menangis. Bagaimana nanti acara (akad nikah) yang akan datang."
"Itu bukan menangis bodoh, tetapi expressi-NYA," kata seraya menirukan iklan
"Ah ngeles...," imbuh mereka makin menggebu.
Dasar anak era Maria Eva, pada pinter-pinter cari dalih. Tunggu bila saatnya kalian menjadi orang tua. Sayapun dulu berpendapat sama.
--
Bekasi 30 Desember 2006,
mimbar b. Saputro
Itu duluuuuu....
Saya pikir, putri pertama [saya cuma punya dua anak] sudah rentang lima repelita digadang-gadang. Soal pangan, sudah bekerja di Singapore, soal calon mantu demikian juga. Lagi pula pada dasarnya saya penganut mahzab tidak terlalu "ndakik-ndakik" -angan-angan-muluk- memiliki mantu harus tiga B, bukan bahan berbau berbahaya, melainkan Bobot Bibit Bebet. Maka ketika ada bocoran bahwa anak akan di lamar. Pintu langsung dibuka ngablak-ablak -terbuka lebar-sampai-sampai kalau siang lalat masuk, kalau malam laron (anai-anai) yang menyerbu.
Hatta, setelah dicari hari baik. Yaitu saat saya dan Lia anak saya berada di tanah tumpah darahnya Maria Eva, 30 December 2006 hari Sabtu dipilih sebagai rendevous kami di jalan Pendidikan 73 Bekasi 17422. Pasalnya ada masukan bahwa sebaiknya 30 December dipakai untuk "laku" sebab itu hari baik. Namun, berdasarkan perhitungan hanya hari tersebut acara dilamar dapat dilakukan. Keburu kami (anak,bapak dan caman kembali menjadi TKI) kembali ke tempat kerja masing-masing.
Semula dikabarkan hanya sekitar 5 orang tamu yang datang. Hanya ayah, ibu dan kakak-kakak "calon-mantu" saja, namun menjelang minggu terakhir menjadi 10 orang, lalu mendaki menjadi 15 orang dan akhirnya pada kenyataannya ada 30 orang. Ternyata ini musim liburan, sehingga buat anak-anak yang tinggal di Surabaya, Palembang dan Jakarta sendiri, dijadikan momen silaturahmi sekalian berlibur. Kalau dari pihak sana menaikkan jumlah tamu seperti deret ukur (dan tanpa beban). Sebaliknya dari pihak saya sebagai penerima sampur. Terang kelabakan.
kurva stress macam kurva dollar terhadap rupian pada 1997-an menanjak menguat(irkan) . Rasanya dada seperti diimpit beras sekarung. Mengingat saya berada di tanah kelahiran Maria Eva, dimana soal lamaran, seminar, peringatan apa saja, nilai keberhasilan bertumpu pada hidangan. Bukan esensi dari suatu upacara itu sendiri. Terang yang "yak ubeng" - alias pusing tujuh pusingan (Palembang) adalah orang rumah terutama soal logistik, sementara pihak catering yang dihubungi menilai bisnis piring 50-100, adalah urusan tak-direken. Ada sabetan yang lebih besar lagi bagi mereka.
Terpaksa, urusan masak-memasak diolah swadaya keluarga. Reportnya kami ini terbiasa melakukan sesuatu tanpa mau dengar usulan orang lain. Saya anak tertua dari 10 bersaudara, sementara sisihan juga putri tertua dari 6 bersaudara. Biasa jadi komandan obat batuk. Merasa semua problem rumah tangga diselesaikan tanpa menerima bisikan dari "penasehat spiritual" atau "penasehat lainnya." - Maksudnya kalau salah langkah ya resiko sendiri. Sementara orang lain baru mau bergeser kaki setelah rembugan ini dan itu. Maka urusan masak memasakpun sekalipun berat dilakukan sendiri dengan bantuan beberapa tetangga. Tentunya setelah membuka lawon putih berisikan mantera resep restoran cepat saji yang lama tersimpan.
Cara nekad ini teruji sudah 27 tahun masuk ke tahun ke 28 kehidupan berkeluargan, ternyata metode ini lebih pas ketimbang mendengar bisikan kiri kanan yang terkadang pada hari H, justru mereka sibuk sendiri ke salon, menyiapkan suami ke kantor, anak sakit sehingga ujung-ujungnya "laat" dengan alasan jalan macet, klaher mobil patah, banjir dan segepok alasan lainnya.
Ramalan cuaca, hari ini Jakarta Bekasi akan turun hujan. Maka tanpa basa-basi kami cobakan seorang Kiyai merangkap paranormal dari Sukabumi untuk memindahkan hujan. Tak kurang dua batang JisamSoe dan Secangkir Kopi Pahit plus Kopi Manis sudah dihidangkan. Ritual pak Paranormal sih saya dengar menggunakan candu sebab saya bisa mencium baunya sebagai pengganti kemenyan. Entoch hujan tetap saja bandel mengguyur deras jalan tanah didepan rumah, segitunya sampai bisa ditebari bibit kenikir lantaran dibajak oleh roda Bridgestone, Dunlop, sampai GajahTunggal para tetamu.
Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan Gedung Kesenian (GK) di PasarBaru tempat mbak Maya Tamara mengadakan pergelaran dalam rangka 50 tahun berdirinya perguruan balet Namarina. Sebab ketika saya SMS ia sebetulnya sang pawang sedang teken-kontrak memindahkan hujan dari GK Pasarbaru pada malam harinya.
Jadi kedatangannya ke Bekasi sekedar bisnis kecil sambil silaturahmi.
Cuma yang diluar naskah adalah ketika pihak tuan rumah, maksudnya saya diminta kesanggupan menyerahkan anak wedhok yang walaupun gendut tetapi dimata bapaknya adalah malaikat cuantik luar biasa. Maka saya yang biasa bicara didepan umum, menjadi MC, seperti "Manusia Bodoh" - gagap seperti melihat "pelangi di matamu", dan lebih banyak berurai air mata ketimbang mengurai kata. Aji-aji melucu saya coba keluarkan, ternyata hasilnya fals dan garing sekali sebab saya malahan tambah tersendat suaranya terharu.
Ya sudah, selesai upacara dan makan siang mereka pamitan. Sambil mendorong mobil tamu yang kepater di tanah merah, keponakan pada ngeledek. "Baru begitu saja pakde Miem sudah menangis. Bagaimana nanti acara (akad nikah) yang akan datang."
"Itu bukan menangis bodoh, tetapi expressi-NYA," kata seraya menirukan iklan
"Ah ngeles...," imbuh mereka makin menggebu.
Dasar anak era Maria Eva, pada pinter-pinter cari dalih. Tunggu bila saatnya kalian menjadi orang tua. Sayapun dulu berpendapat sama.
--
Bekasi 30 Desember 2006,
mimbar b. Saputro
Comments